Memahami Terorisme Bergaya Lone Wolf

Kamis, 31 Oktober 2024 08:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bergerak dari anarko ke persoalan radikalisme, fenomena lone wolf yang selalu kita kaitkan dengan agama itu, sebenarnya juga terjadi di spektrum lain seperti ideologi kanan reaksioner.

***

“Jika bergerak secara kolektif membutuhkan waktu dan taktikal yang rumit dan lama, maka bergeraklah sendiri, persenjatain dan kuatkan dirimu dengan ideologi yang tuntas, kemuakan yang terpelihara, perjuangan yang berani, dan takut yang matang”, begitulah penggalan dari salah satu file PDF dari kelompok anarkis tentang agitasi dan insureksi individual yang diberikan oleh seorang kawan dalam forum anarchist studies network di Faceobook.

Ia memang tidak secara tersurat menyebutkan istlah lone wolf atau serigala penyendiri di sana. Ini adalah istilah yang popular dalam diskursus kajian terorisme. Namun aksi langsung yang dilakukan secara individual meskipun dalam konteks anarkisme, ditegaskan bahwa Serigala Penyendiri Tidak Sendiri. Tertulis dalam Conspiracy of Cells of Fire yang termuat dalam  website anarchist library, hal itu tetaplah dikategorikan teror individual.

Bergerak dari anarko ke persoalan radikalisme, fenomena lone wolf yang selalu kita kaitkan dengan agama itu, sebenarnya juga terjadi di spektrum lain seperti ideologi kanan reaksioner. Juga pada faktor lingkungan, misalnya, tragedi penembakan di Selandia Baru ataupun di Amerika Serikat yang tidak berunsur agama dari segi pelaku. Hal itu diungkap dalam artikel Dancing With Wolves: Today's Lone Wolf Terrorists oleh Rodger A. Bates (2012).

Seiring dengan perkembangan dunia digital, fenomena lone wolf banyak dikaitkan dengan gejala radikalisasi sendiri tanpa melibatkan jaringan terorganisir. Ini menjadi diskursus yang cukup menarik di ranah akademis.

Lone wolf dulu dan kini

Tidak ada pendapat yang pasti mengenai kapan persisnya terorisme lone wolf terjadi. Perihal kenapa seseorang atau kelompok dapat menjadi radikal ke arah tindakann teror,  menurut Sunday Adelaja (2017) dalam The Danger Of Monoculturalism In The XXI Century, bahwa intoleransi, radikalisme, dan rerorisme adalah tiga pendulum yang bertaut dengan paham extreme Monoculturalism sebagai tali penggeraknya.

Adapun extreme Monoculturalism itu adalah paham yang beranggapan jika suatu kelompok merasa dirinya yang paling terpilih dan terancam sehingga perlu mengatasi pihak lain.  Paham ini tidaklah berkaitan dengan satu agama, ras, atau suku tertentu tetapi lebih kepada mereka yang terjebak  secara psikologis terhadap ide-ide berbahaya yang kemudian membentuk pandangan tersendiri yang bahkan berlawanan dengan sesama mereka sendiri. 

Fakta sosial membuktikan terorisme lone wolf bukanlah fenomena baru. Kajian Mark Hamm dan Tammy Ayres (2022) mendedahkan tentang praktik terorisme lone wolf selama masa-masa perang dunia ke dua dan sesudahnya yang di lakukan oleh kelompok kiri ekstrim (Anarkis dan komunis), separatis, maupun fasis. 

Contoh kasus terorisme lone wolf masa lalu adalah seperti Ted Kaczynski yang dikenal sebagai "Unabomber." Kaczynski melancarkan serangan bom selama hampir dua dekade (1978-1995), menargetkan ilmuwan dan pebisnis karena ketidaksetujuannya terhadap perkembangan teknologi modern.

Kaczynski beroperasi secara independen, tanpa hubungan langsung dengan kelompok radikal mana pun, meskipun dirinya dianggap terkoneksi dengan kelompok anarko, tetapi motivasinya berasal dari ideologi yang kuat terkait anti-industri dan anti-teknologi. Saat ini tulisan-tulisan dari Ted Kaczynski memang menjadi rujukan dalam membahas anarkisme dan teknologi. 

Contoh lainnya, adalah kasus  David Copeland di London pada tahun 1999, di mana ia memasang bom di beberapa lokasi sebagai bagian dari kampanye kebencian terhadap kaum minoritas.

Sudut pandang kajian terorisme lone wolf di masa lalu selalu  berkutat pada psikologis dari pelakunya dan ideologi yang mendasarinya, namun saat ini seiring dengan perkembangan dunia digital, persoalan akses pelaku terhadap informasi tertentu di ruang digital  menjadi tumpuan kajian .

Apalagi saat ini ada trend dimana pelakunya sendiri memviralkan perbuatannya sebelum, selama, dan sesudah kejadian. Viralitas menjadi kunci utama selain keberhasilan menghancurkan target serangan bagi para pelaku terorisme lone wolf masa kini.

Selain itu bentuk serangannya juga tidak melulu di dunia nyata, mereka juga melakukannya di dunia maya dalam bentuk peretasan yang menghancurkan sistem-sistem dari target yang mereka bidik.  Oleh karena itu, memahami terorisme lone wolf dimasa kini apalagi masa depan akan jauh lebih kompleks, karena di masa-masa yang mengarah pada fenomena transhumanisme ini ,bisa saja pelaku terorisme lone wolf bukanlah entitas manusia lain sebagaimana yang diceritakan dalam film sci-fi I-robot itu.

Bahkan ketika serangan itu terjadi si pelaku dapat saja menggunakan medium yang tidak perlu mengorbankan dirinya seperti pengunaan drone atau kecerdasan buatan misalnya. Saat menulis artikel ini, saya menikmati karya tulis berjudul Exploitation of Generative AI by Terrorist Groups dari Clarisa Nelu (2024) yang secara gamblang mengurai potensi kecerdasan buatan sebagai medium baru yang dapat  digunakan oleh kelompok terror, sehingga perlawanan terhadap terorisme sendiri mestilah menelaah kecerdasan buatan itu sendiri.

Lone Wolf dan proxy war

Pada dasarnya fenomena terorisme lone wolf di era digital tidaklah terjadi di ruang hampa yang disimplikasi tanpa adanya peran pihak lain. Ini bisa didekati dari sudut pandang proxy war.  Pelaku menggunakan metode konfrontasi dengan memakai pihak ketiga agar pihak pertama tidak menderita kerugian besar.  Proxy war yang  identik dengan cara-cara manipulatif perlu dilancarkan.

Saat ini Proxy war berpotensi merasuk keberbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi meskipun dipermukaan lone wolf bergerak seorang diri, namun ajaran yang mempengaruhi tindakan dan pikiran mereka merupakan koordinasi tidak langsung dari pihak-pihak tertentu sebagaimana rekayasa sosial.

Apa yang mesti kita lakukan ?

Memahami sembari menerapkan deradikalisasi dan berinternet secara sehat menjadi kunci utama mengatasi dan mencegah fenomena terorisme Lone wolf. di samping itu perlu adanya aksi-aksi kultural dengan pendekatan yang dialogis dan humanis  tentang wawasan kebangsaaan.

Kita juga harus melawan racun individualisme yang menyebabkan kita terkurung satu sama lain. Hal itu bisa dilakukan  melalui budaya perjumpaan dengan cara mengiatkan gotong royong dan musyawarah, hal yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia sejak zaman dahulu.

           

Referensi

Bates, R. A. (2012). Dancing With Wolves: Today's Lone Wolf Terrorists. The Journal of Public and Professional Sociology, 4(1), Article 1. Available at https://digitalcommons.kennesaw.edu/jpps/vol4/iss1/1

International Centre for Counter-Terrorism. (2024). The exploitation of generative AI by terrorist groups. https://www.icct.nl/publication/exploitation-generative-ai-terrorist-groups

Jeffrey D Simon :Lone Wolf Terrorism: Understanding the Growing Threat, 2016, London, Pinguin Press

Sunday Adelaja : The Danger Of Monoculturalism In The XXI Century, 2017, New York, Pinguin Press.

Eidelson, Roy & Eidelson, Judy. (2003). Dangerous Ideas: Five Beliefs that Propel Groups Toward Conflict. The American psychologist. 58. 182-92. 10.1037/0003-066X.58.3.182.

Spaaij R (2010) The enigma of lone wolf terrorism: an assessment. Study of  Conflict  and Terrorism. 33(9):854–870

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
abadi mansur

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Memahami Terorisme Bergaya Lone Wolf

Kamis, 31 Oktober 2024 08:42 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler