Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Aspal Buton: Cermin Retak Wajah Indonesia

Jumat, 4 Oktober 2024 17:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul tulisan ini mencerminkan dualitas potensi dan tantangan yang dihadapi Indonesia, dengan aspal Buton sebagai simbol. Menggambarkan aspal Buton sebagai \x201ccermin\x201d menunjukkan bahwa ia merefleksikan potret dan kondisi Indonesia saat ini, baik mengenai kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah maupun tantangan dalam pengelolaannya demi kemakmuran rakyat.

Wajah Indonesia yang kaya raya akan sumber daya alamnya, ternyata telah tercoreng dengan adanya permasalahan aspal alam yang terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Indonesia sudah 79 tahun merdeka. Dan Indonesia sudah 8 kali berganti presiden. Tetapi mirisnya, aspal Buton masih belum mampu dimanfaatkan dan diolah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Aspal Buton memiliki potensi besar untuk mensubstitusi aspal impor. Tetapi pemerintah lebih memilih kebijakan untuk mengimpor aspal . Dan tidak tanggung-tanggung, sampai saat ini Indonesia sudah mengimpor aspal selama 45 tahun. 

Dengan terpilihnya Bapak Prabowo Subianto sebagai Presiden RI yang baru periode 2024-2029, apakah wajah Indonesia akan menjadi lebih baik? Apakah pak Prabowo berani datang ke Pulau Buton untuk memohon maaf kepada rakyat Buton, bahwa pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah memberikan perhatian yang serius kepada potensi aspal Buton yang besar untuk mensubstitusi aspal impor? Apakah pak Prabowo berani bertanggung jawab dan mengakui secara satria semua kesalahan pemerintah Indonesia, karena selama ini tidak memiliki kemauan politik untuk mau mensubstitusi aspal impor dengan aspal Buton?

Mungkin pak Prabowo perlu tahu mengapa wajah pemerintah Indonesia tampak buruk di mata rakyatnya? Karena pak Jokowi mampu membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) yang indah dan megah dengan menggunakan uang rakyat. Tetapi pak Jokowi tidak mau mewujudkan hilirisasi aspal Buton untuk rakyat. Padahal program hilirisasi, katanya adalah program unggulan pemerintahan pak Jokowi yang telah digadang-gadangkan akan mampu memakmurkan rakyat menuju Indonesia Emas 2045. Manakah yang lebih penting bagi rakyat Indonesia? Membangun IKN atau mewujudkan program hilirisasi?

Pak Prabowo harus paham bahwa aspal Buton adalah refleksi dari cermin wajah Indonesia di mata dunia. Kalau aspal Buton nanti sudah mampu mensubstitusi aspal impor, maka wajah Indonesia akan tampak bagus di mata dunia. Indonesia yang sebelumnya adalah salah satu negara importir aspal terbesar di dunia, maka nanti apabila Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan aspalnya sendiri, maka Indonesia akan bertransformasi dari negara pengimpor aspal menjadi negara pengekspor aspal. Apakah hal ini tidak hebat?. Fenomena ini akan menjadi magnet dan daya tarik yang kuat bagi para Investor asing untuk mau berinvestasi di Indonesia.

Aspal Buton memiliki peran penting untuk berkontribusi signifikan mencapai cita-cita pemerintahan pak Prabowo menuju Indonesia Emas 2045. Apa kontribusi aspal Buton untuk terwujudnya Indonesia Emas 2045?. Sebaiknya pak Prabowo datang dulu ke Pulau Buton dan melihat-lihat potensi yang ada di Pulau Buton. Pak Prabowo pasti akan terkejut, bahwa selain industri aspal alam, Pulau Buton memiliki juga potensi industri perikanan dan pariwisata. Apabila ketiga potensi industri ini kita sinergikan, maka Pulau Buton akan menjadi Pulau Surga kedua, selain Pulau Bali. 

Di mata masyarakat internasional, Pulau Buton akan menjadi refleksi wajah Indonesia yang baru. Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, Pulau Buton akan mampu mewujudkannya pada 2035. Bagaimana mungkin? Kalau pak Prabowo percaya, sejatinya aspal Buton memiliki potensi untuk memproduksi 5 juta ton aspal Buton ekstraksi dalam 10 tahun. Sejumlah 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan aspal di dalam negeri. Dan sisanya yang 3 juta ton per tahun akan diekspor guna menambah devisa negara. Apakah pak Prabowo mampu membayangkan bagaimana nanti bentuk wajah Pulau Buton pada 2035? Kalau pak Prabowo mampu membayangkannya, maka begitulah nanti bentuk wajah Indonesia pada 2045.

Melihat potensi besar Pulau Buton yang akan menjadi refleksi wajah Indonesia baru, maka pak Prabowo harus berani memiliki kebijakannya sendiri. Dan tidak harus selalu bergantung dan mau melanjutkan semua kebijakan yang sudah dilaksanakan oleh pak Jokowi, khususnya mengenai kebijakan impor aspal. Silahkan pak Prabowo melihat wajah pemerintahan pak Jokowi selama 10 tahun di cermin yang retak. Apakah wajah Indonesia yang terlihat memiliki masa depan yang cerah, atau suram? Dan sekarang pak Prabowo sendiri membayangkan, bagaimana wajah pemerintahan pak Prabowo di cermin yang baru pada akhir tahun 2029, dimana masa jabatan pak Prabowo sebagai presiden akan berakhir. Bagaimana bentuk wajah Indonesia?

Untuk pak Prabowo ketahui juga, penulis sebagai pemerhati aspal Buton sejak 2005, memiliki sebuah teori, mengenai mengapa pemerintah Indonesia sudah mengimpor aspal selama 45 tahun, dan sampai saat ini masih ingin terus mengimpor aspal selama-lamanya?. Adapun jawabannya adalah karena pemerintah telah mengimplementasikan konsep pepatah: “Buruk muka cermin dibelah”. Adapun arti dari pepatah ini adalah sebuah kesalahan atau masalah yang ada pada seseorang tidak dapat disalahkan pada orang lain. Melainkan harus introspeksi diri dan menerima kenyataan bahwa masalah itu berasal dari diri mereka sendiri.

Sejatinya, inti permasalahan aspal Buton adalah bitumen yang terdapat di dalam pori-pori batuan kapur sangat sulit untuk dikeluarkan. Teknologi yang harus digunakan untuk memisahkan bitumen dari batuan kapur tersebut adalah dengan menggunakan Teknologi ekstraksi. Proses ekstraksi ini ada yang menggunakan air panas. Dan ada juga yang menggunakan pelarut. Tetapi proses yang menggunakan pelarut lebih handal, ekonomis dan ramah lingkungan.

Oleh karena pemerintah tidak memiliki Teknologi ekstraksi aspal Buton yang handal, ekonomis, dan ramah lingkungan ini, maka muncul persepsi dan isu yang berkembang bahwa sumber yang menjadi biang keladi atau penyebab kegagalan mewujudkan hilirisasi aspal Buton adalah karena Teknologi ekstraksi aspal Buton itu dinilai merupakan Teknologi yang sangat canggih. Dan oleh karena itu, harga produk aspal Buton ekstraksi akan menjadi sangat mahal. Diperkirakan harganya bisa mencapai 3-4 kali lipat daripada harga aspal impor.

Akibatnya pemerintah mengambil kebijakan jalan pintas. Lebih baik mengimpor aspal saja yang harganya bisa lebih murah, daripada harus memproduksi aspal Buton ekstraksi sendiri yang harganya lebih mahal. Padahal harga aspal Buton ekstraksi sejatinya bisa lebih murah daripada harga aspal impor, sesuai dengan studi kelayakan yang sudah pernah dilaksanakan oleh RTC Pertamina pada 2020. Sayangnya pemerintah lebih percaya berita gosip dan hoaks daripada data dan fakta hasil studi kelayakan RTC Pertamina.

Inilah wajah Indonesia sekarang: “Buruk muka, cermin dibelah”. Mengapa pemerintah tidak mau melakukan introspeksi diri?. Sekarang sudah ada Teknologi ekstraksi aspal Buton yang handal, ekonomis, dan ramah lingkungan. Tetapi mengapa pemerintah selalu mencari-cari kesalahan dan berdalih dengan mengatakan bahwa Teknologi ekstraksi itu masih belum terbukti handal.

Kalau memang belum terbukti handal, mengapa tidak kita buktikan saja?. Pemerintah memiliki BRIN, Lemigas, Pertamina, Bina Teknik PUPR, Perguruan Tinggi, dll., yang akan mampu menguji kehandalan dari Teknologi ekstraksi ini. Tetapi mirisnya, pemerintah tidak memiliki dana untuk bisa melakukan validasi Teknologi ekstraksi ini. 

Pak Prabowo, katanya Indonesia mau menjadi negara ekonomi terkuat di dunia pada 2045, dimana Indonesia akan merayakan Indonesia Emas, yang bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka. Masak sih untuk menguji Teknologi ekstraksi aspal Buton yang berpotensi besar untuk Indonesia berswasembada aspal saja tidak mempunyai dana?. Sedangkan untuk membangun IKN dan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, pemerintah mempunyai dana. Apakah ini wajah asli Indonesia?

Wajah Indonesia di cermin yang retak sungguh tampak buruk sekali, pak Prabowo. Istilah “cermin retak” memberikan kesan bahwa meskipun ada potensi sangat besar dari aspal alam Buton untuk mensubstitusi aspal impor, tetapi terdapat juga masalah yang sangat besar dan perlu diatasi, seperti ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, mafia tambang, mafia impor, korupsi, tidak ada dana untuk pengujian Teknologi baru, kebijakan impor aspal, ketidakmampuan pemerintah menarik investor, dan masalah lingkungan, dll.

Apakah pemerintahan pak Prabowo akan mampu memiliki cermin yang baru untuk Indonesia? Sehingga apabila pak Prabowo bercermin sambil tersenyum, maka seluruh rakyat Indonesia akan turut tersenyum. Tetapi kalau pak Prabowo tidak mampu memiliki cermin yang baru untuk menggantikan cermin yang retak, maka tidak ada kata-kata lain yang lebih pantas diucapkan untuk melukiskan betapa buruk wajah  Indonesia di mata dunia pada saat ini, kecuali: “Buruk muka, cermin dibelah”.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler