Melestarikan Identitas Lokal ala Tembang Doel Sumbang
Selasa, 17 September 2024 14:44 WIBDoel Sumbang bukanlah satu-satunya musisi yang mengambil peran ini. Dari berbagai daerah di Indonesia, kita menemukan musisi-musisi yang melakukan hal serupa, menggunakan bahasa daerah dalam karya-karya mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya dan identitas lokal.
Oleh: Asep K Nur Zaman
Pada awal September 2024, suasana di Tritan Point, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, mendadak riuh ketika Doel Sumbang muncul di atas panggung megah Now Playing Festival. Di bawah cahaya siang dan dentuman musik modern yang biasa mendominasi festival-festival saat ini, kehadiran Doel Sumbang, di satu sisi membawa angin nostalgia bagi para penonton yang mengenalnya sejak era 80-an.
Namun, yang menarik, mayoritas penonton di festival tersebut adalah muda-mudi Gen-Z yang berbusana dan mengenakan aksesoris layaknya penonton konser musik rock, K-Pop, atau tembang kekinian. Mereka adalah generasi muda yang tumbuh di tengah arus globalisasi, internet, dan budaya populer yang lebih banyak didominasi oleh bahasa nasional, keinggris-inggrisan, serta bahasa gaul (slang).
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang fasih bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak mengikuti lirik lagu-lagu hits Doel Sumbang seperti "Runtah," "Teteh”, dan "Mumun” — deretan tembang genre pop yang liriknya sarat dengan bahasa Sunda dan gaya tutur khas masyarakat Jawa Barat. Di tengah megahnya panggung, Doel Sumbang (61 tahun) berhasil menciptakan keintiman dengan penontonnya, seolah mereka berbagi bahasa yang sama meski datang dari zaman yang berbeda.
Penampilan Doel Sumbang di festival tersebut adalah bukti kuat bahwa bahasa daerah masih memiliki kekuatan besar, terutama melalui medium musik. Dalam konteks ini, Doel Sumbang tidak hanya seorang penyanyi atau penulis lagu, melainkan juga seorang legenda “penjaga kebudayaan” yang tetap mempertahankan bahasa Sunda sebagai bagian integral dari seabrek karya-karya musiknya.
Meski tren musik berubah dengan cepat, Doel Sumbang – dengan gaya nyelenehnya dan lirik lagu yang sarat kritik sosial dan romansa cinta yang menggelitik -- berhasil menembus batasan generasi dan membawa bahasa Sunda ke ranah yang lebih luas. Meski, tak sedikit pula lirik lagunya yang berbahasa Indonesia.
Ia menjadikan musiknya yang nge-pop bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sarana edukasi budaya yang menghubungkan antargenerasi. “Eh, Kang Doel awet muda, euy!” teriak seseorang dari tengah lautan penonton.
Musik sebagai Penjaga Bahasa Daerah
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, bahasa daerah sering kali terpinggirkan. Banyak anak muda saat ini, terutama dari generasi Gen-Z, lebih akrab dengan bahasa nasional dan bahasa asing—bahkan cenderung mencampurkan keduanya dengan bahasa slang atau gaya tutur populer.
Dalam situasi ini, peran musisi seperti Doel Sumbang menjadi sangat penting. Melalui lirik-lirik yang ia nyanyikan, secara tak langsung telah menjaga agar bahasa Sunda tetap hidup dan dikenal oleh generasi yang lebih muda.
Doel, pada 2017, meraih penghargaan Anugerah Karya Budaya yang diadakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. “Saya kaget mendengarnya,” seloroh musisi nyentrik bernama Asli Wachyoe Affandi, kelahiran Bandung, 16 Mei 1963, itu saat disebutkan bahwa alasan pemberian anugerah itu sebagai bentuk apresiasi atas konsistensinya secara aktif melestarikan budaya Sunda.
Doel Sumbang bukanlah satu-satunya musisi yang mengambil peran ini. Dari berbagai daerah di Indonesia, kita menemukan musisi-musisi yang melakukan hal serupa, menggunakan bahasa daerah dalam karya-karya mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya dan identitas lokal.
Salah satu contoh yang sangat menonjol adalah Didi Kempot, yang dikenal sebagai "The Godfather of Broken Heart”. Didi Kempot sukses membawa bahasa Jawa ke panggung nasional melalui genre campursari.
Lagu-lagunya yang bertema patah hati seperti "Sewu Kuto" dan "Cidro" menggunakan bahasa Jawa dengan sangat alami dan emosional, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan, bahkan hingga generasi muda di era milenial dan Gen-Z. Keberhasilan Didi Kempot memperkenalkan bahasa daerahnya kepada khalayak luas membuktikan bahwa bahasa lokal tidak kalah penting dibanding bahasa nasional atau internasional.
Di wilayah lain, kita juga melihat musisi seperti Rafly Kande dari Aceh, yang memadukan tradisi musik Tanah Rencong dengan elemen-elemen kontemporer, sambil tetap setia menggunakan bahasa Aceh dalam lirik-lirik lagunya. Karya-karyanya, seperti"Seulanga”, memperlihatkan bagaimana bahasa daerah bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan budaya, spiritual, dan sosial kepada masyarakat yang lebih luas.
Tidak kalah penting, dari Papua ada Edo Kondologit, seorang musisi yang menggunakan musik untuk mengangkat bahasa dan budaya Papua. Edo sering kali memadukan unsur-unsur musik tradisional Papua dengan genre pop dan jazz.
Ia menciptakan karya yang menghormati akar budaya lokal sembari memperkenalkannya kepada pendengar yang lebih luas. Lagu-lagunya seperti "Aku Papua" tidak hanya mencerminkan kebanggaan akan identitas lokal, tetapi juga mengajak pendengarnya untuk memahami lebih dalam tentang keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Tantangan di Era Modern
Namun, menjaga bahasa daerah melalui musik bukanlah hal yang mudah, terutama di era modern ini. Globalisasi dan teknologi digital telah mengubah cara orang mengonsumsi musik dan budaya.
Musik-musik dengan bahasa asing sering kali lebih mudah diakses dan dipahami oleh generasi muda, dibandingkan musik dengan bahasa daerah yang mungkin terasa kurang relevan. Di sinilah letak tantangan besar bagi para musisi lokal yang tetap ingin mempertahankan identitas budaya mereka tanpa harus mengorbankan daya tarik komersial.
Namun, musisi seperti Doel Sumbang, Didi Kempot, Rafly Kande, dan Edo Kondologit berhasil menunjukkan bahwa bahasa daerah tidak harus terpinggirkan. Mereka mampu memadukan elemen-elemen tradisional dengan sentuhan modern, sehingga musik yang mereka hasilkan bisa tetap menarik bagi generasi muda. Lagu-lagu mereka tidak hanya didengar sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium untuk memahami, menghargai, dan mempelajari bahasa serta budaya lokal.
Melestarikan Identitas Melalui Musik
Musik adalah salah satu medium paling efektif untuk melestarikan bahasa daerah. Di tangan musisi seperti Doel Sumbang dan banyak lainnya, bahasa daerah mendapatkan ruang untuk berkembang dan bertahan, bahkan di tengah arus besar globalisasi. Partisipasi aktif dari generasi muda yang masih menyanyikan lagu-lagu berbahasa daerah adalah tanda bahwa identitas lokal Indonesia belum sepenuhnya hilang.
Peran musisi dalam memelihara bahasa daerah tidak hanya terbatas pada hiburan semata. Lebih dari itu, mereka adalah “penjaga kebudayaan, yang melalui karya-karyanya mengajarkan bahwa bahasa daerah adalah bagian penting dari jati diri kita sebagai bangsa yang multikultural.
Dan, selama musik tetap ada, bahasa daerah akan terus hidup, melintasi waktu dan generasi. Semoga, dari tengah penggemar musik-musik berbahasa daerah, lahir generasi penerus. Tak terkecuali dari kalangan penonton Now Playing Festival, ada yang mewarisi bakat dan talenta Doel Sumbang dalam mengusung bahasa dan budaya Tatar Sunda.***
Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
3 Pengikut
Kini Katakan Sejujurnya, Miskin itu Ya Miskin!
19 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler