Di Bawah Meja, Bagaimana Korupsi Menjadi Kejahatan Terbesar di Indonesia

Jumat, 18 Oktober 2024 08:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korupsi di Indonesia yang ibarat bayang-bayang gelap yang menyelinap di bawah meja. Ia menghancurkan fondasi negara tanpa disadari.

***

Angin pagi di pedalaman Sumatra berhembus pelan, membawa aroma hutan yang kian menipis. Pohon-pohon yang dulu gagah kini tinggal beberapa batang, berdiri lemah di atas tanah yang dirampas oleh mesin-mesin raksasa. Sungai yang dulu mengalir deras kini tersendat, tertutupi oleh debu pembangunan yang diklaim demi kepentingan negara. Terselubung, di balik semua ini, tersembunyi cerita yang lebih gelap sebuah narasi tentang bagaimana uang dan kekuasaan bergerak di balik meja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Korupsi di Indonesia adalah cerminan dari kalimat itu, di mana musuh yang dihadapi bukan lagi penjajah dari luar, melainkan mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang seharusnya melindungi, malahan justru merampas hak-hak rakyatnya sendiri. Di sini, korupsi telah menjadi bisnis terbesar, tersembunyi di bawah lapisan kekuasaan, janji-janji kosong, dan sistem yang mengkhianati rakyatnya.

Mengaitkan Teori dengan Realitas

Untuk memahami bagaimana korupsi bekerja di Indonesia, Teori Segitiga Fraud yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey memberikan kerangka dasar yang baik: tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Kacaunya, realitas politik dan sosial di Indonesia jauh lebih kompleks. Teori Klientelisme dan Teori Principal-Agent menjadi alat tambahan yang memperkaya analisis kita terhadap korupsi yang tidak hanya melibatkan transaksi haram, hal ini juga mencakup jaringan kekuasaan yang saling menguntungkan.

Di dalam praktik politik lokal Indonesia, Teori Klientelisme sangat relevan. Hubungan patron-klien memungkinkan korupsi berkembang melalui nepotisme dan favoritisme, di mana pejabat menggunakan kekuasaan mereka untuk memberikan manfaat kepada orang-orang tertentu sebagai imbalan atas loyalitas politik (Hicken, 2011). Di sini, korupsi bukan hanya sebuah penyimpangan moral, saat ini bermutasi menjadi bagian dari politik bertahan hidup.

Pramoedya Ananta Toer dengan tajam mengungkapkan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Ini mengingatkan kita pada pentingnya moralitas dalam tindakan. Sebaliknya, ketika korupsi menjadi bagian dari sistem, tulisan yang seharusnya mengubah sejarah, menjadi sunyi dan tak berbekas. Pejabat publik yang seharusnya menjadi pengawal moralitas negara, justru tenggelam dalam praktik korupsi, meninggalkan rakyat tanpa kepercayaan pada negara.

 

Wajah-Wajah Korupsi di Indonesia

1. Penggelapan dalam Proyek e-KTP

Proyek e-KTP, yang awalnya digadang-gadang akan membawa Indonesia ke era digitalisasi, justru menjadi simbol bagaimana korupsi telah mengakar dalam birokrasi Indonesia. Proyek ini merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun, dengan banyak pejabat tinggi yang terlibat dalam penggelapan, termasuk Setya Novanto, Ketua DPR saat itu.

Dalam konteks ini, Teori Principal-Agent memberikan penjelasan bagaimana para pejabat yang seharusnya bertindak sebagai wakil rakyat justru menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Rakyat sebagai principal memiliki sedikit kendali atas agen mereka, menciptakan situasi di mana korupsi merajalela. Setya Novanto dan banyak pejabat lainnya menggunakan celah dalam sistem untuk menyembunyikan penggelapan dana.

Menurut Transparency International, sistem pengadaan publik di Indonesia rentan terhadap manipulasi, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur dan layanan publik yang besar. e-KTP adalah contoh jelas dari bagaimana kurangnya pengawasan membuat pejabat merasa aman untuk melakukan tindakan koruptif.

2. Korupsi BLBI, Menari di Atas Krisis

Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang muncul di tengah krisis moneter Asia 1998, merugikan negara hingga Rp 138 triliun. Dana yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan sektor perbankan justru disalahgunakan oleh pejabat dan konglomerat. Teori Klientelisme kembali menjadi relevan, karena hubungan erat antara elit politik dan ekonomi memungkinkan korupsi ini terjadi tanpa pengawasan yang memadai.

Krisis ini membuka peluang bagi mereka yang berada dalam posisi strategis untuk mengambil keuntungan. Di sini, korupsi bukan hanya soal suap dan penggelapan, fenomena ini turut juga menyangkut bagaimana krisis dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk memperkaya diri. Fisman & Golden (2017) menulis bahwa korupsi semacam ini merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperkuat jaringan oligarki yang sulit ditembus.

3. Hambalang, Proyek Infrastruktur yang Fenomenal

Proyek Hambalang, yang seharusnya menjadi simbol kebangkitan olahraga nasional, berubah menjadi monumen korupsi. Dana sebesar Rp 2,5 triliun yang dialokasikan untuk pembangunan pusat pelatihan ini hilang akibat praktik suap dan kolusi antara pejabat dan kontraktor.

Teori Jaringan Korupsi dari Fisman & Golden (2017) sangat relevan dalam menjelaskan kasus ini. Proyek Hambalang gagal bukan hanya karena individu-individu korup, Sehingga karena adanya jaringan politik dan bisnis yang bekerja sama untuk mengamankan keuntungan pribadi. Korupsi dalam proyek-proyek besar seperti ini sering kali melibatkan banyak aktor, mulai dari pejabat, pengusaha, hingga penegak hukum yang seharusnya melindungi kepentingan publik.

Sebagaimana diungkapkan oleh Buya Syafii Maarif, "Kekuasaan yang besar tanpa diiringi oleh tanggung jawab yang besar hanya akan menghasilkan kehancuran." Di Indonesia, kekuasaan sering kali tidak diiringi oleh tanggung jawab moral dan etika, menghasilkan proyek-proyek gagal yang merugikan negara dan rakyat.

 

Korupsi Sebagai Cermin Degradasi Moral

Korupsi di Indonesia tidak hanya bisa dijelaskan sebagai kegagalan sistem, bertitik tolak juga sebagai cerminan kegagalan moral yang lebih dalam. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis bahwa "Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan." Dalam konteks korupsi, mereka yang berada di kursi kekuasaan telah kehilangan keberanian untuk mempertaruhkan integritas mereka. Alih-alih memperjuangkan kejujuran dan keadilan, mereka memilih jalan aman dengan menumpuk kekayaan melalui korupsi.

Masyarakat Indonesia sering kali terjebak dalam normalisasi praktik-praktik korupsi kecil, seperti memberikan uang pelicin atau suap kecil-kecilan. Pada sisi lain, praktik-praktik ini, sekecil apapun, adalah bagian dari korupsi yang lebih besar, yang pada akhirnya menghancurkan moralitas publik. Ketika pejabat merasa berhak atas kekayaan negara, bukan karena kerja keras atau kemampuan, akibat karena koneksi politik, yang rusak bukan hanya uang negara, seperti kepercayaan antara negara dan rakyatnya.

 

Solusi untuk Masa Depan Bayang-Bayang Korupsi

1. Transparansi dan Akuntabilitas

Meningkatkan transparansi kepemilikan benefisial adalah langkah krusial dalam memerangi korupsi, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan pencucian uang. Laporan Anti-Money Laundering (AML) dan Counter-Terrorist Financing (CFT) 2023 mencatat bahwa hanya 28,5% dari total pendaftaran kepemilikan yang diisi secara akurat di Indonesia. Celah ini dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyembunyikan kekayaan mereka melalui perusahaan cangkang atau aset yang tidak dilaporkan dengan jelas.

Transparansi yang lebih baik akan membuat lebih sulit bagi pelaku korupsi untuk memarkir aset mereka di luar jangkauan hukum. Sebagai contoh, banyak kasus besar seperti skandal BLBI dan Kasus Jiwasraya menunjukkan bagaimana kekayaan hasil korupsi disembunyikan dengan menggunakan struktur kepemilikan yang kompleks. Indonesia bisa belajar dari Singapura yang telah menerapkan kebijakan transparansi penuh dalam kepemilikan perusahaan, yang memungkinkan lembaga-lembaga antikorupsi melacak aset-aset yang tersembunyi dengan lebih efisien.

2. Penguatan Lembaga Antikorupsi

Sejak Revisi UU KPK pada 2019, kinerja KPK mengalami penurunan yang signifikan, salah satunya disebabkan oleh pengurangan wewenang lembaga ini, termasuk kewenangan penyidikan dan penuntutan oleh pimpinan. Padahal, KPK adalah lembaga yang seharusnya menjadi benteng utama dalam memberantas korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa sejak revisi UU KPK, jumlah kasus yang ditangani oleh KPK menurun, terutama dalam hal penindakan terhadap pejabat tinggi dan politisi.

ICW mencatat bahwa pada tahun 2023, KPK hanya menjerat 30 politisi, jumlah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini memperlihatkan bagaimana intervensi politik dapat melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi yang menyasar level atas. ICW juga mengkritik penerbitan SP3 oleh KPK, yang menjadi celah bagi penghentian kasus-kasus besar sebelum masuk ke pengadilan. Pada akhirnya, transparansi dan akuntabilitas KPK harus diperkuat dengan mengembalikan independensi lembaga ini.

3. Pendidikan Antikorupsi

Salah satu pendekatan jangka panjang yang paling penting dalam menghapus korupsi dari Indonesia adalah melalui pendidikan. Pendidikan antikorupsi harus dimasukkan sebagai bagian integral dari kurikulum pendidikan nasional, dari sekolah dasar hingga universitas. Ini bukan hanya tentang memahami hukum, sebaiknya juga tentang menanamkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial. Sebagai contoh ICW telah mendorong agar pendidikan antikorupsi ini disosialisasikan lebih luas ke kalangan generasi muda melalui kampanye-kampanye yang menarik dan berbasis teknologi digital.

Pada tahun 2023, ICW juga mengadakan survei di sekolah-sekolah dan universitas terkait dengan pemahaman generasi muda terhadap korupsi. Hasilnya menunjukkan bahwa 72% pelajar SMA memahami korupsi sebagai tindakan ilegal, Datanya, hanya 32% yang menyadari bagaimana korupsi dapat mempengaruhi kesejahteraan negara secara langsung. Ini menunjukkan adanya celah dalam pemahaman fundamental tentang korupsi di kalangan anak muda, yang bisa diisi dengan program-program pendidikan antikorupsi yang lebih fokus.

 

Menantang Bayang-Bayang yang Tak Terlihat

Korupsi adalah bayang-bayang yang selalu menyelinap di bawah meja, bergerak diam-diam melalui jalur-jalur kekuasaan, merongrong fondasi negara tanpa kita sadari. Seperti hantu yang tak terlihat tetapi selalu hadir, ia mempermainkan nasib bangsa ini dengan cekatan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Hatta, "Kemerdekaan hanya akan bermakna jika seluruh rakyatnya merasakan kesejahteraan." Ironisnya, di Indonesia, kemerdekaan ini masih terasa seperti utopia yang jauh, selama bayang-bayang korupsi tetap berkuasa di balik kursi-kursi elit politik.

Hanya saja, Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah terperosok dalam kubangan korupsi. Lihatlah Singapura. Negara kecil ini pernah bergulat dengan masalah korupsi yang akut pada tahun 1960-an. Uniknya, dengan pembentukan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), mereka berhasil menekan korupsi hingga titik hampir nol. Singapura, yang pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI) terbaru mendapatkan skor 85 (berbanding jauh dengan skor Indonesia yang hanya 34), tidak pernah memberi ruang bagi kompromi dalam penegakan hukum. CPIB diberi kekuasaan penuh untuk menyelidiki bahkan pejabat tertinggi, dan tidak ada satu pun politisi atau birokrat yang kebal dari hukum. Tak hanya penegakan hukum yang ketat, pemerintah juga memperkenalkan gaji tinggi bagi pegawai negeri untuk meminimalisasi godaan korupsi langkah yang terbayar lunas dengan reputasi Singapura sebagai negara bebas korupsi.

Jepang, dengan budaya kerja keras dan disiplin tinggi, juga memiliki strategi kuat dalam menghadapi korupsi. Meskipun Jepang memiliki kasus korupsi di level tertentu, prinsip "giri" (kewajiban moral) dan "on" (hutang budi) membuat pegawai publik dan politisi sadar bahwa pelanggaran etika dapat menghancurkan reputasi mereka dan karir mereka. Korupsi di Jepang dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan, sehingga sanksi sosial di sana sangat berat. Dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023, Jepang mendapatkan skor 73, jauh di atas Indonesia. Pegawai publik yang terlibat dalam kasus korupsi sering kali memilih untuk mengundurkan diri secara sukarela atau bahkan, dalam kasus ekstrem, mengambil langkah drastis seperti bunuh diri karena malu. Hal ini mencerminkan betapa seriusnya tanggapan masyarakat Jepang terhadap korupsi.

Kemudian ada China, yang, meski dikenal sebagai negara dengan sejarah panjang terkait korupsi, telah mengambil langkah besar dalam dekade terakhir untuk menekan praktik ini. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China meluncurkan kampanye antikorupsi terbesar yang pernah ada, yang disebut "Tigers and Flies"—menargetkan pejabat besar (tigers) dan kecil (flies) tanpa pandang bulu. Dalam kurun waktu lima tahun sejak dimulainya kampanye ini, lebih dari 1,5 juta pejabat dihukum karena kasus korupsi. Di antara mereka adalah pejabat tinggi seperti Zhou Yongkang, mantan anggota Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China, yang divonis penjara seumur hidup. Meskipun China masih memiliki tantangan dalam hal korupsi, upaya keras ini telah meningkatkan CPI negara tersebut hingga skor 45.

Indonesia? Kita tampaknya terjebak dalam permainan politik yang lebih sering mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. KPK, yang pernah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, kini diperlunak dengan revisi undang-undang yang menghilangkan taring lembaga tersebut. Para pejabat bisa tidur nyenyak, mengetahui bahwa SP3 atau intervensi politik bisa dengan mudah menghentikan penyelidikan terhadap mereka. Bayang-bayang korupsi yang menutupi kursi kekuasaan semakin pekat, seolah-olah tak ada lagi cahaya yang bisa menembusnya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh W.S. Rendra, "Tuan-tuan yang terhormat, ada yang lebih mahal dari sekadar harga diri yang dipertaruhkan, yaitu kepercayaan rakyat." Jika bayang-bayang korupsi ini terus kita biarkan, kepercayaan rakyat pada negara akan lenyap bersama setiap rupiah yang hilang dalam praktik korupsi. Dan saat itu terjadi, apa yang tersisa dari demokrasi kita? Rakyat yang sudah lelah dan kecewa akan semakin merasa dikhianati oleh elit mereka sendiri, seperti yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, "Sejarah kita adalah sejarah rakyat kecil yang dikhianati oleh elitnya sendiri."

Percayalah, jalan keluar selalu ada, jika saja kita memiliki keberanian untuk melakukannya. Seperti yang dilakukan Singapura, Jepang, dan China, Indonesia harus membangun kembali sistem yang kuat dan transparan. Reformasi yang kuat, penegakan hukum yang tanpa kompromi, dan partisipasi aktif dari masyarakat yang lelah dijadikan korban, adalah langkah-langkah yang bisa membawa perubahan. Mungkin korupsi tidak akan pernah sepenuhnya hilang seperti hantu yang selalu berusaha kembali, maka setiap langkah menuju integritas, setiap tindakan melawan korupsi, adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik, masa depan di mana kemerdekaan tidak lagi semu, tetapi kenyataan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Efatha F. Borromeu Duarte

Penjelajah

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler