Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Aspal Buton vs Aspal Impor, Pertarungan yang Tak Seimbang

Jumat, 1 November 2024 18:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apabila produk aspal Buton ekstraksi sudah dapat dijual di pasar, mari kita adu dengan aspal impor. Apakah sekarang pertarungan antara aspal Buton ekstraksi vs aspal impor sudah berjalan seimbang?

***

Sebenarnya pertarungan antara aspal Buton melawan aspal impor memang tidak pernah ada. Dan kalau adapun, penggunaan aspal Buton di dalam negeri hanya sekitar 100 ribu ton per tahun. Sedangkan penggunaan aspal minyak atau aspal impor sekitar 1,5 - 2 juta ton per tahun. Jadi membandingkan penggunaan aspal Buton dengan aspal impor memang tidaklah apple to apple, atau tidak seimbang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adapun, apa yang dapat kita lihat dari fakta di lapangan bahwa pertarungan antara aspal Buton melawan aspal impor sejatinya memang tidak seimbang. Kita dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa telah terjadi ketidakadilan yang nyata, yang terdapat tepat di hadapan mata kita. Aspal Buton yang merupakan produk lokal hanya dimanfaatkan dalam jumlah yang sangat kecil sekali. Sementara selama ini, produk aspal impor telah mendominasi dan menjadi primadona dalam penggunaan aspal di dalam negeri. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Indonesia mengimpor aspal untuk pertama kali pada tahun 1980an. Alasan untuk mengimpor aspal pada saat itu adalah karena kebutuhan aspal di dalam negeri terus meningkat dengan banyaknya pembangunan infrastruktur jalan-jalan yang berkembang pesat. Aspal Buton sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan aspal nasional lagi. Selain jumlahnya tidak mencukupi, kualitasnya juga tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dipersyaratkan. Sejak itu penggunaan aspal Buton ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.

Pada tahun 2008, harga minyak bumi melonjak naik sangat tinggi mencapai di atas US$ 100 per barel. Akibat dari kenaikan harga minyak bumi yang sangat tinggi ini, harga aspal minyak juga ikut naik ke harga yang paling tinggi di dalam sejarah, yaitu US$ 825 per ton. Dimana harga aspal minyak rata-rata setahun sebelumnya hanya US$ 350 per ton. Kenaikan harga aspal minyak yang lebih dari dua kali lipat ini telah menyebabkan potensi aspal Buton dilirik kembali oleh pemerintah sebagai alternatif untuk memperoleh harga aspal yang lebih murah.

Pada tahun 2020, Badan Research Technology Center (RTC) Pertamina telah mengumumkan kepada publik bahwa berdasarkan hasil studi kelayakan untuk membangun pabrik ekstraksi aspal Buton, harga aspal Buton ekstraksi lebih murah daripada harga aspal impor. Tetapi mirisnya, hasil studi kelayakan tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dan seolah-olah hasil studi kelayakan ini yang telah dikerjakan selama bertahun-tahun dengan bersusah payah oleh para ahli dan profesional tersebut telah dianggap tidak pernah ada.

Peristiwa ini perlu dicatat di dalam sejarah hitam bangsa Indonesia bahwa hasil studi kelayakan RTC Pertamina yang melaporkan bahwa harga aspal Buton ekstraksi lebih murah daripada harga aspal minyak tidak mendapat perhatian dari pemerintah, karena pemerintah mungkin menilai bahwa harga aspal impor masih dianggap cukup murah. Sedangkan apabila Pertamina mau membangun pabrik ekstraksi aspal Buton, maka diperlukan biaya investasi yang tidak sedikit. Akibatnya, diputuskan Indonesia tetap terus mengimpor aspal.

Pada tahun 2020, harga rata-rata aspal minyak menurut Maryland asphalt index adalah sebesar US$ 430 per ton. Sementara pada tahun 2024, harga rata-rata aspal minyak sebesar US$ 600 per ton. Jadi dalam kurun waktu 4 tahun harga aspal minyak telah naik sebesar US$ 170 per ton, atau  40%. Memang kenaikan harga aspal minyak ini tidak linear. Dan berfluktuasi sesuai dengan kenaikan harga minyak bumi dunia. Tetapi karena harga minyak bumi dunia berada di luar kendali pemerintah, maka bisa saja pada suatu saat nanti harga aspal minyak akan melonjak naik diatas US$ 825 per ton, seperti yang sudah pernah terjadi pada tahun 2008.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah pemerintah Indonesia sudah siap untuk menghadapi tibanya momentum saat-saat kenaikan harga minyak bumi dunia yang akan mencapai di atas US$ 100 per barel?. Cepat atau lambat niscaya momentum ini pasti akan terjadi. Kalau pemerintah Indonesia tidak siap mulai dari sekarang menghadapi tragedi harga minyak bumi naik di atas US$ 100 per barel, maka kekacauan akan terjadi, seperti pada pada tahun 2008. Pemerintah panik, dan buru-buru mau beralih kepada aspal Buton. Tetapi segala sesuatu persiapannya masih nol besar, sehingga semuanya sudah sangat-sangat terlambat.

Penulis ingin mengingatkan kepada pemerintahan pak Prabowo bahwa kita harus belajar dari peristiwa buruk pada tahun 2008, dimana harga minyak bumi dunia telah naik mencapai harga di atas US$ 100 per barel. Dan berdampak sangat signifikan pada kenaikan harga aspal minyak atau aspal impor yang mencapai lebih dari dua kali lipat. Adapun harga minyak bumi dunia sekarang sudah berkisar pada angka US$ 80 per barel. Dengan adanya konflik perang di Timur Tengah antara Israel dan negara-negara Arab, maka kenaikan harga minyak bumi dunia menuju ke atas US$ 100 per barel hanya tinggal menunggu hari saja.

Apabila pemerintahan pak Prabowo ingin membandingkan aspal Buton dengan aspal impor secara apple to apple, maka pemerintahan pak Prabowo harus mau membangun pabrik ekstraksi aspal Buton terlebih dahulu seperti yang sudah pernah direkomendasikan oleh RTC Pertamina pada tahun 2020.

Sekarang bandingkanlah aspal Buton ekstraksi dengan aspal impor, baik dari harga, maupun kualitas. Maka pemerintahan pak Prabowo akan sangat terkejut. Karena ternyata harga aspal Buton ekstraksi bisa jauh lebih murah, dan kualitasnya juga jauh lebih baik daripada aspal impor. Jadi, sudah berapa besarkah kerugian negara akibat Indonesia telah mengimpor aspal selama lebih dari 45 tahun?. 

Sekarang apabila mau diadu antara aspal Buton melawan aspal impor, maka yang menang adalah pasti aspal impor, karena aspal impor didukung penuh oleh pemerintah. Tetapi di sisi lain, apabila pemerintah mau mendukung aspal Buton, maka aspal Buton adalah pemenangnya. Jadi dalam hal ini, kelihatannya peranan dan tanggung jawab pemerintah sangat besar untuk mau bersikap adil. Seharusnya pemerintah mendukung aspal Buton sejak dulu, karena kalau aspal Buton sudah maju, maka tentunya yang paling diuntungkan adalah rakyat Indonesia sendiri.

Harapan penulis kepada pak Prabowo sebagai presiden RI yang  baru adalah pak Prabowo  mau mengevaluasi ulang hasil studi kelayakan RTC Pertamina yang telah menyatakan bahwa harga aspal Buton ekstraksi lebih murah daripada harga aspal impor. Dan apabila benar bahwa harga aspal Buton ekstraksi lebih murah daripada harga aspal impor, maka mohon tunjuk dan tugaskan kepada Pertamina sebagai sebuah perusahaan BUMN untuk segera membangun pabrik-pabrik ekstraksi aspal Buton.

Dan apabila produk aspal Buton ekstraksi sudah dapat dijual di pasar, mari kita adu dengan aspal impor. Apakah sekarang pertarungan antara aspal Buton ekstraksi vs aspal impor sudah berjalan seimbang? Dan kalau ternyata harga aspal Buton ekstraksi terbukti lebih murah daripada harga aspal impor, maka sebagai rakyat Indonesia, kita semua akan menyesali diri. Mengapa tidak sejak dari dulu Indonesia mau beralih kepada aspal Buton ekstraksi?. Tetapi sekarang, sesal kemudian sudah tidak ada gunanya. Oh, sungguh miris sekali nasib negeriku.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler