Pasar Seni ITB 1987: Ketika Tabloid Koma Seru Lahir dan Mati dalam Sehari

Senin, 23 September 2024 23:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah koran mahasiswa yang tidak jelas isinya, ditulis tangan pula. Tapi, justru itulah yang membuatnya menarik dan terkenang, serta menjadi saksi betapa dinamisnya jiwa seni dan budaya mahasiswa ITB kala itu.

Oleh Asep K Nur Zaman

Ada masanya ketika seni tak hanya bicara soal kanvas dan cat minyak, tapi juga tentang bagaimana ide liar bisa diterjemahkan dalam sebuah lembaran kertas yang disusun ala kadarnya. Di Pasar Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) 1987, sebuah tabloid dengan nama yang absurd—",Seru" (baca: Koma Seru)—lahir, bersinar, dan mati, semua dalam hitungan jam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tabloid ini mungkin tidak banyak dikenal oleh generasi sekarang. Tapi, bagi mereka yang hadir di acara tersebut, Koma Seru adalah saksi betapa dinamisnya jiwa seni dan budaya mahasiswa ITB kala itu.

Ceritanya dimulai dari kegelisahan sekelompok mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, yang merasa bahwa seni tidak cukup hanya dipajang di galeri atau dipamerkan dalam bentuk instalasi. Mereka ingin menciptakan sesuatu yang bisa dibawa pulang oleh pengunjung Pasar Seni, sesuatu yang bisa dibaca, diresapi, dan mungkin ditertawakan.

Dari situlah ide membuat tabloid Koma Seru lahir—sebuah “koran” mahasiswa yang tidak jelas isinya, ditulis tangan pula. Tapi, justru itulah yang membuatnya menarik dan dikenang.

Nama Koma Seru sendiri adalah akronim dari "Koran Mahasiswa Seni Rupa". Sederhana, tapi penuh makna. Layaknya koma dalam sebuah kalimat, tabloid ini adalah jeda di tengah keramaian Pasar Seni, memberikan ruang bagi para pembacanya untuk berhenti sejenak, membaca, dan merenung—atau setidaknya tertawa kecil.

Dari judulnya saja, kita bisa menebak kalau isi dari tabloid tersebut tidak akan terlalu serius. Ia penuh dengan celotehan nyeleneh khas mahasiswa seni.

Sampulnya? Jauh dari kata konvensional. Terinspirasi dari patung gajah Ganesha, simbol almamater ITB, cover Koma Seru menampilkan sosok makhluk berkepala gajah namun berbadan Madonna.

Gajah yang biasa kita kenal gagah dan anggun, dalam ilustrasi itu terlihat sedikit absurd, kehilangan gadingnya agar tidak menyinggung pihak tertentu. Sosok ini seolah menjadi cerminan dari semangat mahasiswa seni rupa: berani bermain dengan simbol, tapi tetap menjaga sensitivitas budaya.

Namun, di balik tampilannya yang nyentrik, tabloid ini tidak luput dari kritik sosial dan humor satir. Artikel-artikelnya ditulis tangan, penuh coretan spontan yang menampilkan sisi humoris dan terkadang sarkastis tentang isu-isu kampus, kehidupan mahasiswa, bahkan politik.

Setiap halaman menawarkan pandangan unik yang jarang ditemukan di media mainstream. Mungkin inilah alasan mengapa tabloid ini habis terjual dalam hitungan jam—bukan karena kualitas jurnalistiknya, tapi karena keberaniannya untuk berbeda.

Tabloid yang dicetak sekitar 3000 eksemplar ini dijual seharga 500 perak saja. Harga yang terbilang murah untuk sepotong sejarah, setara ongkos angkutan kota jarak pendek kala itu. Sejarah yang, sayangnya, hanya ditoreh dalam sehari.

Koma Seru tidak pernah terbit lagi. Bukan karena tidak laku, tapi karena konsepnya memang dibuat untuk sekali terbit. Seperti layaknya karya seni instalasi yang hanya bisa dinikmati sementara, Koma Seru adalah karya seni dalam bentuk tabloid yang hidup sekejap dan kemudian lenyap.

Para mahasiswa yang terlibat dalam penerbitannya, termasuk Kumara Dewatasari, sang pemimpin redaksi, mungkin tidak pernah menyangka bahwa karya mereka akan dikenang sebagai salah satu elemen ikonik dari Pasar Seni ITB 1987.

Tapi, mungkin di situlah letak keindahannya. Koma Seru adalah bukti bahwa seni tidak harus abadi untuk bisa bermakna. Terkadang, yang terpenting adalah momen itu sendiri—momen ketika sebuah ide gila bisa dieksekusi dan dinikmati, meski hanya untuk sehari.

Saya memaknai, tabloid ini adalah bentuk perlawanan terhadap keseriusan hidup, sekaligus penghormatan pada kebebasan berekspresi yang menjadi napas dari seni rupa itu sendiri.

Kini, puluhan tahun setelah Pasar Seni ITB 1987, mereka yang pernah menyentuh lembaran Koma Seru mungkin hanya bisa mengenang. Tabloid itu mungkin sudah hilang entah ke mana, terkubur bersama kertas-kertas tua yang tak lagi terpakai.

Tapi spiritnya? Masih ada. Spirit bahwa seni, bagaimanapun bentuk dan mediumnya, selalu punya cara untuk membuat kita tersenyum, berpikir, dan melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Sama seperti tabloid Koma Seru, hidup ini mungkin tidak lebih dari sekumpulan koma yang terus berlanjut—menggantung, penuh tanda tanya, dan selalu seru!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler