Seni Menikmati Macet Jakarta: Ada Cerita Sopir Taksi tentang Kue Apem

Senin, 23 September 2024 23:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Macet itu tidak selalu buruk. Walaupun bikin hidup di Jakarta serasa stuck di satu tempat, justru di sanalah kita belajar seni menikmati setiap momen, meski perlahan-lahan.

Oleh Asep K Nur Zaman

Bagi sebagian besar orang, macet itu musuh. Tapi di Jakarta, macet sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, semacam seni bertahan hidup yang tidak semua orang bisa kuasai.

Kita tahu kok, kalau setiap pergi-pulang kerja (pagi dan sore) di Jakarta itu mirip pertandingan sepak bola; penuh strategi, penuh drama, dan kadang diakhiri dengan perasaan kosong. Cuma bedanya, di pertandingan ini, kita selalu ada di posisi bertahan—melawan mobil, motor, dan bus yang berebut jalur.

Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru emosi. Di tengah riuhnya klakson yang bersahutan dan pemandangan deretan mobil yang sulit bergerak, ada juga keindahan tersembunyi: seni menikmati macet.

Ya, kalau kamu dapat menerima bahwa kalau sudah terjebak macet itu tidak akan bisa ke mana-mana, kamu bisa mulai berkreasi dengan waktu yang terbuang di jalanan. Bagaimana itu?

Contoh kecilnya, sekarang orang-orang sudah pinter buat "menghormati" macet. Dulu, mungkin kita marah-marah atau stres saat terjebak berlama-lama di lampu merah. Tapi, kini, sebagian besar orang justru menganggap macet sebagai waktu pribadi yang tidak tergantikan—waktu buat self-care dalam bentuk paling sederhana.

Mulai dari mendengarkan podcast pencerahan yang bikin kamu merasa lebih pintar (meski kenyataannya belum tentu), hingga memasang playlist lo-fi supaya suasana hati tetap tenang meski kamu lagi diapit truk dan bajaj.

Atau, bagi yang merasa superproduktif, macet adalah waktu paling ideal untuk menjawab e-mail kantor (tentunya sambil berdoa tidak ada yang tiba-tiba nabrak dari belakang). Dan, jangan lupa, ada yang tidak bisa tidur nyenyak kecuali suara mesin kendaraan di sekitar mereka, seolah raungan motor ngebut itu adalah versi Jakarta dari suara ombak di Bali.

Buat mereka yang lebih senang interaksi sosial, macet juga bisa jadi kesempatan untuk mempererat persahabatan. Misalnya, ngobrol random sama driver ojol, nanya soal keluarga, politik, atau ya... drama sinetron terbaru.

Siapa tahu, di tengah kemacetan yang menyesakkan, kamu juga malah menemukan teman curhat yang tidak terduga. Tapi, yang sangat menyebalkan, saya pernah naik taksi biru saat pulang kerja malam-malam. Si sopir, tanpa tedeng aling-aling, malah cerita tak senonoh.

Ia mengaku kadang mendapatkan penumpang kupu-kupu malam, tapi ongkosnya dibayar dengan "kue apem". Di dalam taksinya pula ia mengaku melahap "itu barang". Ih, sungguh menjijikkan -- meski ceritanya cukup menghilangkan suntuk di tengah lalu lintas yang macet parah!

Ada juga yang memanfaatkan macet sebagai ajang berburu kuliner dadakan. Dari balik kaca mobil atau helm motor, kamu bisa langsung pesan bakso tusuk, cilok, sampai es cendol tanpa harus turun.

Memang, di Jakarta, yang paling sukses bukan cuma yang tahu jalan pintas untuk mengatasi macet, tapi juga yang tahu di mana posisi abang-abang gorengan paling strategis.

Namun, bagi sebagian pejuang macet yang harus menempuh perjalanan panjang, ada juga musuh lain yang lebih mengerikan dari klakson dan lampu merah: kantuk!

Coba bayangkan, sudah terjebak macet, udara panas, mata perlahan berat, dan perjalanan masih jauh. Ini adalah situasi genting bagi pengendara motor maupun mobil.

Ada yang sampai rela berteriak-teriak di dalam mobil sendiri hanya untuk melawan kantuk. Teriakannya beragam, mulai dari sekadar "Ayo semangat!" hingga "Gila, macet lagi!" Semua ini demi satu tujuan mulia: biar tetap melek.

Buat pengendara motor, situasinya lebih ekstrem. Saat kepala mulai tertunduk-tunduk, ada dua pilihan: berhenti sebentar di pinggir jalan, atau… ya, teriak sekuat tenaga. Bukan buat marah, tapi supaya adrenalin naik dan mata kembali melek. Ada yang sampai nyanyi keras-keras di helmnya sendiri, berharap suara sumbang mereka cukup untuk mengusir kantuk.

Jadi, walaupun macet bikin hidup di Jakarta serasa stuck di satu tempat, justru di sanalah kita belajar seni menikmati setiap momen, meski perlahan-lahan. Macet itu tidak selalu buruk, kadang ia memberi kita ruang untuk diam sejenak, berpikir lebih dalam, melawan kantuk, atau sekadar istirahat sambil menyusun strategi: gimana caranya lolos dari kemacetan besok pagi dan sore.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler