Pemancing
Minggu, 3 November 2024 21:23 WIBPercakapan antara dua orang pemancing yang tidak seperti biasanya.
“Capungnya menghalangi terus," terik matahari memperlihatkan sekelebat ikan-ikan yang sedang berburu. Hari-hari seperti ini memang enaknya mancing. Syukurlah aku tidak lupa membawa pancinganku.
“Mengapa kau tidak bisa seperti dia?!” Benar, hari-hari seperti ini enaknya mancing. “Kau tahu, wajahmu masih terlalu cepat untuk terlihat seperti itu,” seorang pria paruh baya duduk sambil menaruh secangkir kopinya. Pak RT, dia selalu datang ke sini dengan peci hitamnya yang khas beserta rokoknya.
“Bagaimana akhir-akhir ini?” Langsung ke situ ya pak. Yah, aku tidak benci, sih, sifatnya yang seperti ini. “Biasalah pak, lancar.”, dia tersenyum sambil mengangkat pancingannya.
Baru saja duduk dia sudah dapat satu ikan. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. “Maaf ya, kau biasa saja, tidak seperti yang aku kira,”, hanya ikan yang sedang. Dia menaruhnya ke ember kuning yang dia bawa. Sudah lima ikan ternyata. “Sudah kubilang, wajahmu terlalu cepat kelihatan seperti itu,” dia kembali menjatuhkan kailnya. Aku kemudian terkejut dengan hentakan di pancinganku. “Kau dapat, tuh.” dari tarikannya palingan ikan yang kecil.
Setelah ikan pertamaku di hari ini, kami berdua hanya menatap pelampung ikan kami, menunggu pergerakan. “Kau tahu, hari ini istriku marah besar. Dia bahkan melemparkan panci ke kepalaku,” kata beliau sambil menunjukkan bekas luka di pelipisnya. Masih segar. “Padahal aku hanya mencoba menghiburnya,” aku yakin metodenya pasti agak aneh.
Bagaimana bapak menghiburnya?” Beliau ingin menghibur istrinya yang baru kehilangan saudaranya dengan mencoba mengejutkannya dari belakang sambil memberinya pelukan. Tidak terlalu ekstrim seperti biasanya. “Mengapa bapak tidak langsung mengatakannya?” Dia hanya tertawa sambil memasang umpan miliknya. “Kau tahu, lelaki memang seperti itu.” ujar pak RT sambil menunjukkan senyumannya.
Apa yang dibicarakan pak tua ini? “Apakah kau seperti itu?”
Seperti apa yang dimaksud oleh beliau ini? “Mengapa kau seperti itu bang? Aku benci kau!” Seperti ini? “Huh? Itu seharusnya ucapanku! Kau memang tidak peka!” Atau seperti itukah?
“Hm, benar. Kau memang orang yang seperti itu ya?” Sial, pak tua ini tajam juga. “Padahal aku mengatakan yang sejujurnya pak,” dia kemudian menaruh pancingannya.
“Kau tahu, kau tidak jago mancing. Ikanmu saja baru dua,” mendengarnya juga seperti ini agak kesal juga ya. “Bagaimana?” Seperti biasa, dia kakek yang tajam. “Woy, kau baru saja mengejekku ya?” Dia bahkan tahu itu! Muka biasa kembali! “Woy, jangan tiba-tiba memasang muka datarmu!”
Kami berdua yang terus bertukar pikiran diberhentikan oleh suara adzan maghrib. “Kau tahu, bukannya kau tidak boleh berkata jujur, tetapi lihat situasi kondisinya lah. Kau pasti tidak akan memancing di sungai yang banyak orang mandi dan cuci baju. Mereka akan merasa risih dan kau tidak akan mendapatkan ikan. Keduanya pasti akan rugi di akhir hari.”
Benar juga, sih, apa yang dikatakan pak tua ini. Walaupun itu merupakan perilaku yang sudah jelas, tetapi aku sering melupakannya. “Kalau begitu tolong lepaskanlah aku,” ujarnya. Baiklah, aku rasa sudah waktunya. Aku kemudian menembakkan timah panas ke arah kepalanya dan juga ke mulutku.
“Hah!” Aku mencoba mengatur napasku. “Rasa capek ini sulit sekali dihilangkan,” napasku masih terengah-engah. Yosh, kali ini aku akan berhasil. “Seorang pemancing yang dinyatakan hilang dua hari yang lalu telah berhasil ditemukan. Jenazahnya ditemukan tersangkut di batang pohon yang hanyut. Polisi masih menyelidiki kasus ini.”
Aku rasa aku sudah muak dengan pekerjaan ini. Walaupun aku mendapatkan sesuatu dari mereka, namun apakah perbuatan ini etis?
Penulis Indonesiana.
0 Pengikut
Si Kucing yang Tiba-Tiba Sadar
5 hari laluSerahkan Semuanya
Selasa, 12 November 2024 14:02 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler