Catatan PNS Tua: Ironi di Balik Kegiatan Fullboard
Rabu, 2 Oktober 2024 19:51 WIBInilah refleksi pribadi seorang ASN dengan lebih dari dua dekade pengalaman. Inilah keseharian birokrasi yang penuh ironi. Kisah tentang konflik antara idealisme awal dan kenyataan yang dihadapi di lapangan.
Oleh Eka
Lebih dari dua dekade yang lalu, saya memulai perjalanan sebagai ASN di usia muda, penuh harapan dan idealisme. Seperti banyak dari kami yang memasuki dunia birokrasi, ada keyakinan kuat bahwa kami bisa membawa perubahan, memperbaiki sistem yang sudah lama berjalan, dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati.
Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari ada jurang besar antara harapan dan kenyataan. Birokrasi sering kali menjadi arena di mana formalitas menutupi realitas, dan di tengah segala aturan serta rutinitas, idealisme kami perlahan diuji oleh kenyataan yang lebih rumit dari yang dibayangkan.
Tentu, saya tidak memulai karier ini dengan skeptisisme. Awalnya, saya benar-benar percaya bahwa perubahan bisa datang dari dalam. Namun, semakin lama saya berada di sini, semakin terasa bahwa formalitas, bukan substansi, yang menguasai keseharian kami. Dalam serial tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman, bukan hanya untuk orang lain, tapi juga sebagai refleksi diri—tentang bagaimana kami, para ASN, menghadapi dilema dan kontradiksi yang tak terelakkan di tengah birokrasi yang kaku.
Salah satu contoh nyata dari kontradiksi ini bisa dilihat dalam kegiatan fullboard tahunan. Sebuah kegiatan yang di atas kertas terlihat serius dan penting: evaluasi kinerja, seminar, dan pembahasan kebijakan. Namun, bagi kami yang sudah berkecimpung cukup lama, acara seperti ini tak lebih dari rutinitas tahunan yang berjalan tanpa banyak perubahan. Pagi itu, suasana kantor terasa lengang, sebagian besar rekan sudah berangkat ke luar kota untuk menghadiri acara tersebut.
Bagi mereka yang baru pertama kali ikut, fullboard mungkin terdengar menarik: menginap beberapa hari di hotel berbintang, akomodasi lengkap, agenda formal. Namun, di balik semua kemasan itu, ada rasa ganjil yang tak pernah hilang. Saya bertanya-tanya dalam hati, “Apakah anggaran sebesar ini benar-benar meningkatkan kinerja?"
Saya ingat betul, setiap kali fullboard diadakan, banyak waktu yang habis untuk persiapan, pelaksanaan, hingga laporan administratif yang panjang. Ironisnya, tugas-tugas pokok kami di kantor sering kali terbengkalai, dengan alasan kekurangan sumber daya. Setiap hari kami bergulat dengan dokumen yang tak kunjung selesai, duduk di depan komputer yang sering kali lebih lambat dari langkah reformasi yang kami idamkan. Mesin fotokopi rusak, printer kehabisan tinta—semua ini menjadi alasan mengapa laporan terpaksa ditunda. Lalu, bagaimana mungkin sebuah rapat mewah di hotel berbintang akan mengubah segalanya?
Keputusan untuk tidak ikut kali ini bukan karena merasa lebih baik dari yang lain. Saya hanya mulai mempertanyakan makna dari semua ini. Lebih baik tempat saya diisi oleh mereka yang lebih antusias, daripada saya hadir dengan setengah hati. Mungkin mereka bisa menemukan makna yang hilang di dalam formalitas ini—saya sendiri tidak yakin.
Dalam setiap rapat, selalu ada satu kata yang sering diucapkan: “integritas”. Kata ini begitu dominan dalam setiap presentasi dan diskusi. Tapi semakin lama saya mendengarnya, semakin terasa hampa. “Apakah kita sedang menipu diri sendiri?” pertanyaan itu muncul berulang kali dalam pikiran saya. Ada jurang besar antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan.
Ironisnya, institusi tempat saya bernaung adalah institusi pengawasan internal. Kami diharapkan menjaga integritas, memastikan sistem tetap lurus. Namun, sering kali formalitaslah yang mendominasi, membuat kami terjebak dalam rutinitas tanpa perubahan nyata. Kegiatan seperti fullboard ini, misalnya, adalah contoh kecil dari ironi tersebut. Di atas kertas, acara ini disusun dengan rapi—agenda resmi penuh evaluasi kinerja dan diskusi kebijakan. Tapi di balik itu semua, rapat yang seharusnya menghasilkan keputusan penting sering kali hanya menjadi ajang berbasa-basi atau lebih parah lagi, sesi liburan bersama (gratis) yang tampaknya justru menjadi daya tarik utamanya.
Lalu, apa yang dihasilkan dari semua ini? Banyak waktu dan uang negara yang habis untuk kenyamanan sesaat—hotel mewah, jalan-jalan santai, rehat panjang dari rutinitas. “Apakah ini sesuai dengan tujuan anggaran yang dialokasikan?” tanya saya lagi, mencoba menjernihkan pikiran yang semakin kacau. Di satu sisi, bisa dipahami bahwa PNS pun berhak mendapatkan fasilitas ini sebagai bagian dari pekerjaan. Namun, di sisi lain, bukankah ini cenderung menjadi bagian dari pembenaran halus untuk sebuah budaya yang, tanpa kita sadari, menyuburkan praktik KKN dalam bentuk yang lebih halus?
Ketika kemewahan dan kenyamanan dianggap sebagai "hak" yang melekat pada jabatan, kita mulai membiarkan alokasi anggaran yang besar digunakan untuk sesuatu yang tidak berdampak signifikan terhadap pelayanan publik. Normalisasi budaya ini pada akhirnya bisa berujung pada kolusi yang tidak terlihat—di mana semua orang secara diam-diam setuju untuk menerima manfaat ini sebagai hal yang wajar, tanpa mempertanyakan keadilan atau efisiensi penggunaannya. Akhirnya, yang tersisa hanyalah rutinitas tahunan yang seolah-olah dijalankan untuk tujuan formal, tetapi pada kenyataannya hanya memperkuat status quo tanpa ada perubahan nyata.
Satu hal yang membuat saya resah adalah melihat generasi muda yang mulai memenuhi birokrasi. Saat pertama kali mereka bergabung, saya melihat kilauan harapan di mata mereka—sama seperti yang dulu saya rasakan. Namun, lambat laun, mereka mulai terseret dalam arus yang sama. Semangat itu perlahan menguap, digantikan oleh rutinitas yang bahkan mereka anggap normal. Apa yang terjadi? Apakah mereka menyerah, atau memang sistem ini terlalu kuat untuk ditentang? Saya ingin bertanya, “Apakah ini yang kalian harapkan saat pertama kali masuk?”
Namun, saya tahu, mereka tidak sepenuhnya salah. Birokrasi seperti mesin besar yang sulit diubah, bahkan oleh mereka yang datang dengan idealisme. Mungkin, sistem ini telah terbentuk begitu kaku, hingga membuat siapapun yang masuk ke dalamnya kehilangan semangat perubahan. Dan akhirnya, kita semua terjebak dalam lingkaran yang sama—berputar di tempat tanpa arah yang jelas.
Inilah salah satu ironi terbesar dalam hidup sebagai PNS. Kita berbicara tentang perubahan, integritas, dan efisiensi, tetapi sering kali itu hanya sekadar formalitas. Entah kita terlalu nyaman dengan status quo atau mungkin, formalitas itulah yang membuat kita merasa aman. Namun, di balik kenyamanan itu, ada kenyataan pahit yang harus kita hadapi: tanpa perubahan nyata, kita hanya menjadi bagian dari sistem yang tak henti-hentinya berputar di tempat yang sama.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Catatan PNS Tua: Ironi di Balik Kegiatan Fullboard
Rabu, 2 Oktober 2024 19:51 WIBSatya Lencana Karya Satya dan Paradoks Birokrasi Indonesia
Kamis, 1 Februari 2024 11:39 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler