Relasi Cinta Tidak Pernah Murni

Rabu, 25 September 2024 17:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content2
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cinta dianggap sebagai fondasi yang kokoh, menjadikan relasi tersebut bebas dari kepentingan pribadi atau motif tersembunyi. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar.

Oleh Mugi Muryadi

Selama ini, relasi cinta antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam ikatan suami dan istri, sering kali dipandang sebagai hubungan yang murni dan tulus. Cinta dianggap sebagai fondasi yang kokoh, menjadikan relasi tersebut bebas dari kepentingan pribadi atau motif tersembunyi. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Di balik idealisasi cinta yang sering diromantisasi, banyak relasi sebenarnya dibentuk oleh dinamika kekuasaan, ekspektasi sosial, dan kebutuhan emosional yang tidak selalu murni.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cinta sering dianggap sebagai perasaan murni yang bebas dari pengaruh luar. Namun, realitas menunjukkan bahwa cinta tidak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh sosial dan kekuasaan. Misalnya, dalam hubungan selebriti seperti Kanye West dan Kim Kardashian, kita bisa melihat bagaimana ketenaran, status, dan ekspektasi masyarakat mempengaruhi relasi mereka. Cinta antara laki-laki dan perempuan jarang benar-benar murni, selalu dipengaruhi oleh elemen eksternal.

Masyarakat sejak dini membentuk pandangan tentang peran laki-laki dan perempuan dalam cinta. Dalam banyak budaya, laki-laki dipandang sebagai pihak yang lebih aktif dan dominan. Sebagai contoh, di Indonesia, norma-norma patriarkal masih mengharapkan laki-laki menjadi kepala keluarga yang membuat keputusan penting. Hal ini menciptakan ekspektasi bahwa perempuan harus berperan lebih pasif. Norma ini kemudian membentuk dinamika relasi cinta yang tidak seimbang.

Menurut Pierre Bourdieu, kekuasaan dalam cinta sering kali bersifat simbolis. Ini berarti kekuasaan tidak selalu tampak secara jelas, tetapi tetap memengaruhi hubungan. Contohnya, dalam pernikahan tradisional, laki-laki seringkali memegang kendali dalam pengambilan keputusan keuangan. Di Amerika Serikat, studi menunjukkan bahwa 70% keputusan keuangan rumah tangga masih didominasi oleh laki-laki. Kekuasaan ini, meskipun tidak selalu disadari, menunjukkan bahwa cinta sering terjalin dengan kekuasaan.

Kekuasaan dalam hubungan cinta juga sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Laki-laki dengan penghasilan lebih tinggi sering kali memiliki kontrol lebih dalam hubungan. Hal ini tampak pada kasus-kasus di mana pasangan perempuan bergantung secara finansial pada laki-laki. Seperti dalam kasus publik Britney Spears dan mantan suaminya, Kevin Federline, yang mana ketergantungan finansial mempengaruhi arah hubungan mereka. Ketergantungan ini menunjukkan bagaimana cinta dapat terhubung dengan subordinasi.

Pengalaman masa lalu juga memengaruhi bagaimana seseorang menjalani hubungan cinta. Psikolog Sigmund Freud berpendapat bahwa pola relasi cinta seseorang terbentuk dari pengalaman masa kecil. Misalnya, seorang anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang mungkin akan mencari hubungan yang lebih sehat. Sebaliknya, orang yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, seperti Rihanna yang pernah mengungkap trauma masa kecilnya, membawa pola relasi yang penuh ketegangan ke dalam hubungan mereka.

Status sosial juga berperan penting dalam menentukan bagaimana cinta berlangsung. Di banyak budaya, hubungan antara orang dengan status sosial yang berbeda dianggap tidak sepadan. Contoh terkenal adalah kisah cinta antara Pangeran Harry dan Meghan Markle, yang dipengaruhi oleh perbedaan status sosial dan ras. Hubungan mereka memperlihatkan bahwa cinta bukan sekadar emosi pribadi, tetapi juga alat yang memengaruhi status sosial.

Tidak hanya kekuasaan yang bersifat eksplisit, kekuasaan emosional juga memainkan peran penting dalam relasi cinta. Misalnya, dalam hubungan Johnny Depp dan Amber Heard, perseteruan mereka menunjukkan bahwa kontrol emosional dapat menambah lapisan kerumitan dalam hubungan. Kontrol emosional ini tidak terlihat langsung, tetapi memiliki dampak yang signifikan pada dinamika kekuasaan dalam cinta.

Subordinasi dalam cinta sering terjadi tanpa disadari oleh pihak yang terlibat. Misalnya, dalam hubungan selebriti seperti Beyoncé dan Jay-Z, meskipun Beyoncé adalah sosok yang kuat, dia pernah mengungkap bahwa dia menyesuaikan banyak hal dalam pernikahannya demi menjaga keharmonisan. Keputusan yang diambil terlihat seolah-olah hasil kesepakatan bersama, padahal kekuasaan tidak seimbang. Ini menandakan bahwa subordinasi dalam cinta bisa terjadi secara halus dan tidak terlihat.

Trauma masa lalu juga dapat memperburuk dinamika kekuasaan dalam cinta. Mereka yang pernah mengalami kekerasan atau hubungan toksik di masa lalu mungkin lebih rentan terhadap ketergantungan emosional. Sebagai contoh, dalam hubungan Rihanna dengan Chris Brown, ketergantungan emosional akibat trauma masa lalu tampak jelas. Hal ini memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan kekuasaan sering kali berasal dari pengalaman emosional yang tidak sehat.

Norma sosial juga turut mengatur siapa yang layak untuk dicintai dan bagaimana cinta harus diekspresikan. Contoh nyatanya adalah hubungan antaragama di Indonesia yang sering mendapat tantangan berat. Banyak pasangan lintas agama harus menghadapi tekanan sosial karena cinta mereka dianggap tidak sesuai norma. Ini membuktikan bahwa cinta jarang benar-benar bebas dari pengaruh eksternal, terutama norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Namun, tidak semua kekuasaan dalam cinta bersifat negatif. Ada kalanya kekuasaan digunakan untuk melindungi dan mendukung pasangan. Misalnya, dalam hubungan pasangan bisnis seperti Bill dan Melinda Gates, kekuasaan digunakan untuk menciptakan keseimbangan dan kesuksesan bersama. Meskipun kekuasaan tetap ada, dalam hubungan ini, kekuasaan tersebut berfungsi untuk membantu pasangan berkembang secara sejajar, bukan untuk mendominasi.

Jadi, relasi cinta antara laki-laki dan perempuan tidak pernah sepenuhnya murni. Pengaruh kekuasaan sosial, ekonomi, dan emosional selalu ada dalam dinamika hubungan cinta. Subordinasi yang tersembunyi, trauma masa lalu, serta norma sosial semuanya membentuk relasi cinta menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kekuasaan yang hadir dalam berbagai bentuk.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi pahit

53 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler