Perdebatan Ilmiah di Ruang Disertasi, Kisah Perjalanan Promovendus

Sabtu, 2 November 2024 09:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila terjadi perdebatan ilmiah di ruang disertasi, itu mah biasa. Begitulah cerita perjalanan seorang promovendus menuju ujian terbuka promosi doktor

Setelah ujian tertutup disertasi pada Selasa 22 Oktober 2024, Syarifudin Yunus dengan penuh semangat memperbaiki masukan dari tim penguji yang terdiri dari: Prof. Dr. Sri Setyaningsih, M.Si. (Ketua Prodi S3 Manajemen Pendidikan SPs Unpak), Prof. Dr. rer. pol. Ir. Didik Notosudjono, M.Sc., IPU, ASEAN. Eng, APEC. Eng. (Promotor dan Rektor Unpak), Prof. Dr-Ing. Soewarto Hardhienata (Dekan Sekolah Pascasarjana Unpak), Dr. Martinus Tukiran, M.T. (Kopromotor), dan penguji eksternal Prof. Dr. H. Sumaryoto (Rektor Universitas Indraprasta PGRI).

Judul disertasinya menjadi Strategi Peningkatan Efektivitas Tata Kelola Taman Bacaan Berbasis Model CIPP Pada Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Kabupaten Bogor. Ada tambahan kata “strategi peningkatan”, dari semula “efektivitas tata kelola …”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah disertasi diperbaiki sesuai masukan saat ujian tertutup, kopromotor tidak setuju dan akhirnya mengundurkan diri. Karena ada perbedaan pendapat ilmiah, soal mazhab keilmuan. Semua berjalan apa adanya, dan sangat wajar terjadi perdebatan ilmiah di disertasi, di ranah keilmuan. Perdebatan ilmiah punya jalannya sendiri, ada koridornya masing-masing.

Dalam konteks disertasi saya, perdebatan ilmiah itu biasa-biasa saja. Karena berdebat pada disertasi itu justru memperkaya khasanah ilmiah, membangun tradisi akademis yang bagus. Untuk memecahkan masalah, mengevaluasi teori, dan mencari kebenaran yang paling pas. Jadi, jangan takut berdebat jangan takut berbeda pendapat.

Jadi berdebat ilmiah di ranah disertasi, tesis, atau skripsi biasa saja. Karena di situ pasti ada argumen ilmiah, ada upaya evaluasi terhadap teori bahkan dapat mempertajam identifikasi kelemahan ilmiah itu sendiri. Bahwa ilmu punya keterbatasan, dan orang berilmu pun punya keterbatasan yang sama. Tidak ada ilmu mutlak dan benar 100% selagi masih di dunia.

Berdebat itu biasa. Bahkan sekarang perdebatan bisa terjadi saat makan malam, di ranjang atau grup WA. Asal atas dasar iktikad baik, perdebatan ilmiah tidak jadi masalah. Bila kita ingat, Aristoteles pun berdebat dengan gurunya Plato. Sebuah perdebatan ilmiah tentang distopia sains versi Aristoteles melawan “utopia” sains versi Plato. Guru vs murid ya boleh-boleh saja terjadi secara ilmiah.

Raffi Ahmad dilantik jadi utusan khusus Presiden bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni pun bisa kok diperdebatkan. Bisa apa si Raffi? Mungkin secara konsep dan teoritik Raffi tidak mampu tapi secara praktik, mungkin Raffi unggul paling depan. Silakan saja diperdebatkan. Asal ingat, the show must go on. Semuanya harus tetap berjalan, tetap berproses tanpa perlu menghambat.

Begitu pula perdebatan ilmiah di materi disertasi. Silakan saja dan sudah biasa terjadi. Asal jangan merugikan mahasiswa. Sebagai suatu penelitian, asal mahasiswa sudah melakukannya dengan terjun ke lapangan, berhadapan dengan sampel, dan sudah dianalisis secara valid mungkin sudah cukup. Karena bagi mahasiswa, asal mau ke lapangan itu sudah valid, reliabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu kan?

Kembali ke soal disertasi Syarifudin Yunus tadi, Alhamdulillah akhirnya melalui proses dan mekanisme penyempurnaan disertasi pun rampung. Dan siap diujikan pada ujian promosi doktor pada 11 November 2024 di Aula Pascasarjana Unpak. Insya Allah, sebentar lagi Unpak melahirkan doktor manajemen pendidikan bidang taman bacaan.  Melalui disertasi yang dipertahankan Syarifudin Yunus berjudul Strategi Peningkatan Efektivitas Tata Kelola Taman Bacaan Berbasis Model CIPP Pada Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Kabupaten Bogor”. Ujian terbuka menjadi puncak dari proses studi dan penelitian mahasiswa untuk meraih gelar Doktor.

Berdebat secara ilmiah tidak masalah, itu sudah biasa. Karena berdebat itu tanda kita masih bisa berpikir, simbol mau berpikir. Sehingga ilmu pengetahuan yang dilahirkan dari perdebatan telah memberikan kita alat dan bukti untuk memahami dunia dengan lebih baik. Maka jelas, perdebatan ilmiah yang identik dengan “setuju” dan “tidak setuju” sama sekali tidak problem, sah-sah saja. Asal jangan membungkam akal sehat dan hati nurani. Siapapun boleh berdebat, boleh setuju boleh tidak setuju. Asal tetap berdebat dengan sehat, produktif, dan penuh rasa hormat untuk kemajuan sains dan peradaban.

Selamat berdebat. Tapi ingat, ilmu itu didatangi bukan mendatangi. Buku-buku bacaan pun dijemput, bukan menjemput. Kuliah itu harus dituntaskan, bukan hanya dimulai. Begitulah perjalanan seorang promovendus di Tengah perdebatan ilmiah.

Dan ingat, jangan berdebat soal bumi itu bulat atau datar? Salam literasi #MahasiswaDoktoral #DisertasiTamanBacaan #TBMLenteraPustaka #CalonDoktor

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler