Seni Mencintai Lawan

Sabtu, 28 September 2024 07:18 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content4
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mencintai lawan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam kehidupan, kita sering menghadapi orang-orang yang menyimpan kebencian terhadap kita. Baik itu dari keluarga, teman, atau bahkan masyarakat luas. Menghadapi kebencian membutuhkan kekuatan emosional yang besar.

Oleh Mugi Muryadi

Dalam teori humanisme, Erich Fromm, menyampaikan bahwa mencintai dipandang sebagai keterampilan yang melibatkan tindakan aktif memahami, memberi, dan menghargai orang lain. Hal ini termasuk mereka yang dianggap sebagai "lawan" atau berbeda pandangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Seni mencintai lawan" dalam konteks ini berarti kemampuan untuk melihat kemanusiaan di balik perbedaan. Juga kemampuan menciptakan dialog yang menghormati hak individu dan menjaga martabat. Di sisi lain, seni mencintai "lawan" bisa dimaknai sebagai upaya strategis untuk mengelola konflik dengan bijaksana.

Upaya  membangun jembatan antara pihak-pihak yang bertentangan untuk mencapai kesepakatan yang damai. Kedua pendekatan ini mengajarkan bahwa mencintai lawan bukan hanya soal emosi pribadi. Namun juga tentang kebijaksanaan sosial dan empati yang didasari prinsip-prinsip humanistik.

Mencintai lawan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam kehidupan, kita sering menghadapi orang-orang yang menyimpan kebencian terhadap kita. Baik itu dari keluarga, teman, atau bahkan masyarakat luas.  Menghadapi kebencian membutuhkan kekuatan emosional yang besar.

Salah satu pelajaran penting tentang mencintai lawan dapat dilihat dari kisah nyata Nelson Mandela. Setelah 27 tahun dipenjara oleh rezim apartheid di Afrika Selatan, Mandela memilih jalur rekonsiliasi dan memaafkan mereka yang menindasnya.

Kebencian sering muncul sebagai respons terhadap rasa sakit atau trauma. Kita melihat kasus serupa dalam konflik antaretnis di Maluku. Setelah bertahun-tahun bentrokan, masyarakat Maluku berupaya mengatasi trauma dan membangun kembali kedamaian. Para pemimpin lokal bersama-sama memulai dialog perdamaian, saling memaafkan, dan mengesampingkan dendam. Ini membuktikan bahwa cinta dan pengertian bisa mengatasi kebencian yang paling dalam sekalipun.

Mahatma Gandhi mengajarkan filosofi ahimsa, atau tanpa kekerasan, sebagai respon terhadap kolonialisme Inggris di India. Alih-alih membalas penindasan dengan kekerasan, Gandhi memilih jalan kedamaian. Presiden Gus Dur sering kali menunjukkan sikap yang serupa, dengan menanggapi kritik dan kebencian dengan penuh humor dan kebijaksanaan.

Salah satu contoh cara memaafkan musuh datang dari Corrie ten Boom, seorang penyintas Holocaust. Dia bertemu dengan salah satu penjaga kamp Nazi yang dulu menganiaya keluarganya. Namun, dia memilih untuk memaafkan. Memaafkan lawan bukan berarti kita mengabaikan penderitaan yang kita alami. Ini membebaskan kita dari beban kebencian dan dendam, yang hanya akan menguras energi kita.

Dalam film Laskar Pelangi, Ikal dan teman-temannya menghadapi cemoohan dari teman-teman sekolah mereka yang lebih kaya. Namun, mereka belajar untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian. Mereka malah mencoba memahami bahwa perilaku negatif tersebut berasal dari ketidakpastian dan rasa takut. Melalui empati, kita bisa melihat bahwa kebencian muncul dari rasa kurangnya pemahaman.

Sikap yang penuh teladan adalah cara terbaik untuk mengatasi kebencian. Martin Luther King Jr. menghadapi kebencian rasial yang brutal selama gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Dia tidak pernah membalas dengan kekerasan, tetapi tetap konsisten dalam menunjukkan cinta dan kasih. Keteladanan seperti ini dapat menginspirasi orang lain untuk berubah. Pahlawan nasional Cut Nyak Dien juga menunjukkan cinta pada bangsanya, meski harus menghadapi penindasan Belanda yang penuh kebencian.

Dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Minke, seorang pemuda pribumi, menghadapi diskriminasi dari penjajah Belanda. Alih-alih membalas dendam, Minke belajar bahwa cinta terhadap tanah air dan sesama manusia adalah kunci untuk melawan ketidakadilan. Cerita ini mengajarkan bahwa mencintai lawan membutuhkan keberanian dan kebijaksanaan.

Menjaga batasan yang sehat sangat penting ketika mencintai lawan. Mencintai seseorang tidak berarti kita harus menerima perlakuan buruk tanpa syarat. Di film Indonesia 3 Srikandi, kita melihat bagaimana karakter utama, atlet panahan Indonesia, harus berjuang melawan prasangka dan diskriminasi. Namun, mereka tetap tegar dengan menjaga martabat dan harga diri mereka. Mencintai lawan berarti tetap baik, tetapi juga mempertahankan integritas diri.

Dalam novel klasik Romeo and Juliet, kita melihat bagaimana dua keluarga yang berseteru menghancurkan masa depan anak-anak mereka. Jika mereka diberi waktu dan ruang untuk meredakan emosi, mungkin ceritanya akan berbeda. Memberi lawan ruang untuk berpikir dan meredakan amarah dapat membantu memperbaiki hubungan yang rusak.

Kebencian biasanya muncul dari luka yang dalam. Oleh karena itu, penting untuk mencoba memahami latar belakang orang yang membenci kita. Misalnya, dalam konflik di Aceh yang berlangsung selama puluhan tahun, rekonsiliasi berhasil dilakukan ketika pemerintah dan kelompok separatis mulai memahami motivasi satu sama lain. Pemahaman ini menjadi dasar perdamaian yang lebih permanen. Begitu kita mengerti alasan di balik kebencian, kita bisa merespons dengan lebih bijaksana.

Mencintai lawan bukan berarti kita mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental kita. Dalam buku The Subtle Art of Not Giving a Fck* karya Mark Manson, penulis menekankan pentingnya memilih apa yang benar-benar penting dalam hidup. Dengan menjaga keseimbangan diri, kita dapat tetap kuat dan stabil saat berhadapan dengan kebencian.

Jadi, seni mencintai lawan adalah proses yang membutuhkan waktu, kesabaran, dan kebijaksanaan. Kisah-kisah baik fiksi maupun nyata, dari Mandela hingga Gus Dur, menunjukkan bahwa cinta bisa menjadi kekuatan yang lebih besar daripada kebencian. Meskipun sulit, mencintai lawan membawa kedamaian bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi pahit

53 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler