Debat Pilgub dalam Bayang-bayang Kompromi Politik
Kamis, 10 Oktober 2024 07:01 WIBDebat Pilgub Jakarta terasa monoton, kurang eksploratif dan nyaris tanpa suasana diskursif antar kandidat. Mungkinkah karena pengaruh kompromi politik nasional yang sedang berlangsung jelang pelantikan Presiden-Wapres terpilih ?
***
Dalam Kamus Bahasa kita dijelaskan, bahwa debat adalah pertukaran dan pembahasan pendapat terkait suatu hal dengan saling menyampaikan argumentasi atau alasan dengan tujuan mempertahankan pendapat bahkan memenangkan pendapat.
Dalam konteks Pilkada khususnya Pilgub, pertukaran dan pembahasan berbagai isu bersama dengan argumentasi-argumentasi meyakinkan dari masing-masing pasangan kandidat ini penting tentu saja. Mereka adalah calon-calon Gubernur-Wakil Gubernur yang akan memimpin provinsi dalam lima tahun kedepan.
Penting untuk apa ? Supaya rakyat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang sosok calon pemimpinnya. Siapa mereka? Sebesar apa kapasitasnya, sejauh apa pengalaman dan kompetensinya, sevisioner sekaligus serealistis apa gagasan dan pikiran-pikirannya, dan semeyakinkan apa tawaran mereka untuk rakyatnya.
Dengan cara demikian rakyat tidak dihadapkan pada situasi serupa “membeli kucing dalam karung” sebagaimana lazimnya terjadi dalam tradisi negara-negara non-demokratik atau negara otoriter. Dimana Pemilu hanya menjadi instrumen untuk mempertahankan legitimasi status quo kekuasaan dengan cara mobilisasi habis-habisan dan meminggirkan nalar sehat rakyat.
Penting untuk selalu disadari bahwa tidak ada kepemimpinan politik yang sempurna, dimanapun dan di era peradaban sejarah apapun. Ketidaksempurnaan adalah taqdir purbawi manusia, termasuk para pemimpin. Demokrasi hadir antara lain untuk mengelola ketidaksempurnaan kepemimpinan itu dengan cara berkeadaban. Dan Pilkada (termasuk forum Debat Pilgub sebagai bagian dari matarantai perhelatan) merupakan instrumen operasionalnya.
Lantas apa yang perlu diperdebatkan (dipertukarkan dan dibahas dengan kritis) dalam suasana dialelktis? Sudah barang pasti semua aspek yang muncul dari ketidaksempurnaan kepemimpinan politik itu. Baik menyangkut tatakelola birokrasi pemerintahan, perencanaan dan penyelenggaraan program-program pembangunan maupun berkenaan dengan pelayanan publik di masing-masing daerahnya.
Esensi Debat
Dalam uraian yang lebih utuh, forum Debat Pilkada sekurang-kurangnya mengandung lima esensi strategis yang mestinya disadari baik oleh para kandidat dan tim pemenangannya maupun oleh masyarakat (pemilih).
Pertama, forum Debat Pilkada merupakan media dimana para Paslon menyosialisasikan secara utuh dalam format komunikasi dialogis visi, misi dan program-programnya. Dalam konteks ini masyarakat di masing-masing daerah dapat membaca, menyerap, memahami dan akhirnya menjadikan paparan para Paslon sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan pilihan kelak pada hari dan tanggal pemungutan suara.
Kedua, forum debat merupakan ajang dimana para Paslon juga memiliki kesempatan terbuka dan sah untuk saling menegasikan gagasan-gagasan lawan sekaligus meyakinkan bahwa gagasannya merupakan pilihan yang lebih baik. Pada sesi adu gagasan ini publik bisa melihat gagasan Paslon mana yang lebih realitis, rasional dan dapat menghidupkan harapan-harapannya sebagai rakyat di daerah.
Ketiga, melalui forum debat publik juga bisa membaca bagaimana isi kepala para Paslon dalam melihat, menyikapi dan menawarkan gagasan-gagasan solutif terkait berbagai problematika yang dihadapi daerahnya. Sekaligus juga bisa melihat bagaimana cara mereka merespon dan mengartikulasikan pikiran dan gagasan-gagasan itu. Dengan mengepankan kecerdasan, kapasitas dan kompetensikah, atau lebih mengandalkan gimmick-gimmick berisi “tipu muslihat” marketing ?
Keempat, meskipun pastinya tidak akan cukup utuh, tetapi melalui forum debat, setidaknya publik juga dapat melihat bagaimana karakater pribadi para Paslon melalui performa komunikasi dan gestur yang sangat mungkin akan tampil lebih jujur dan natural karena suasana forum debat berlangsung sedemikian rupa.
Kelima, tentu saja forum debat bakal menjadi rekaman penting hajat demokrasi lokal yang bisa disimpan oleh siapapun, menjadi sumber sejarah dan jejak digital janji-janji politik untuk digunakan sebagai bahan kontrol dan reminder bagi Paslon terpilih di kemudian hari.
Dari kelima esensi tersebut diatas kiranya cukup jelas, bahwa debat bukanlah monolog atau bahkan juga bukan orasi politik yang bersifat satu arah. Debat adalah forum dimana ide-ide disajikan, pikiran-pikiran disanggah, rencana-rencana dieksplorasi, diadu secara diskursif bahkan saling dinegasikan. Tentu saja dengan data, analisis dan argumen yang handal dan kredibel.
Debat Pilgub Jakarta
Berbasis esensi dan format debat itu pula saya membaca performa Debat Pilgub Jakarta sesi pertama beberapa waktu lalu terasa masih agak jauh dari ideal. Terlalu landai dan monoton. Beberapa pengamat bahkan menyebutnya seperti pentas monolog para kandidat. Minim eksplorasi, saling sanggah dan suasana diskursif. Hanya ada sedikit catatan kritis yang sempat terlontar dari masing-masing kandidat kepada kompetitornya.
Padahal secara teknis penyelenggaraan debat tersebut sebetulnya tidak jauh berbeda dengan forum Debat Pilpres 2024 tempo hari.
Jika performa debat ini terus dipertahankan, artinya tidak ada upaya dari para kandidat untuk siap mengadu gagasan dan program masing-masing lawan, hemat saya debat akan kehilangan makna sebagai forum untuk mengeksplorasi sedalam-dalamnya melalui pola dialektis agenda-agenda strategis serta isu-isu aktual dan urgent daerahnya.
Cara demikian juga cenderung akan menyelubungi ragam problematika, kekeliruan pengambilan kebijakan, kesalahan-kesalahan fatal tatakelola pemerintahan, serta pekerjaan-pekerjaan rumah berat yang harus diselesaikan ke depan, yang rakyat harus mengetahui dan faham seutuh mungkin.
Beberap pengamat menyebut Debat Pilgub Jakarta 2024 ini memang “turun kelas” dibandingkan dengan forum debat yang sama pada Pilkada DKI 2017 silam, terutama pada putaran kedua yang menghadapkan Ahok-Djarot vs Anies-Sandi.
Bayang-bayang Kompromi Politik
Lantas mengapa performa Debat Pilgub Jakarta berlangsung monoton, mirip pentas monolog, kurang eksploratif, bahkan terlihat seperti saling menghindar dari kelaziman sebuah debat yang sesungguhnya, yakni saling sanggah dan menegasikan ?
Saya sendiri berharap semoga situasi demikian terjadi karena debat kemarin itu baru sesi pertama, baru saling memanaskan mesin debatnya. Bukan karena alasan lain, teknis belaka. Karena itu penting ditunggu sesi-sesi selanjutnya.
Debat Pilgub Jakarta yang benar-benar menyajikan suasana kontestasi gagasan, diskursif dan eksploratif, sebagaimana lazimnya sebuah debat elektoral ini penting. Bukan saja bagi warga Jakarta yang memiliki hak pilih, melainkan juga bagi daerah-daerah lain yang akan segera menggelar forum yang sama.
Jakarta adalah barometer politik. Dalam kerangka perhelatan Pilkada serentak 2024, Jakarta juga bisa merepresentasikan peta konstelasi kepolitikan nasional yang sejatinya memang sudah nampak pengaruhnya sejak fase kandidasi beberapa waktu lalu.
Poin pentingnya dalam konteks ini adalah bahwa forum-forum Debat Pilgub di semua daerah akan berlangsung sama landai dan monotonnya lantaran dibayang-bayangi oleh kompromi-kompromi politik di aras nasional yang saat ini sedang berlangsung menjelang pelantikan Presiden-Wapres terpilih dan akan disusul pengumuman Kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran.
Jika spekulasi bayang-bayang kompromi politik itu benar, maka semua forum Debat Pilkada, khususnya Pilgub di semua daerah nampaknya memang bakal berlangsung monoton dan akan terasa seperti pentas monolog saja. Jangankan berharap ada suasana saling sanggah dan menegasikan yang “panas,” bahkan suasana diskursif dan eksploratif saja mungkin tidak bisa ditunggu publik. Dan jika ini terjadi, maka forum debat para kandidat pemimpin daerah akan kehilangan otentisitasnya.
Lantas bayang-bayang kompromi politik apa yang dimaksud? Kita semua tahu bahwa Presiden terpilih saat ini sedang mematangkan formasi kabinet yang bakal dibentuk dan diumumkan pasca pelantikan 20 Oktober nanti. Semua partai, termasuk bahkan PDIP yang diharapkan publik mau menjadi oposisi di parlemen, saat ini nampaknya juga turut sibuk memburu portofolio di jajaran kementerian.
Agenda pertemuan Megawati-Prabowo yang sudah dikonfirmasi para elit partai baik PDIP maupun Gerindra jelas mengisyaratkan gejala menguatnya PDIP masuk di pemerintahan Prabowo. Kabar terakhir menyebutkan bahkan Pramono Anung bakal diikutsertakan dalam pertemuan tersebut (Tempo.co, 9 Oktober 2024).
Maka terkait Pilgub Jakarta, Paslon Pramono-Rano yang diusung PDIP boleh jadi memang sudah diinstruksikan untuk landai-landai saja menghadapi Paslon RK-Suswono yang diusung oleh KIM Plus, baik di forum debat maupun di medan kampanye terbuka lainnya. Karena di aras puncak kepolitikan nasional sedang berlangsung kompromi politik yang tidak boleh terganggu oleh suasana debat Pilgub.
Sekali lagi, Jakarta adalah barometer politik nasional. Jika kompromi politik tersebut benar sedang berlangsung dan tidak boleh terganggu, maka semua arena kontestasi Pilgub di semua daerah yang menghadap-hadapkan pasangan kandidat PDIP dan mitra koalisinya versus pasangan kandidat KIM Plus kemungkinan besar memang akan berlangsung landai dan monoton. Debatnya bakal menjadi pentas monolog, dan Pilgubnya bakal menjadi Pilgub semu. Pilgub yang digelar sekedar menunaikan ritual demokrasi elektoral.
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
6 Pengikut
KPU Goes to Campus, Ikhtiar Memperbanyak Smart Voters
Rabu, 6 November 2024 17:58 WIBPesta Demokrasi Post-Gen Z
Rabu, 6 November 2024 17:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler