Pernah mangkal di BANDUNG POS, Majalah SINAR, Tabloid ADIL, REPUBLIKA, BORNEONEWS

Mitos Narcissus dan Para Raja Narsistik

Selasa, 15 Oktober 2024 08:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lihatlah, bagaimana mitos Yunani ini sering berulang dalam sejarah. Di dunia nyata, kita tak kekurangan tokoh-tokoh narsistik yang terobsesi dengan bayangan kehebatan mereka sendiri meskipun rekam jejaknya pepesan kosong.

***

Seorang pemuda tampan bernama Narcissus, menatap bayangannya di air danau yang tenang. Ia begitu terpukau dan jatuh cinta pada kesempurnaan yang dilihatnya, lalu membusungkan dada di hadapan khalayak.

Mitos Yunani itu begitu abadi hingga nama Narcissus menjadi asal kata narcissism—sebuah istilah psikologis untuk menggambarkan orang-orang yang terlampau mencintai diri mereka sendiri. Namun, apakah hanya Narcissus yang jatuh cinta pada refleksi diri? Tidak.

Sebuah refleksi yang lebih besar, lebih kompleks, dan lebih berbahaya seringkali terjadi di dunia kekuasaan: di singgasana raja, presiden, atau pemimpin yang doyan narsis, meski hanya sekadar klaim kosong belaka.

Cerminan Ego

Mari kita mulai dengan sebuah analogi modern. Bayangkan seorang pemimpin yang senang berpidato panjang lebar tentang kebesarannya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu menyebutkan proyek-proyek yang "berhasil" karena tangan emasnya.

Ia menggambarkan dirinya sebagai tokoh penyelamat, pelindung rakyat, pembawa perubahan besar. Namun, jika kita melihat lebih dekat, apa yang sebenarnya dilakukan? Proyek mangkrak, janji kosong, dan ekonomi yang terpuruk. Di mana letak perbedaan pemimpin ini dengan Narcissus yang jatuh cinta pada ilusi dirinya? Keduanya memandang bayangan yang tak lebih dari sekadar cerminan ego.

Di dunia mitos, Narcissus akhirnya tewas, mati kelaparan dan kehausan karena tak mampu melepaskan dirinya dari bayangan yang ia anggap sempurna. Sayangnya, di dunia nyata, raja-raja narsis seperti ini tidak mati begitu cepat.

Mereka hidup nyaman dalam istana megah, dikelilingi oleh cermin besar yang memantulkan kesuksesan palsu. Bahkan, sering kali cermin itu dibuat oleh tangan-tangan yang licik: para pembisik, penasihat, atau media yang setia mengaburkan kenyataan.

Lihatlah bagaimana cerita ini sering berulang dalam sejarah. Di dunia nyata, kita tak kekurangan tokoh-tokoh narsistik yang terobsesi dengan bayangan kehebatan mereka sendiri meskipun rekam jejaknya pepesan kosong.

Sebut saja di antaranya Louis XIV, Sang Raja Matahari, yang membangun Istana Versailles sebagai simbol kekuasaan mutlak. Seolah-olah dunia berputar di sekelilingnya, seperti matahari yang tak pernah berhenti bersinar. Namun, di balik kemewahan, rakyatnya menderita kelaparan. Louis mungkin tidak jatuh ke dalam danau seperti Narcissus, tapi ia tenggelam dalam kemegahan palsu yang akhirnya menyeret Prancis ke dalam revolusi.

Narsisme Politik Modern

Di zaman modern, narsisme politik justru semakin merajalela. Pemimpin yang doyan narsis sering kali menggunakan teknologi untuk memperluas cerminnya. Dari televisi hingga media sosial, mereka menciptakan ilusi kebesaran yang berlipat ganda.

Setiap unggahan, pidato, atau foto yang diambil dari sudut sempurna adalah cermin lain yang mereka tatap, berharap dunia juga ikut terpukau seperti mereka. Padahal, di balik itu semua, ada jutaan rakyat yang masih hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan.

Seperti Narcissus yang terperangkap oleh bayangannya sendiri, para pemimpin narsistik akhirnya terjebak dalam lingkaran yang mereka buat sendiri. Mereka memoles cermin itu hingga berkilau, tapi pada akhirnya, cermin itu tidak memberikan mereka apa pun selain kebohongan.

Tanpa kesadaran diri, mereka menjadi raja di kerajaan bayangan, pemimpin di negeri fatamorgana. Segala sesuatu, bagi mereka, terlihat hebat di permukaan, tetapi kosong di dalam.

Mitos Ratu Adil 

Dalam budaya Jawa, mitos ratu adil menciptakan harapan bahwa suatu hari akan muncul pemimpin yang membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Raja dianggap sebagai titisan dewa, pemegang wahyu ilahi yang memiliki legitimasi mutlak.

Namun, di balik konsep itu, selalu ada bahaya bahwa kekuasaan ilahi bisa berubah menjadi keasyikan berlebihan pada diri sendiri. Ketika seorang raja mulai lebih fokus pada citranya sebagai sosok agung dan bukan pada tugasnya untuk melayani rakyat, kita menemukan raja yang narsistik, sosok yang terjebak dalam bayangan keagungannya sendiri.

Pola ini tak hanya berlaku bagi para raja masa lalu, tetapi juga pada pemimpin modern Indonesia. Soekarno, misalnya, sering diidentikkan dengan aura kharismatik yang hampir mistis. Sebagai orator ulung, ia memproyeksikan citra diri sebagai penyelamat bangsa dan pemimpin besar dunia.

Namun, seperti Narcissus, Soekarno mulai terjebak dalam bayangan dirinya sendiri. Keagungan dan simbolisme yang ia bangun bertahun-tahun akhirnya runtuh ketika rakyat mulai sadar bahwa retorika revolusionernya tak selalu selaras dengan realitas.

Begitu pula dengan Soeharto, pemimpin yang dikenal sebagai "Bapak Pembangunan". Selama lebih dari tiga dekade, ia memproyeksikan stabilitas dan kemakmuran. Namun, di balik pencapaian tersebut, kepemimpinannya kerap terjerat dalam citra kekuasaan yang absolut dan tak boleh disentuh kritik.

Seperti raja-raja feodal, Soeharto dikelilingi oleh para yes-men yang mengagungkan dan melindungi bayangan kebesaran itu. Ketika Reformasi 1998 terjadi, bayangan itu retak dan akhirnya runtuh.

Pemimpin-pemimpin setelah Reformasi, meskipun tak lagi bersinggungan langsung dengan gelar raja, tetap menunjukkan tanda-tanda "pemimpin rasa raja". Mulai dari SBY dengan citra javanese gentleman yang tenang tapi dianggap lamban, hingga Jokowi yang semula dipuja sebagai sosok populis dari kalangan rakyat, namun akhirnya juga terjebak dalam pencitraan besar yang melibatkan pengaruh media, kroni, dan kekuasaan yang semakin luas.

Menimbulkan Kehancuran

Apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini? Sederhana: narsisme tak pernah membawa apa-apa selain kehancuran. Bagi seorang pemimpin, jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri adalah langkah pertama menuju kehancuran, baik bagi dirinya maupun bagi rakyat yang dipimpinnya.

Seperti Narcissus yang mati karena tak mampu melepaskan diri dari bayangannya, para pemimpin narsistik juga akhirnya hancur—entah oleh revolusi, perang, atau sekadar ketidakmampuan mereka menghadapi kenyataan yang jauh dari sempurna.

Jadi, jika suatu hari kita melihat pemimpin yang gemar memuja diri di cermin kebesaran yang mereka ciptakan, ingatlah kisah Narcissus. Sejarah selalu mengulangi dirinya sendiri, dan satu-satunya yang bisa menghentikan lingkaran narsistik ini adalah kesadaran bahwa kepemimpinan bukan tentang melihat bayangan di cermin, tapi tentang melihat wajah-wajah nyata yang dipimpin.

Apakah para pemimpin kita akan belajar dari mitologi? Ah, sepertinya mereka tak peduli dengan sejarah: mudah tergoda dalam perangkap refleksi kosong, sementara takdir tragis seperti Narcissus menanti di ujung kekuasaan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler