Bermain Api di Sekam Kering: Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea bagi Perdamaian Dunia

Senin, 16 September 2024 12:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam panorama disiplin ilmu Hubungan Internasional, terdapat dua teori besar yang sering menjadi referensi untuk memahami dinamika interaksi antar negara dalam menghadapi isu-isu domestik maupun global: Realisme dan Liberalisme..

Teori Realisme meyakini bahwa pada dasarnya setiap manusia terlahir secara egois, sehingga dalam hubungan internasional, perdamaian sering kali dianggap sebagai periode persiapan untuk konflik yang akan datang, karena setiap negara akan bertaruh demi kepentingannya. Sebaliknya, teori Liberalisme menekankan pentingnya perdamaian berkelanjutan melalui pembentukan hubungan yang saling menguntungkan antar negara, serta pencapaian kepentingan bersama, yakni perdamaian dunia. 

Pada praktiknya, sebagian besar negara di dunia menggalakkan hubungan bilateral dan multilateral yang konstruktif sebagai upaya untuk mempromosikan perdamaian global. Hal ini tercermin dalam eksistensi forum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai wadah untuk musyawarah dan mufakat dalam mewujudkan perdamaian internasional. Namun, terdapat negara-negara yang baik secara langsung maupun tidak langsung menerapkan prinsip-prinsip Realisme yang meyakini bahwa perdamaian adalah semu sehingga sangat penting untuk memantapkan kemampuan defensif maupun ofensif untuk persiapan perang yang akan datang, salah satunya adalah Korea Utara.

Korea Utara merupakan sebuah negara paria yang menganut paham komunis, terletak di Asia Timur, bagian utara Semenanjung Korea. Korea Utara atau Republik Rakyat Korea didirikan oleh Kim II Sung dengan dukungan Uni Soviet atas dasar penolakan usulan pelaksanaan pemilihan umum untuk menyatukan dua bagian Semenanjung Korea oleh PBB setelah perang dunia II, penolakan Korea Utara tersebut dikarenakan alasan dominasi Amerika Serikat terhadap Korea Selatan. Lalu, tiga bulan setelahnya Syngman Rhee mendirikan Korea Selatan atau Republik Korea sebagai negara liberalis yang pro Amerika Serikat.

Kedua pemimpin, Kim II Sung dan Syngman Rhee, mengklaim bahwa kepemimpinannya adalah yang paling sah, sehingga membawa keduanya pada upaya-upaya dominasi yang  akhirnya menyebabkan terjadi Perang Korea. Perang tersebut dipicu oleh Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara yang mendominasi masing-masing bagian Semenanjung Korea setelah Perang Dunia II. Terdapat banyak upaya untuk menjalin hubungan baik antar kedua negara ini, seperti pengadaan kegiatan olahraga yang cenderung berhasil dalam catatan sejarah. Namun, sampai saat ini Semenanjung Korea masih diliputi ketegangan dan menjadi kawasan yang berpotensi memicu pecahnya konflik yang mengancam perdamaian dunia. 

Krisis nuklir merupakan isu yang paling signifikan di Semenanjung Korea. Korea Utara mengidentifikasi Amerika Serikat sebagai ancaman utama terhadap stabilitas nasionalnya. Dengan dalih defensif, Korea Utara membentuk program pengembangan senjata nuklir yang bertujuan untuk mencegah kemungkinan provokasi militer oleh Amerika Serikat. Selain itu, kepemilikan senjata nuklir memberikan Korea Utara posisi tawar yang lebih kuat dalam proses negosiasi, serta berfungsi sebagai strategi efektif untuk menarik minat Amerika Serikat dalam menjalin hubungan yang lebih baik dengan Korea Utara.

Sebelumnya, setelah proses negosiasi dengan Amerika Serikat, Korea Utara telah menyetujui  untuk menghentikan proyek pengembangan senjata nuklir dengan imbalan reaktor air ringan guna menuntaskan masalah energi domestik Korea Utara. Namun, setelah Amerika Serikat melakukan penundaan konstruksi reaktor air ringan dan Korea Utara menganggap bahwa Amerika Serikat melanggar perjanjian, Korea Utara kembali melanjutkan proyek pengembangan nuklir secara rahasia, sampai hal itu diungkap kembali oleh Amerika Serikat.

Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) adalah perjanjian internasional yang bertujuan mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi terkait di negara-negara berdaulat, serta mempromosikan perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian dunia. Perjanjian ini diratifikasi oleh 191 negara, termasuk Korea Utara, namun pada 2003 Korea Utara menarik diri dan melanjutkan pengembangan senjata nuklir secara aktif sehingga menimbulkan ancaman serius bagi kestabilan geopolitik secara global.

Hingga saat ini, Korea Utara terus berkomitmen pada pengembangan senjata nuklir, seperti yang diungkapkan oleh media Pyongyang melalui serangkaian foto sentrifugal pada 13 September 2024. Foto-foto tersebut menunjukkan kunjungan Kim Jong Un, Presiden Korea Utara, ke Institut Senjata Nuklir serta fasilitas produksi bahan nuklir. Di sisi lain, Korea Selatan, yang menjalin aliansi strategis dengan Amerika Serikat, berupaya keras untuk mengatasi ancaman yang semakin meningkat dari program nuklir Korea Utara. 

Salah satunya adalah dengan pembaruan perjanjian keamanan bilateral yang dilakukan pada pertengahan November 2023. Pembaharuan ini mencakup penandatanganan versi terbaru dari Perjanjian Strategi Penangkalan yang Disesuaikan, peningkatan latihan militer gabungan, serta rencana untuk pembagian informasi secara waktu-nyata mengenai peluncuran rudal Korea Utara. Selain itu, pada 5 Juni 2024, Amerika Serikat dan Korea Selatan menggelar latihan militer gabungan, termasuk penempatan JDAM 1B di Semenanjung Korea. Latihan ini melibatkan pesawat bomber B-1B dari Amerika Serikat dan dua pesawat tempur F-15K Eagles dari Korea Selatan.

Kondisi ini menjadikan Semenanjung Korea sebagai kawasan yang sarat dengan kompleksitas dan tegangan tinggi, di mana dinamika tersebut dapat menghadirkan tantangan serta ancaman konstan terhadap perdamaian global. Ancaman yang muncul dari krisis nuklir di Semenanjung Korea mencakup ketidakstabilan geopolitik global, kerusakan lingkungan, konflik keamanan multilateral, dan potensi pecahnya perang dunia. Layaknya bermain dengan api di sekam kering, negara-negara melihat krisis nuklir ini sebagai ajang untuk memperkuat bargaining power mereka. Seperti India dan Pakistan yang melakukan uji coba balistik, sementara Rusia dan China yang melaksanakan latihan perang bersama. Situasi ini menambah kekhawatiran dan memperburuk ketegangan di kawasan.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kepentingan nasional dan berkomitmen pada perdamaian dunia seharusnya memainkan peran aktif dalam menangani krisis nuklir di Semenanjung Korea. Hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea dimulai pada tahun 1942, ketika Korea mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak tahun 2000, kedua negara telah secara rutin melakukan tukar-menukar kunjungan pejabat tinggi pemerintah. Hubungan Indonesia dengan Korea Utara, meskipun terpengaruh oleh perbedaan mendasar antara sistem demokrasi dan komunisme, tetap terjalin dengan baik sejak pendirian hubungan diplomatik pada tahun 1961.

Dalam panasnya kondisi yang terjadi, peran Indonesia untuk meredakan ketegangan dan mencegah ancaman-ancaman yang terjadi di Semenanjung Korea sangatlah krusial. Indonesia dapat secara aktif berkontribusi dalam forum dialog internasional untuk mengkampanyekan perdamaian dan stabilitas global guna menjunjung kepentingan nasional Indonesia untuk menjamin keamanan WNI yang tinggal di Semenanjung Korea dan kawasan sekitarnya, juga sebagai bentuk prevensi probabilitas ancaman bagi perdamaian dunia. Selain itu, Indonesia perlu fokus pada penguatan pertahanan nasional dan menjaga hubungan diplomasi yang baik dengan negara-negara terkait, sambil tetap berpegang pada kebijakan politik luar negeri yang Bebas dan Aktif.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Cut Edjelisa Filastana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler