Elegi Ditinggal Istri: Meraih Kekuatan atas Kehilangan lewat Yasinan
Minggu, 29 September 2024 15:55 WIBKesendirian yang dirasakannya adalah sesuatu yang mungkin kita semua akan hadapi suatu saat nanti. Kehilangan pasangan hidup, yang merupakan belahan jiwa, adalah sebuah ujian besar yang sulit menemukan penawarnya.
Oleh Asep K Nur Zaman
Suatu pagi, saya melihat Pak Irwan kembali jogging di sekitar komplek perumahan. Namun, ada yang berbeda dari langkahnya. Gesturnya tidak lagi bergairah, bertenaga, dan menyungging senyum seperti dulu.
Kali ini, langkah kakek berusia 60-an tahun itu tampak lunglai, seperti dipaksakan, seolah-olah tubuhnya membawa beban yang jauh lebih berat dari sekadar fisik. Ya, kali ini Pak Irwan jogging sendirian.
Tak ada lagi sosok yang biasa menemaninya di pagi hari, yaitu sang istri tercinta. Wanita yang selama puluhan tahun setia mendampinginya, yang telah memberinya anak dan cucu, kini tak lagi di sisinya. Sebulan lalu, istrinya berpulang, meninggalkan Pak Irwan dalam kesendirian.
Sejak kepergian istrinya, Pak Irwan memang tampak lain. Saat acara tahlilan di malam pertama, kedua, hingga ketiga dan ketujuh, lesu itu sudah terlihat. Kehangatan dan canda yang dulu akrab di antara kami, tetangga dan teman-temannya, seolah ikut terkubur bersama sang istri.
Pak Irwan yang biasanya ramah dan penuh semangat kini lebih sering terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan saat pemakaman, wajahnya tak lagi memancarkan kekuatan seperti yang biasa kita lihat. Tampaknya, ia sedang berhadapan dengan sebuah kenyataan baru—yang tak bisa lagi ia hadapi dengan sang istri di sisinya.
___
Pagi ini, tanpa diduga, Pak Irwan mampir ke rumah saya. Mengemudi mobilnya sendiri, ia tiba di depan rumah dengan tatapan kosong. Setelah kami bertegur sapa singkat, ia menyerahkan sebuah amplop besar.
"Ini apa, Pak?" tanya saya, penasaran. Dengan suara pelan dan berat, ia menjawab, "Ini buku Yasinan, undangan untuk yasinan 40 hari meninggalnya istri saya. Tolong bapak-bapak yang lain di komplek ini diajak hadir."
Ucapannya penuh keharuan. Saya mengangguk, berusaha menahan rasa iba. Ia pamit dengan langkah yang sama lunglainya, membawa kesedihan yang tampaknya tak kunjung reda.
---
Kesendirian yang dirasakan Pak Irwan adalah sesuatu yang mungkin kita semua akan hadapi suatu saat nanti. Kehilangan pasangan hidup, yang merupakan belahan jiwa, adalah sebuah ujian besar yang sulit menemukan penawarnya.
Hanya waktu, doa, dan dukungan dari orang-orang sekitar yang bisa sedikit demi sedikit mengobati luka itu. Tetapi, bagi Pak Irwan, waktu seakan bergerak lebih lambat, dan pagi-pagi tanpa istrinya kini terasa sunyi.
Dalam amplop undangan yang ia serahkan, saya melihat lebih dari sekadar buku Yasinan. Saya melihat tanda cinta yang masih hidup meski sang istri telah tiada. Pak Irwan berusaha melanjutkan tradisi, menghormati istrinya melalui doa bersama, meski hatinya mungkin hancur.
Ia tahu, menghadapi kesendirian itu tidak mudah. Tetapi, setidaknya ada sedikit kekuatan dalam kebersamaan, meski hanya untuk satu malam tahlilan dan membaca Surah Yasin bersama keluarga, tetangga, dan handai taulan.
Kesedihan ini mungkin tak akan cepat berlalu. Namun, melalui momen-momen seperti itu (tahinan dan yasinan), kita bisa mengingatkan diri: dukungan kecil apa pun dari tetangga, teman, atau keluarga dapat membantu seseorang yang sedang terpuruk untuk tetap kuat.
Dan, untuk Pak Irwan, langkah-langkah lunglainya pagi ini adalah bagian dari proses itu—proses menerima, merelakan, dan terus melangkah meskipun dengan hati yang masih terasa kosong.
Saya pun berharap, malam 40 hari nanti bisa menjadi momen bagi Pak Irwan untuk sedikit menemukan kedamaian, meskipun dalam sekejap, di tengah doa-doa jamaah yang mengiringi kepergian istrinya.
Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
3 Pengikut
Kini Katakan Sejujurnya, Miskin itu Ya Miskin!
19 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler