Di Ambang Revolusi: Ketika AI Mengubah Cara Kita Belajar

Minggu, 13 Oktober 2024 08:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika kita berdiri di ambang revolusi ini, pilihan ada di tangan kita. Kita dapat terbawa arus teknologi, atau kita dapat mengambil kontrol dan membentuk masa depan pendidikan sesuai keinginan kita.

Oleh Eka Rahmania

Pukul 15.30 WIB di Gedung Perpustakaan pada salah satu kampus, menunjukkan beberapa mahasiswa sudah mulai beranjak meninggalkan tempatnya. Di sudut ruangan perpustakaan yang terlihat sunyi, mahasiswa bernama Bhumi masih setia duduk di depan laptopnya. Jemarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk membaca tulisan yang muncul di layar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia tidak sedang chatting dengan teman atau bermain media sosial. Akan tetapi ia sedang berdiskusi dengan ChatGPT mengenai metode penelitian yang akan digunakan untuk tugas artikelnya.

Sedangkan di meja sebelah, Hagia Sofia sedang memanfaatkan AI untuk menganalisis ribuan jurnal komunikasi. Materi-materi yang sebelumnya memerlukan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkannya, kini hanya dengan sedetik sudah mudah di dapat.

Sementara itu, di sudut ruangan lainnya, sekelompok mahasiswa baru terlihat bingung memilih mata kuliah pilihan untuk semester depan. Solusi mereka adalah dengan berkonsultasi dengan asisten virtual berbasis AI yang dapat menganalisis pola belajar dan memberikan rekomendasi personal.

Di era di mana Google telah menjadi profesor informal bagi mahasiswa, kehadiran AI telah menjadi lebih maju.  Beberapa tahun lalu, perubahan teknologi mahasiswa hanya sebatas PowerPoint dan akses internet. Kini AI telah mengubah segalanya, dari cara mahasiswa mencari informasi hingga dosen mengevaluasi tugas.

AI menjadi mentor, asisten penelitian, tutor pribadi, dan teman diskusi dalam satu paket yang mudah di dapatkan. Perubahan terjadi di ruang-ruang kuliah, khususnya di Indonesia. Dengan mengubah cara belajar mahasiswa dengan pola pikir tentang pembelajaran zaman dahulu yang harus di dapatkan dengan membaca dan di jelaskan oleh ahli pakarnya.

“Sebagai mahasiswa, saya sangat mengapresiasi kehadiran AI yang meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam perkuliahan saya. Dengan adanya pertanyaan yang belum terlalau saya kuasai dan dengan mencari di ai dengan cepat mendapat jawaban lalu bisa saya kembangkan dengan pemahaman saya sendiri,” ujar Bhumi. “AI juga dapat membantu dalam kekompakan kerja kelompok dan kontribusi individual dalam proses kreativitas mahasiswa, dan AI juga dapat digunakan untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah secara kreatif dan kritis.”

Pembelajaran berbasis AI memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosional pengguna, seperti mengurangi perasaan tidak mampu dan kebingungan serta meningkatkan rasa percaya diri ketika pembelajaran. AI bisa menjadikan seseorang malas berpikir, karena dengan adanya AI itu membuat seseorang ketergantungan seperti dipermudah dan dimanjakan oleh teknologi baru. Tetapi di sisi lain juga tidak menjadikan malas, jika seseorang yang menggunakan bisa membatasi penggunaan dan tidak malas dalam hal mencari dan membaca.

“Saya juga mencari jawaban di AI dan saya mengolahnya dengan cara berpikir saya sendiri, kemudian saya terjemahkan dengan bahasa sendiri. AI saya gunakan setelah saya berusaha mencari solusi tanpa berhasil, baru saya manfaatkan AI untuk menyelesaikan masalah," kata Hagia Sofia. “AI tidak mengubah pemahaman saya tentang belajar harus membaca dan di jelaskan. Karena dalam belajar kita harus membaca dan harus ada guru yang menjelaskan, belajar tanpa adanya guru maka syaiton adalah gurunya. Menurut saya penjelasan dosen atau guru itu lebih memahamkan dan lebih melekat pada ingatan kita sedangkan penjelasan AI hanya bertahan beberapa hari saja atau mungkin beberapa jam.”

AI tidak bisa mengubah peran dosen/guru.  AI itu kecerdasan buatan, jadi secara keilmuan memang jenius, tetapi jika sebagai guru yang konon digugu dan ditiru itu tidak akan bisa di gantikan perannya. Karena di dalam keilmuan tidak hanya sekedar belajar ilmu akademik tetapi juga seperti ilmu sosial, dan ilmu sosial hanya bisa didapatkan dari sesama makhluk sosial tidak dengan teknologi buatan manusia sosial.

Sebuah teknologi juga mempunyai sisi negatif dan positif, di sini sisi negatifnya adalah sebuah kreativitas cara berpikir manusia bisa terhambat dengan ketergantungan AI. Tetapi seiring dengan itu hal positif juga di dapat, dengan AI membuat cara berpikir kita berkembang jika menggunakan AI dengan bijak. “Iya saya sendiri juga begitu mencari jawaban di AI lalu saya olah dengan cara berpikir kita sendiri, saya bahasakan dengan bahasa saya sendiri. lalu saya dapat melahirkan penjelasan baru,” ujar Bhumi.

Dampak terbesar AI dalam pendidikan adalah kemampuannya untuk personalitas pembelajaran. Namun, revolusi ini juga menimbulkan tantangan. Tantangannya bukanlah menolak kemajuan AI, tetapi memastikan kita dapat mengikutinya tanpa terjebak di dalamnya. Di ambang perubahan ini, satu hal pasti: cara kita belajar telah berubah selamanya. Di Indonesia, dengan segala tantangannya dan potensinya, sedang menuju ke era baru pendidikan digital. Sistem kecerdasan buatan tidak hanya mengubah metode pengajaran, tetapi juga pendekatan dalam pembelajaran. Kurikulum yang dulunya kaku dan seragam sekarang lebih personal.

Kecerdasan buatan (AI) tidak menggantikan, tetapi meningkatkan proses pembelajaran. Yang diperlukan adalah keseimbangan antara efisiensi teknologi dan human touch. Di zaman di mana informasi bisa diakses dengan cepat, keterampilan yang paling berharga adalah kreativitas, empati, dan kemampuan berpikir kritis. Kemungkinan AI dapat mengajarkan rumus integral atau tata bahasa, tetapi diskusi hangat di kelas tentang makna puisi atau perdebatan seru tentang etika sains masih memerlukan interaksi manusia.

Revolusi AI dalam pendidikan bukanlah tentang menggantikan guru dengan robot atau menghilangkan ruang kelas fisik. Ini membahas kemungkinan baru dalam pembelajaran: lebih inklusif, adaptif, dan sesuai dengan kebutuhan individu. Bayangkan sebuah dunia di mana setiap anak memiliki akses kependidikan berkualitas, di mana kesulitan belajar bisa diidentifikasi dan diatasi sejak dini, dan di mana guru memiliki lebih banyak waktu untuk menginspirasi, bukan sekadar menginformasikan.

Ketika kita berdiri di ambang revolusi ini, pilihan ada di tangan kita. Kita dapat terbawa arus teknologi, atau kita dapat mengambil kontrol dan membentuk masa depan pendidikan sesuai keinginan kita. Sebuah visi di mana AI bukanlah penguasa, tetapi alat; bukan pengganti, tetapi mitra. Pendidikan pada dasarnya bukanlah tentang seberapa maju teknologi yang digunakan, tetapi seberapa besar kemampuan kita dalam menginspirasi generasi yang akan datang untuk belajar, berkembang, dan bermimpi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
eka rahmania

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler