Agar Kampanye Pilkada Tak Jadi Arena Pertengkaran Ujaran

Rabu, 25 September 2024 05:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kampanye Pilkada akan segera digelar mulai 25 September ini. Penting dilakukan penguatan literasi Pilkada para pemilih.

Dua hari lalu, 22 September 2024, KPU di seluruh daerah telah menetapkan para bakal pasangan calon sebagai Pasangan Calon (Paslon) Kepala dan Wakil Kepala Daerah, bahkan juga telah menetapkan nomor urut masing-masing pasangan kandidat. Dan sesuai Peraturan KPU Nomor 2 Tauhn 2024 tentang Tahapan Jadwal Pilkada, mulai tanggal 25 September 2024, kegiatan kampanye dihelat serentak di masing-masing daerah.

Sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, “Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika merujuk pada norma perundangan tersebut kegiatan kampanye itu simple dan mudah dibayangkan. Termasuk berbagai kemungkinan peristiwa atau kejadian yang akan berlangsung dan mewarnai perhelatannya.

Peserta Pemilu, yakni para Pasangan Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah  mempromosikan visi, misi, program masing-masing kepada pemilih.  Bisa melalui (secara opsional) metode pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka dan dialog; debat publik atau debat terbuka antar-Pasangan Calon; penyebaran bahan Kampanye kepada umum;  pemasangan alat peraga; iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau  kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 18 ayat 1 PKPU 13/2024).

Kemudian para pemilih membaca, mendengar, memahami, mengambil sikap dan memutuskan tawaran visi, misi dan program Paslon mana yang mau dipilih. Simpan di hati keputusan itu, lalu tunggu sambil tetap menjalankan aktifitas keseharian, dan berikan suara di TPS pada tanggal 27 November 2024 mendatang.

Arena Pertengkaran Ujaran

Namun dalam praksisnya, kampanye Pilkada tentu tidak akan sesimpel itu. Baik Peserta Pemilu maupun masyarakat (pemilih) akan terlibat dalam berbagai aktifitas yang tidak tertulis dalam regulasi. Mulai dari bentuk-bentuk aktifitas yang normal, legal (karena tidak dilarang) dan konstruktif; aktifitas yang nyerempet ke area abu-abu dan cenderung destruktif; hingga ke berbagai perilaku yang nyata-nyata dilarang oleh perundang-undangan.

Di era teknologi informasi dan komunikasi digital yang kian canggih dengan berbagai platform yang tersedia dan kian masif penggunaannya dalam masyarakat, situasi saling terlibat dalam aktifitas tak tertulis di seputar kegiatan kampanye Pilkada ini potensial bisa memicu kegaduhan dan ragam permasalahan di lapangan. Pengalaman Pemilu 2024 lalu dan Pilkada-Pilkada sebelumnya silam jelas menunjukkan fenomena ini.

Terlebih lagi jika isu-isu sensitif, baik yang pernah muncul dalam Pilkada atau Pemilu sebelumnya maupun yang merebak akhir-akhir ini dan masih menghangat hingga sekarang kemudian mencuat, berebut panggung dan dikapitalisasi demikian rupa oleh masing-masing kubu dan para pendukung Paslon. Kampanye akan kian gaduh dan problematis, bukan oleh kontestasi gagasan, melainkan oleh pertengkaran berbagai ujaran di ruang-ruang publik.

Bertolak dari situasi hipotetik (sebagiannya saya kira sudah mendekati keniscayaan yang nampaknya akan sulit dihindari dan dikendalikan) itulah ikhtiar-ikhtiar memperkuat literasi Pilkada menjadi penting. Terutama untuk masyarakat yang, mohon maaf, tingkat literasi politik dan pengetahuannya seputar Pilkada relatif belum cukup baik. Atau secara lebih spesifik untuk para pemilih yang literasi Pilkadanya, karena satu dan lain alasan, relatif masih tergolong belum memadai.

Literasi Politik dan Pilkada  

Menurut Denver dan Hands (1990) dalam Karim dkk (2015), Literasi Politik (political literacy) merupakan pengetahuan dan pemahaman tentang proses politik dan isu-isu politik. Suatu pengetahuan dan pemahaman yang memungkinkan setiap warga negara dapat secara efektif melaksanakan perannya (berperan serta, berpartisipasi) sebagai warga negara. Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997) disebut sebagai political expertise dan political awareness, yang intinya merujuk pada maksud sejauhmana seorang individu warga negara memberi perhatian dan memahami isu-isu politik.

Dalam frasa yang simpel dan assertif, Westholm et al. (1990) menyatakan, bahwa literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.

Dalam kerangka makro literasi politik inilah terma literasi Pilkada diletakkan. Pemilih dalam konteks ini tidak hanya menjadi obyek target kampanye, melainkan juga harus menjadi subyek dalam kegiatan kampanye, atau secara umum dalam keseluruhan perhelatan Pilkada. Sebagai subyek, para pemilih dituntut untuk dapat memainkan peran-perannya secara aktif, efektif sekaligus konstruktif dalam Pilkada.

Dengan merujuk dan mengadaptasi pemikiran Mudhok (2005) mengenai literasi politik, untuk sampai pada level literate (melek) secara elektoral, para pemilih penting memiliki sedikitnya 4 (empat) aspek kriterium berikut.

 Pertama, sikap hirau dan peduli terhadap rangkaian kegiatan Pilkada. Kedua, kemampuan mengembangkan otonomi politik sebagai pemilih. Ketiga, pengetahuan yang memadai seputar Pilkada. Keempat, antusiasme dan kesungguhan untuk berpartisipasi, mengambil peran aktif dan konstruktif dalam rangkaian kegiatan Pilkada.

Dalam konteks kegiatan kampanye Pilkada, dengan empat kapasitas dan kompetensi itu, sebagai subyek para pemilih dimungkinkan bukan saja dapat membaca, memahami dan mengambil keputusan secara kritis terhadap opsi-opsi tawaran para peserta Pilkada. Tetapi juga dapat berperan aktif dalam ikhtiar-ikhtiar saling memperkuat literasi Pilkada dengan sesama pemilih. Sekaligus juga dapat turut serta secara aktif mencegah berbagai potensi penyimpangan atau malpraktek dalam aktifitas kampanye.

 Peran Civil Society dan Intelektual Publik

Lantas siapa saja yang relevan memikul tanggungjawab atas tugas penting memperkuat dan meningkatkan literasi Pilkada para pemilih ini, serta bagaimana strategi dan upaya yang bisa dilakukannya ?

 Secara normatif dan teknis, tentu saja penyelenggara Pilkada terutama KPU merupakan pihak yang paling bertanggungjawab melaksanakan kewajiban dan tugas penting ini. Dan untuk melaksanakan tugas ini, KPU telah dibekali perangkat sumberdaya pelaksanaannya. Mulai regulasi, anggaran biaya, formulasi metode dan bentuk kegiatan, hingga struktur kelembagaan berupa Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat (Sosdiklih Parmas).

Melalui Divisi Sosdiklih Parmas itulah KPU di berbagai daerah kini tengah aktif menggelar berbagai bentuk dan metode sosialisasi dan pendidikan pemilih. Berbagai segmen masyarakat disasar, beragam kegiatan digelar.

Tetapi untuk memperkuat literasi politik Pilkada, KPU saja tentu tidak cukup. Karena itu diperlukan peran-peran aktif stakeholders Pilkada lainnya. Misalnya Pemerintah Daerah, mitra-mitra pemerintah di daerah seperti Ormas dan pers lokal, dan sudah barang pasti Partai Politik para pengusung Paslon Kada Wakada.

Dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat sipil (civil society) seperti organisasi pegiat Pemilu-Pilkada, para aktifis, dan tokoh masyarakat lokal, serta kalangan intelektual publik yang bertebaran di berbagai kampus. Peran kedua elemen ini (civil society dan intelektual publik) penting terutama untuk memberi muatan-muatan dari sisi substansi politik dan demokrasi elektoralnya.

Salah satu aspek strategis dan mendesak dalam kerangka muatan-muatan substansi demokrasi dan politik elektoral itu adalah menghidupkan kesadaran kritis pemilih dalam membaca, memahami, memilah dan akhirnya memutuskan figur-figur Paslon mana yang pantas dan layak dipilih berdasarkan kriteria yang ideal dan relevan dengan kebutuhan daerahnya.

Jadi, urusan-urusan teknikalitas kepilkadaan seperti kapan waktu memberikan suara,   bagaimana caranya, perealatan apa yang digunakan dan lain sebagainya biarkan semua sisi ini menjadi tugas KPU sebagai penyelenggara dengan pengawasan ketat oleh Bawaslu.

Sementara kalangan civil society dan intelektual publik masuk ke wilayah-wilayah substantif seperti hakikat dan pentingnya kepemimpinan lokal dalam kehidupan masyarakat di daerah, kriteria pemimpin yang baik dan sesuai kebutuhan mendesak, rekam jejak serta visi misi dan program para kandidat, dan implikasi politik jika keliru memilih serta isu-isu strategis lokal lainnya.

Dengan cara demikian, para pemilih akan memiliki kecukupan informasi seputar pernak-pernik teknikalitas Pilkada sekaligus insight dan nalar kritis sebagai warga negara ketika memutuskan pilihannya di bilik suara. Dan ini artinya, partisipasi pemilih tidak lagi sekedar berupa kalkulasi angka-angka statistikal kehadiran di TPS. Melainkan juga menyasar dan berkenaan dengan dimensi kualitas pilihan dari para pemilih.   

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler