Tren Vermak Wajah: Perang Warna Kulit di Dunia Kecantikan (2)
Minggu, 22 September 2024 16:46 WIBSeolah-olah, kecantikan adalah permainan warna, dan kita terus mengejar apa yang di luar kodrat.
Oleh Asep K Nur Zaman
Setelah melewati billboard iklan tentang operasi hidung di kawasan Bendungan Bilir, mobil terus meluncur ke arah selatan Jakarta, menembus kemacetan jalan protokol yang kembali mengundang kantuk. Tapi, mata kembali melek ketika tiba di kawasan Blok M.
Pada tiang-tiang pancang beton jalur MRT, terpampang deretan iklan skin care yang menjanjikan dapat menghapus segala barrier pada kulit wajah. Tentunya, dilengkapi dengan model wanita dengan kulit putih, cerah, halus, dan mulus.
Panggung Besar
Jika hidung adalah simbol prestise, maka kali ini kulit adalah panggung besar bagi standar kecantikan. Dari krim pemutih hingga tanning bed, warna kulit telah menjadi medan pertempuran sengit industri kecantikan dan perang batin pemuja rupa wajah dari berbagai belahan dunia untuk mengejar citra yang menurut mereka paling ideal.
Yang lucu (atau ironis), dalam masalah kulit ini pun standarnya terbelah dua: orang yang berkulit gelap ingin memutihkan kulit, sementara mereka yang berkulit putih justru ingin membuat kulitnya lebih gelap.
Ketika orang-orang di Asia dan Afrika ingin memutihkan kulit mereka, orang-orang di Barat menginginkan yang sebaliknya. Seolah-olah, kecantikan adalah permainan warna, dan kita terus mengejar apa yang di luar kodrat.
Selebritas seperti Kendall Jenner dan Gisele Bundchen kerap terlihat berjemur atau menggunakan tanning bed untuk mendapatkan kulit yang lebih gelap. Tetapi di banyak negara Asia dan Afrika, kulit putih dianggap sebagai puncak kecantikan.
Warna kulit juga sering kali dikaitkan dengan status sosial: kulit lebih putih dianggap sebagai tanda kemakmuran, pendidikan, dan akses terhadap kehidupan yang lebih baik. Orang dengan kulit lebih gelap sering kali diidentikkan dengan pekerjaan kasar, hidup di luar rumah, atau status ekonomi yang lebih rendah.
Tak heran, produk pemutih kulit menjadi industri besar. Iklan-iklan yang mengklaim dapat memutihkan dan mencerahkan kulit marak di Thailand, India, hingga Indonesia. Pesohor seperti Aum Patcharapa dan beberapa artis Bollywood, termasuk Shah Rukh Khan, sering kali menjadi model dari produk-produk ini, memperkuat citra bahwa semakin putih kulit seseorang, semakin tinggi daya tariknya.
Ironi terbesar datang ketika kita melihat apa yang terjadi di Barat. Di Eropa dan Amerika Serikat, perempuan kulit putih justru berusaha keras untuk mendapatkan kulit lebih cokelat. Mereka berjemur di pantai, menghabiskan waktu di salon tanning, bahkan menggunakan lotion khusus yang memberikan efek cokelat sementara.
Kulit gelap bagi mereka adalah simbol kemewahan. Itu tanda bahwa mereka baru saja pulang dari liburan tropis yang mahal atau memiliki gaya hidup aktif di luar ruangan.
Pengaruh Persepsi Budaya
Dalam kedua kasus tersebut, standar kecantikan yang berkembang sangat dipengaruhi oleh persepsi budaya yang terus berubah. Di Barat, kulit putih yang terlalu pucat sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan atau kurangnya vitalitas.
Di Asia dan Afrika, kulit yang lebih gelap sering kali distereotipkan sebagai tanda kemiskinan. Hasilnya, kita memiliki dua kelompok orang yang sama-sama merasa bahwa kulit alami mereka tidak cukup baik.
Perdebatan soal warna kulit ini menunjukkan betapa dalamnya pengaruh standar kecantikan terhadap cara kita memandang diri sendiri. Krim pemutih dan tanning bed hanyalah alat, tapi di baliknya tersembunyi perasaan tidak puas yang mendalam.
Padahal, menurut dermatolog Dr Michelle Henry, penggunaan produk pemutih kulit dalam jangka panjang bisa merusak kesehatan kulit. "Penggunaan produk pemutih yang tidak terkontrol dapat menyebabkan iritasi, hiperpigmentasi, dan bahkan kanker kulit. Ini terutama menjadi masalah di negara-negara dengan standar kecantikan yang menyukai kulit putih begitu dominan," tuturnya.
Namun, apa pedulinya terhadap bahaya tersebut jika nafsu mempercantik diri menggebu-gebu. Pada akhirnya, kecantikan kulit bukan lagi tentang kesehatan atau penerimaan diri, tapi tentang memenuhi harapan mengikuti tren yang terus bergeser.
Apa yang kita anggap cantik, apakah kulit putih atau hitam, sering kali tak lebih dari hasil konstruksi sosial yang diproduksi ulang oleh iklan dan selebritas. Dan, seperti halnya tren hidung, tren warna kulit terus berubah, namun rasa tidak puas tampaknya tetap konstan.
Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
3 Pengikut
Kini Katakan Sejujurnya, Miskin itu Ya Miskin!
17 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler