Dari Ki Hajar Dewantara ke Nadiem; Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?
Kamis, 26 September 2024 09:10 WIBEra Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah membawa berbagai perubahan signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kebijakan Merdeka Belajar yang diusungnya merupakan upaya untuk mengadaptasi pendidikan Indonesia ke era digital serta membentuk generasi yang berpikir kritis dan inovatif. Namun, di balik berbagai inovasi yang diperkenalkan, kritik terhadap kebijakan ini juga bermunculan, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan.
Salah satu gagasan utama yang diusung oleh Nadiem adalah kebebasan dalam belajar atau Freedom of Learning. Kebijakan ini diharapkan mampu mendorong pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada siswa, serta memanfaatkan teknologi digital dalam pendidikan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi siswa, yang sejalan dengan tuntutan zaman.
Namun, ada pandangan bahwa kebijakan ini lebih banyak mempersiapkan sumber daya manusia untuk kepentingan ekonomi dan industri sesuai visi Indonesia 2045. Salah satu kritik yang menonjol terhadap kebijakan ini adalah potensi kesenjangan dalam implementasinya.
Penerapan teknologi digital sebagai tulang punggung pendidikan di Indonesia masih terbentur oleh masalah infrastruktur, terutama di daerah terpencil yang belum memiliki akses internet memadai. Tantangan yang dihadapi daerah-daerah tersebut, seperti keterbatasan akses internet, membuat pembelajaran daring sulit diterapkan secara efektif. Kondisi ini memperbesar kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Lebih jauh lagi, kebijakan "Merdeka Belajar" juga dipandang oleh beberapa kritikus sebagai bentuk adopsi kurikulum yang cenderung sekuler dan kapitalistik. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesadaran global, secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai yang jauh dari identitas nasional Indonesia yang kaya akan budaya dan agama. Kritik ini sejalan dengan pandangan beberapa akademisi yang melihat bahwa inovasi pendidikan di Indonesia tidak selalu sejalan dengan norma-norma kultural masyarakat.
Di sisi lain, strategi politik yang digunakan oleh Nadiem Makarim dalam memperluas cakupan kebijakannya juga menjadi sorotan. Strategi ini mencerminkan pendekatan agresif dalam mengimplementasikan regulasi baru untuk mengembangkan pendidikan. Nadiem dipuji karena berani mengambil tindakan nyata dalam mereformasi sistem pendidikan yang selama ini terkesan stagnan. Namun, beberapa pihak merasa bahwa pendekatan ini terlalu cepat dan tidak memperhitungkan kesiapan seluruh ekosistem pendidikan, terutama para guru dan sekolah-sekolah di daerah terpencil yang kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak.
Menjelang akhir masa jabatannya, Nadiem Makarim masih menghadapi sejumlah kritik terkait arah kebijakan pendidikan yang telah diterapkannya. Salah satu sorotan utama adalah bagaimana kebijakan "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" dipandang tidak sepenuhnya berhasil membawa pendidikan Indonesia keluar dari berbagai masalah struktural yang sudah ada sejak lama. Meskipun program-program ini bertujuan untuk memodernisasi sistem pendidikan dan menyiapkan generasi muda untuk tantangan global, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan.
Kritik terbesar yang sering muncul adalah soal ketimpangan akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Di berbagai daerah, terutama di pelosok, tantangan infrastruktur seperti akses internet, perangkat teknologi, dan kualifikasi guru masih menjadi hambatan signifikan. Meskipun kebijakan Nadiem berfokus pada digitalisasi pendidikan, masih banyak sekolah di daerah yang belum memiliki sarana pendukung yang memadai. Hal ini menimbulkan ketimpangan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan, yang ironisnya justru memperparah ketidakmerataan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, arah pendidikan yang dibawa oleh Nadiem kerap dikritik sebagai terlalu pragmatis dan berorientasi pasar, sehingga dianggap mengorbankan aspek-aspek penting seperti pendidikan karakter dan kearifan lokal. Sebagai contoh, beberapa akademisi berpendapat bahwa kebijakan yang lebih menekankan pada pengembangan keterampilan dan employability (kesempatan kerja) menggeser fokus dari pembentukan moral dan karakter siswa yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan ini mungkin terlalu dekat dengan model pendidikan sekuler yang lebih mementingkan persiapan tenaga kerja dibandingkan pembentukan warga negara yang beretika dan bermoral.
Di akhir masa jabatannya, Nadiem juga menghadapi kritik terkait dengan visi jangka panjang pendidikan Indonesia. Beberapa pengamat menilai bahwa meskipun visi Indonesia 2045 yang menjadi landasan kebijakan Makarim bertujuan mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif, arah kebijakan tersebut kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan relevansi pendidikan dalam konteks kultural dan sosial masyarakat Indonesia. Kebijakan pendidikan yang terlalu berorientasi pada kepentingan pasar dan visi global tanpa memperhatikan karakteristik lokal dapat berujung pada alienasi siswa dari identitas nasional mereka.
Lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan ini juga dikritik dari sudut pandang filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang menekankan pentingnya pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal dan pengembangan budi pekerti. Meskipun Nadiem kerap dikaitkan dengan semangat inovatif yang sejalan dengan gagasan Dewantara, beberapa akademisi merasa bahwa program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" kurang mempertimbangkan nilai-nilai kebangsaan dan pendidikan berbasis karakter yang diusung oleh Dewantara. Pendidikan tidak hanya soal kemampuan intelektual, tetapi juga pengembangan moralitas dan karakter, yang dalam banyak kasus terabaikan dalam kebijakan-kebijakan terbaru ini.
Kesimpulannya, di akhir masa jabatan Nadiem Makarim, arah kebijakan pendidikan masih menjadi topik yang memicu pro dan kontra. Sementara ia berhasil membawa perubahan yang signifikan dalam hal pendekatan teknologi dan inovasi pendidikan, sejumlah masalah struktural seperti kesenjangan akses, relevansi budaya, dan penekanan pada pendidikan karakter belum teratasi dengan baik. Masa depan pendidikan Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih seimbang antara modernisasi dan penghargaan terhadap nilai-nilai lokal serta karakter bangsa, jika tidak ingin terjebak dalam sistem yang mengejar perkembangan global namun melupakan akar kebangsaan.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Dari Ki Hajar Dewantara ke Nadiem; Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?
Kamis, 26 September 2024 09:10 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler