Buku yang Tidak Memiliki Roh: Sebuah Refleksi

Kamis, 3 Oktober 2024 12:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Buku yang bagus adalah buku yang memiliki \x27roh\x27 alias jiwa. Buku yang demikian ini memiliki daya gugah yang membuat pembacanya tercerahkan dan bahkan tergerak melakukan sesuatu tindakan yang baik. Tapi ada juga buku yang tidak punya roh. Seperti apa? Ikuti terus.

Oleh Bambang Udoyono

Pendahuluan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam dunia literasi yang kian dinamis, perdebatan mengenai "roh" atau jiwa sebuah buku sering kali menjadi topik yang menarik. Saya telah memperkaya diskursus ini dengan sebuah artikel tentang "buku yang memiliki roh" di Indonesiana beberapa waktu yang lalu. Kali ini saya ingin membahas tentang "buku yang tidak memiliki roh" dan implikasinya bagi pembaca dan penulis.

 

Apa yang Dimaksud dengan "Buku yang Tidak Memiliki Roh"?

Jika buku yang memiliki roh diartikan sebagai karya yang mampu menyentuh jiwa pembaca, membangkitkan emosi, dan memberikan makna mendalam, maka buku yang tidak memiliki roh adalah sebaliknya. Buku seperti ini seringkali dianggap sebagai produk massal yang lebih mengutamakan aspek komersial daripada nilai estetika dan intelektual.

 

Ciri-cirinya antara lain:

Kurangnya kedalaman isi.   Plot yang dangkal, karakter yang datar, dan tema yang klise.

 

Bahasa yang monoton.   Penggunaan bahasa yang sederhana dan kurang variatif sehingga membosankan.

 

Tujuan utama komersial.   Lebih fokus pada penjualan daripada memberikan pengalaman membaca yang bermakna.

 

Kurangnya originalitas.  Ide-ide yang diambil dari sumber lain tanpa adanya inovasi.

 

Proses Pengerjaan yang tidak menuruti standard baku seperti yang dipaparkan dalam SKKNI kepenulisan.

 

Mengapa Buku Seperti Ini Tercipta?

Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya buku tanpa roh antara lain:

 

Tekanan industri penerbitan.   Persaingan yang ketat membuat penerbit lebih memilih karya yang dipastikan laku di pasaran daripada karya yang bernilai tinggi secara estetika.

 

Perubahan minat pembaca.   Pergeseran minat pembaca ke arah hiburan yang instan membuat permintaan akan buku yang mudah dicerna semakin tinggi.

 

Kurangnya apresiasi terhadap sastra. Penurunan minat membaca dan apresiasi terhadap karya sastra yang berbobot membuat penulis kurang termotivasi untuk menciptakan karya yang berkualitas.

 

Dampak Buku Tanpa Roh

Buku tanpa roh dapat memberikan dampak negatif bagi dunia literasi, antara lain:

 

Menurunnya kualitas bacaan.   Pembaca akan terbiasa dengan karya yang dangkal dan kehilangan kemampuan untuk menikmati karya sastra yang lebih kompleks.

 

Kemunduran industri penerbitan.  Jika pembaca hanya tertarik pada buku yang mudah dicerna, maka penerbit akan semakin enggan menerbitkan karya-karya yang berkualitas.

 

Kemerosotan budaya literasi.  Kurangnya minat membaca akan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia dan peradaban secara keseluruhan.

 

Bagaimana membedakan buku yang punya roh dan tidak punya roh?

Untuk membedakan buku yang memiliki roh dan tidak memiliki roh, kita dapat memperhatikan beberapa aspek berikut:

 

Kedalaman pesan. Buku yang memiliki roh biasanya mengandung pesan yang universal dan relevan dengan kehidupan manusia.

 

Kualitas bahasa. Penggunaan bahasa yang indah dan efektif akan membuat pembaca lebih terhubung dengan cerita.

 

Originalitas ide.  Buku yang berroh menawarkan perspektif baru dan ide-ide yang segar.

 

Dampak emosional. Buku yang punya roh mampu membangkitkan berbagai emosi pada pembaca, mulai dari sedih, senang, marah, hingga haru.

 

Buku yang punya roh memiliki daya gugah. Buku yang berjiwa akan mampu memperkaya pembacanya dan bahkan membuat pembaca terdorong untuk berbuat sesuatu alias berkarya dalam bidangnya masing masing. 

 

Kesimpulan

Kehadiran buku tanpa roh merupakan tantangan besar bagi dunia literasi. Kita sebagai pembaca memiliki peran penting dalam menjaga kualitas bacaan dengan memilih buku yang bernilai dan mendukung penulis-penulis yang berbakat. Selain itu, industri penerbitan juga perlu melakukan upaya untuk mempromosikan karya-karya berkualitas dan memberikan ruang bagi penulis untuk berkarya.

 

Pemerintah juga diharapkan mendukung pengembangan dunia literasi dengan berbagai program.  Sertifikasi penulis, pelatihan penulis dan editor, penyelenggaraan acara bedah buku, pameran buku, adalah beberapa contohnya.

 

Literasi adalah pilar utama peradaban. Setiap bangsa besar pasti memiliki tradisi literasi yang maju.  Jadi kita harus membangunnya dengan serius. Semoga ke depan dunia literasi Indonesia semangkin maju. 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler