Pesimisme Publik Terhadap Kabinet Prabowo
Selasa, 22 Oktober 2024 19:01 WIBSalah satu kritik publik terhadap kabinet Prabowo adalah terlalu besarnya pengaruh Jokowi dalam penempatan figur-figur di kementerian.
***
Berbeda dengan respon terhadap isi pidato Prabowo pasca pelantikan yang menunjukan tren positif, tanggapan publik terhadap Kabinet yang kemarin dan siang tadi diumumkan cenderung negatif, setidaknya dalam pandangan sejumlah ahli, pengamat dan tokoh masyarakat. Memang tidak mewakili pasar yang lazim dirujuk sebagai parameter perkembangan situasi ekonomi-politik.
Tetapi respon ahli, pengamat dan tokoh masyarakat tentu tidak bisa disepelekan karena efeknya juga bisa memengaruhi dinamika dan kepercayaan publik. Namun demikian jangan pula pilihan kebijakan Prabowo dalam menyusun postur kabinet dan figur-figur yang mengisi pos-pos jabatannya kemudian dipukul rata dalam satu penilaian negatif. Karena postur kabinet serta siapa menjabat pos kementerian mana tentu ada argumentasinya.
Ringkasnya, pihak yang pro dan kontra terhadap pilihan kebijakan Prabowo harus sama-sama bijak menyikapi. Termasuk Presiden Prabowo sendiri dan lingkaran satunya di Istana. Saya yakin, mereka yang mengkritik pun pada dasarnya berangkat dari kepedulian dan kehendak yang sama dengan Prabowo. Yakni ingin melihat masa depan Indonesia lebih baik di bawah kepemimpinannya.
Sekarang mari kita diskusikan. Sama juga, diskusi ini berangkat dari kepedulian dan keinginan melihat Indonesia lebih baik dibanding dengan era kepemimpinan Jokowi-Kalla maupun Jokowi-Ma’ruf.
Kabinet vs Debirokratisasi dan Deregulasi
Secara garis besar kritik publik terhadap kabinet Prabowo berfokus pada empat isu. Yakni postur kabinet yang tambun, aura dominasi pengaruh Jokowi, nuansa kental balas jasa, serta terkait sejumlah figur para Menteri dan Wakil Menteri yang dipilih.
Terkait postur kabinet yang besar. Publik menilai pilihan model ini bertentangan dengan prinsip penting dalam strategi pembentukan perangkat organisasi dan kelembagaan modern. Yakni kaya fungsi minim struktur, model yang sejak awal reformasi dipromosikan para ahli dan coba dipraktikan di lingkungan organisasi dan kelembagaan birokrasi.
Efesiensi bisa diperoleh dengan model ini terutama berkenaan dengan anggaran yang dibutuhkan dan pentingnya melakukan penyederhanaan dalam proses penyelenggaraan tata pemerintahan atau yang secara umum dikenal dengan istilah debirokratisasi.
Sebaliknya dengan postur birokrasi yang tambun (kaya struktur minim fungsi), selain menimbulkan inefesiensi anggaran dan birokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan (pembuatan regulasi dan kebijakan, pelayanan publik, perizinan usaha dll) beberapa potensi tak sehat juga bisa terjadi. Misalnya rentang kendali (span of control) birokrasi (bahkan juga politik) yang terlalu lebar potensial dapat memperlemah kontrol Presiden terhadap para pembantunya di kabinet.
Dalam konteks kendali Presiden ini pula, pembengkakan jumlah Kementerian (ditambah pula dengan perbanyakan jumlah Wakil Menteri) sesungguhnya juga memberi ruang yang lebih lebar terhadap berbagai potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). Karena kita tahu, setiap lembaga pemerintahan yang kepadanya diberikan otoritas biasanya akan saling memaksimalkan otoritasnya sendiri-sendiri. Dari perlakukan terhadap otoritas inilah penyimpangan dan penyelewengan dimulai.
Selain itu gejala yang demikian kerapkali disertai pula dengan tumbuhnyanya ego sektoral kelembagaan. Terlebih lagi jika kordinasi oleh para Menteri Kordinator (Menko) misalnya tidak berjalan dengan baik. Maka bukan hanya ego sektoral yang akan terjadi, tetapi juga timpang tindih (overlapping) bidang tugas dan pekerjaan antar kementerian. Dan ini bisa berawal dan berujung pada lahirnya berbagai regulasi (yang saling berdekatan bidang pengaturannya).
Berbagai regulasi yang overlap (bahkan bisa sekaligus juga menjadi lebih banyak) dan mengisyaratkan ego sektoral itu pada akhirnya akan membuat kerja-kerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan program-program pembangunan maupun pelayanan publik menjadi lambat. Sampai pada titik ini semangat deregulasi akan bernasib sama dengan spirit debirokratisasi, sama-sama mengalami regresif, mengalami kemunduran.
Faktor Jokowi dan Menteri Toxic
Kritik publik yang kedua terhadap kabinet Prabowo adalah terlalu besarnya pengaruh Jokowi dalam penempatan figur-figur di kementerian. Lebih dari sepertiga jumlah Menteri (48) dan Pimpinan Lembaga di luar jajaran Kementerian (5) merupakan figur-figur lama di kabinet Jokowi.
Seperti pernah saya ulas dalam artikel sebelumnya, membentuk kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Ekstrimnya, bahkan jika seluruh anggota kabinetnya diisi oleh para Menteri era Jokowi juga tidak ada masalah sepanjang Prabowo sendiri tidak keberatan dan setuju dengan proposal Jokowi.
Masalahnya kemudian, dan ini sebetulnya yang dikhawatirkan publik. Pertama, dikhawatirkan Prabowo tidak cukup berdaulat dan mandiri sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kepadanya disematkan hak prerogatif oleh konstitusi. Publik khawatir secara politik Prabowo akan banyak dikendalikan oleh Jokowi.
Kedua, atas nama terma “Keberlanjutan” yang telah menjadi tagline kampanyenya tempo hari publik juga khawatir Prabowo akan menggunakan “kacamata kuda” dalam menjalankan kepemimpinannya. Semua hasil dan capaian pemerintahan Jokowi dianggap tuntas dan sempurna, tanpa cacat dan kelemahan. Sehingga merasa tidak diperlukan lagi untuk melihat kebelakang maupun kesamping sebagai upaya koreksi dan perbaikan.
Jika itu terjadi tentu sangat ironis dengan pidato kenegaraannya beberapa hari lalu setelah pelantikan dimana Prabowo dengan lugas berkomitmen dan mengajak seluruh elemen bangsa (khususnya jajaran pemerintahannya nanti) untuk berani mawas diri dan melakukan koreksi atas capaian-capaian yang secara statistikal terlihat membanggakan namun sesungguhnya tidak selalu menggambarkan situasi yang sebenarnya di dalam masyarakat. Mulai dari isu kemiskinan, pengangguran, pendidikan, korupsi, hingga tatakelola bisnis yang belum berkeadilan.
Ketiga, secara lebih khsusu publik juga menyoroti sejumlah figur (untuk menghindari “free kick” redaktur Kompasiana, saya tidak akan menyebutkan nama-namanya) yang selama membantu Presiden Jokowi saja kerap dianggap bermasalah, tapi kini masuk lagi di kabinet Prabowo.
Sejumlah masalah itu misalnya terkait kisruh dan kegagalan menjaga kedaulatan data warga negara; yang sempat tersangkut kasus-kasus dugaan korupsi; hingga ke blunder-blunder verbal dan perilaku politik pada tahapan Pemilu/Pilpres.
Saya jadi teringat “tawsiyah” Luhut Binsar Panjaitan kepada Prabowo jauh sebelum dilantik, Mei 2024 jika tidak keliru. Kepada Prabowo kala itu, Luhut menyarankan agar tidak mengajak orang-orang toxic kedalam kabinet. Toxic kepribadiannya maupun toxic karakter politik dan kepemimpinannya.
Tentu saja fakta-fakta yang dikritisi publik tidak perlu mengurangi apresiasi kepada Presiden Prabowo sekaligus optimisme yang dibangunnya di awal perjalanan kepemimpinannya ini.
Misalnya dengan mengangkat figur-figur kompeten, dapat diandalkan dan berintegritas seperti (sekedar menyebut beberapa tontoh) : Kyai Nasarudin Umar di posisi Kemenag, Abdul Mu’ti di posisi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Profesor Yusril Mahendra sebagai Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Sjafrie Sjamsoedin sebagai Menteri Pertahanan, dan Satrio Sumantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Bahwa beberapa nama tersebut (atau yang tidak disebut yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi, terutama yang berlatar politisi dari berbagai partai politik) merupakan bagian dari Timses Prabowo di Pilpres dulu, publik saya kira tidak terlalu mempermasalahkan sepanjang mereka semua memang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik.
Balas Jasa dan Pusaran Paradoks
Pemikiran yang sama boleh jadi juga ada di benak masyarakat terkait isu berikutnya yang menuai banyak kritik. Yakni soal banyaknya sosok di Kabinet (Menteri maupun Wamen) dan juga badan-badan lain seperti Utusan Khusus Presiden dalam berbagai bidang pekerjaan yang berasal dari lingkaran Timses dan Pendukung Prabowo. Mulai dari partai politik, relawan, selebritas maupun tokoh masyarakat.
Bahwa masyarakat nampaknya juga tidak mempersoalkan fakta-fakta tersebut sepanjang mereka yang masuk kabinet memang memiliki kecakapan dan kepantasan untuk membantu Presiden. Jadi, bukan semata-mata karena telah berjasa waktu Pilpres. Dalam tradisi politik elektoral fenomena ini adalah biasa dan hemat saya perlu dihargai, inilah fatsoen politik yang berlaku dalam tradisi kontestasi.
Berbasis semua isu yang menjadi sorotan publik itu banyak pihak yang kemudian menyimpulkan (sesuatu yang bisa saja terlalu prematur sebetulnya), bahwa Presiden Prabowo terlihat seperti sedang terjebak dalam pusaran paradoks.
Janji kampanye, komitmen dan tekad kuatnya terkait banyak agenda dan pekerjaan rumah sebagaimana dikemukakannya dengan lugas dalam pidato pelantikannya terasa kontradiksi dengan kebijakannya dalam memilih postur kabinet dan figur-figur pembantunya di kabinet dan badan-badan lainnya.
Terhadap semua isu yang banyak disoroti publik itu sekali lagi, para pihak baik pendukung (termasuk tentu saja Presiden Prabowo dan lingkaran satunya di Istana) maupun pihak pengkritik perlu sama-sama bersikap bijak.
Caranya sederhana saja. Bagi Presiden dan Timnya terima saja masukan dan kritik ini dengan lapang dada sambil berusaha keras membuktikan sesegera mungkin (dalam seratus hari kedepan misalnya), bahwa pilihannya adalah tepat. Jika para pengkritik yang benar dan pilihan kebijakan Presiden terbukti keliru, segera pula lakukan perbaikan. Tidak ada yang tabu bagi Presiden, bahkan misalnya jika harus mereshufle Menteri atau Wamennya. Dan untuk itu, Presiden punya hak prerogatif yang diberikan konstitusi.
Kemudian bagi para pengkritik pilihan kebijakan Presiden, tugas mulia sebagai smart and good citizen sudah dikemukakan. Selanjutnya, terima saja dulu pilihan kebijakan Presiden yang sudah diambil seraya jangan pernah berhenti untuk terus mengawal dan mengoreksi dengan tulus dalam waktu-waktu kedepan. Semuanya semata-mata, demi menjaga Indonesia, memajukan Indonesia.
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
6 Pengikut
KPU Goes to Campus, Ikhtiar Memperbanyak Smart Voters
Rabu, 6 November 2024 17:58 WIBPesta Demokrasi Post-Gen Z
Rabu, 6 November 2024 17:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler