Nebeng, Ne-em, Numpang, Fufufafa
Jumat, 20 September 2024 13:24 WIBIstilah nebeng mendadak jadi buah bibir warganet. Istilah barukah?\xd\xd\xd
Oleh Slamet Samsoerizal
Istilah nebeng sebulan terakhir ini viral. Setidaknya, menurut amatan Mas Nakurat dan komunitasnya di Warkop YuNingnong. Perkara komunitasnya tidak dikenal, tak apa. Ada yang ingin dikabarkan, para pelanggan warkop kaki lima yang berada di pinggiran sebuah kota yang sebentar lagi pamit sebagai ibukota.
Kabar 1. Seolah mendadak gaduh saat kuproy atau kuli projek memperlihatkan sebuah tayangan video yang ditunjukkan lewat WhatsApp. Kaesang Pengarep beserta istri dan pengawalnya turun dari pesawat yang ditengarai jet pribadi. Sontak, ungkapan wuih wuih bikin suasana warkop jadi riuh.
Warganet warkop disitu sudah terbiasa heboh dengan info-info terkini yang sebenarnya mereka kurang pahami. Maka, jangan heran berita hoaks pun bisa mereka perdebatkan, sampai yang biasanya ngopi cuma secangkir jadi nambah segelas.
Kabar 2. Ubedilah Badrun dosen Universitas Jakarta melaporkan anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, terkait gaya hidup mewah, termasuk penggunaan jet pribadi Gulfstream. Wah, info yang memang nyambung dengan pernebengan ini, nambah warganet warkop YuNingnong semakin gaduh. Tak penting komentar ilmiah. Pokoknya: semua pengopi berhak berkomentar.
Kabar 3. Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 17 September 2024. Ia hadir setelah sebelumnya dipanggil terkait dugaan gratifikasi berupa penggunaan jet pribadi sejak akhir Agustus. Alih-alih dikabarkan nasional.tempo.co, Ketua Umum PSI itu menjelaskan bahwa perjalanannya menggunakan pesawat jet pribadi ke Amerika Serikat pada Agustus lalu hanyalah ‘nebeng’ teman.
Karuan saja, soal nebeng-menebeng ini dirujak warga komunitas warkop. Si Fakir bilang, nebeng itu bukan karena niat, tapi kebetulan. “Misalnya, sewaktu saya tadi mau ke sini,” jelas si Fakir, “tetangga yang berprofesi sebagai ojol lewat, lalu saya ditawari mbonceng.”
Nebeng itu, karena nggak punya duwit. Kawan-kawan kuproy sepenanggungan saya, tiap hari nebeng truk yang lewat di Pantura.
“Soal tujuan tidak penting, karena memang mereka tiap hari memasrahkan rejeki kepada Sang Maha Pemberi,” ujar Ngablukuproy.
“Nebeng itu, punya uang dan punya teman yang ditebengi. Bisa jadi, karena kenalan, handai tolan, teman sekantor atau satu arah tujuan,”
Kalau ne-em? Nah, itu yang aku lihat pemandangan di waktu pagi dan lewat warkop kita. Itu anak-anak sekolah yang ramai-ramai numpang mobil bak terbuka, lalu turun sesuka mobil yang mengangkut menurunkannya. Sebab tidak semua yang ditebengi, arahnya ke sekolah mereka.
“Mereka tak punya uang?” tanya Mas Nakurat.
“Punya-lah, kan pasti dapat uang saku dari orang tua mereka. Biasanya karena kondisinal, jadinya mereka semula tak terbiasa ne-em jadi ikut-ikutan,” jelas si Malukaya.
“Samakah dengan numpang?”
“Beda tipis. Namun, dalam hal tertentu orang-orang yang numpang dan berbayar punya marwah di khasanah pertransportasian. Makanya di mata awak bus, angkot, pesawat, kereta api, dan kapal laut menjulukinya dengan konotasi yang bagus. Mereka adalah penumpang.
Kamus Besar bahasa Indonesia atau KBBI daring edisi V memaknai ‘nebeng’ dengan ‘ikut serta (makan, naik kendaraan, dan sebagainya) dengan tidak usah membayar.’
“O, gitu ya?”
“Jadi kalau nebeng sama fufufafa, piye?” sahut si pengopi bertopi putih yang duduk di ujung warkop ikut nimbrung.
“Karena kamu tak funya fuyunghai, maka kamu fufu. Sebab kamu funya afa-afa pun alias memiliki apa-apa bin memiliki segalanya , maka kamu adalah fafa.”
“Maksud fufufafa?”
“Tak Semua Tanya punya Jawab,” timpal Mas Nakurat mengutip judul salah satu cerpen karya Iwan Simatupang, yang ditulis pada 1968 dan dihimpun sebagai kumpulan cerpen oleh Dami N. Toda di bawah tajuk Tegak Lurus dengan Langit. Kumpulan ini diterbitkan oleh Sinar Harapan pada 1982. ***
Penulis Indonesiana
4 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler