Oleh Asep K Nur Zaman
DPR sepakat memberikan tanda jasa kehormatan untuk diri sendiri. Memang terasa janggal dan mengundang pertanyaan. Di tengah berbagai kritik terhadap kinerja mereka, langkah ini terkesan seperti sebuah upaya untuk memvalidasi pencapaian—meski tidak ada apresiasi dari masyarakat luas.
Iklan
Itu adalah pelajar "menghargai diri sendiri" yang tidak elok. Sebuah lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat, tiba-tiba memutuskan untuk memberi penghargaan bagi anggotanya sendiri. Sebuah piagam dan pin untuk menandai "pengabdian" selama lima tahun.
Bukannya meraih penghargaan dari penilaian publik atau pihak independen, DPR memilih untuk memberikan tanda kehormatan kepada diri mereka sendiri. Ini seperti seorang siswa yang memberikan sertifikat "Siswa Terbaik" pada diri sendiri di akhir tahun ajaran, tanpa memperhitungkan apakah prestasi itu diakui oleh teman-teman atau gurunya.
Dalih bahwa pin yang diberikan terbuat dari logam biasa, bukan emas, tak mengubah persepsi publik. Masalahnya bukan soal harga atau bahan dari pin tersebut, tetapi lebih kepada konflik kepentingan yang timbul.
Bagaimana mungkin sebuah penghargaan dianggap objektif jika pemberi dan penerima penghargaan adalah orang yang sama? Ini menunjukkan bahwa mereka tak ingin menunggu penilaian eksternal—karena, barangkali, mereka sadar betul bahwa apresiasi itu tak akan datang dari rakyat.
Para pengamat menyoroti bahwa kinerja DPR periode 2019-2024 sungguh memprihatinkan. Malah, boleh dibilang, amit-amit jabang bayi!
Ingat saja, dari 26 RUU yang disahkan dalam lima tahun, banyak di antaranya justru memicu kontroversi besar, seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah RUU penting bahkan dibahas secara serampangan dan pragmatis.
Tapi, di saat kepercayaan publik menurun, alih-alih introspeksi, mereka justru memilih untuk merayakan diri sendiri dengan "tanda jasa". Betapa narsisnya!
Sebetulnya, penghargaan seharusnya datang dari penilaian masyarakat, yang langsung merasakan dampak kebijakan mereka. Jika publik merasa puas, tak perlu ada peraturan atau formalitas; penghargaan akan datang dengan sendirinya.
Namun, dengan memberikan penghargaan kepada diri sendiri, seolah mereka ingin menutupi fakta bahwa selama lima tahun, banyak kritik yang dilontarkan tanpa solusi nyata. Mereka, memang tak berdaya dan tidak punya kemauan untuk berdaya guna.
Pada akhirnya, piagam dan pin kehormatan ini lebih terasa sebagai ritual formalitas daripada penghargaan yang benar-benar layak. Lucunya, penghargaan ini justru lebih banyak menuai kritik dibanding pujian. Masyarakat malah melihat ini sebagai refleksi kegagalan, karena tidak ada pihak luar yang bersedia memberi mereka apresiasi.
Seperti halnya di jalan tikus yang kadang membingungkan, DPR memilih jalan pintas untuk memperoleh penghargaan yang mereka rasa pantas. Mereka tidak menyadari bahwa rakyat melihat dan menilai di balik setiap belokan, dan pontennya lebih berpotensi berupa angka merah alias jeblok!