Pengen jadi Penulis meskipun Mamaku pengen aku jadi orang kantoran.

Jika Nanti Aku Atheis

Senin, 4 November 2024 09:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara sadar dengan kesadaran penuh aku harus menjaga baik-baik diriku.

***

Sudah berapa banyak doa yang ku panjatkan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah berapa banyak keinginanku yang kusampaikan?

Sudah berapa lama aku bersabar menunggu jawabannya?

Sudah berapa lama aku tahan banting dengan semuanya?

Mau sampai kapan aku diuji?

Aneh kurasa. Aku berdoa untuk siapapun dan mereka mendapatkannya.

Bagaimana denganku? Mudah bagiku untuk mewujudkan bagi mereka. Tapi kenapa aku malah sebaliknya?

Terkadang aku bertanya, apa yang salah dariku?

Kurang murni apalagi hatiku? Kujaga hatiku. Kupastikan aku tetap berada pada niat yang baik. Walau sesekali ingin ku membalas orang-orang itu.

Siapa yang ada untukku? Sedangkan aku selalu ada untuk mereka, siapapun itu. Rasanya tidak adil. Teriak pun tak ada gunanya, karna semua “tuli”.

Keahlian khusus apa yang aku miliki? Tapi kenapa harus aku? Aku juga ingin menjadi mereka. Di posisi mereka, kapan aku berada disana?

Lihatlah, bertahun-tahun berpisah ayahku tampak lebih bahagia daripada dia berada dibawah atap yang sama denganku. Ulah ibuku yang mungkin membuatnya tidak betah disini. Apa salahku? Bisakah kalian lebih tampak harmonis meski memutuskan untuk berpisah selamanya?

Sekarang ibuku ditanggung oleh abangku, mungkin sudah aman hidupnya di bumi? Bisa jadi, tapi entahlah aku kurang tahu soal itu. Lihat saja nanti ke depannya seperti apa. Dia tidak akur lagi dengan keluarga besarnya semenjak diusir dari rumah warisan. Kini mereka berbagi warisan dan itu penyebab perpecahan diantara mereka. Sudah tua harusnya saling menjaga bukan lagi memikirkan harta di dunia. Besok meninggal, emangnya itu semua dibawa? Tanyaku dalam hati merenung.

Semenjak kakak perempuanku sudah menikah, sudah pasti dia sibuk dengan kehidupan rumah tangganya. Kini aku tidak punya teman lagi. Walau berbagi mungkin masih bisa lewat pesan singkat. Nuansa berubah menjadi sendu. Kabut kemurungan berputar-putar di atas kepalaku. Hari-hariku lebih sering mendung.

Aku sendirian…

Aku dengan siapa pada akhirnya? Disaat semuanya memiliki seseorang yang berada disisi mereka masing-masing. Aku memandang dinding kamar tidurku setiap malam. Dinding itu terus membisu walau setiap malam aku ajak berbincang. Banyak coretan di kertas kosong setiap malam yang bertamu. Tapi tidak ada satu malam pun coretan kebahagiaan disana. Disimpan rapi sampai bertumpuk, kertas-kertas itu menjadi saksi. Dingin malam semakin terasa dingin tanpa pelukan seseorang. Semoga ada satu orang yang memelukku melalui doanya. Semoga saja. Tapi siapakah orangnya?

Hari Minggu bukan lagi menjadi hari teduh. Semua hari sama adanya, hari-hari dimana aku selalu ingin tiba-tiba hilang dalam tidurku. Walau sering menebak, kemana aku akan pergi jika nanti aku hilang?

Berdoa pun tidak lagi menjadi nafas. Karna sering merasa hampa tidak pernah ada jawaban. Lelah meminta, walau dulu sering meminta untuk kepentingan oranglain. Mereka dikabulkan sedangkan diri sendiri tidak. Salahnya dimana?

Siapa yang sebenarnya aku sembah? Pada siapa aku meminta? Aku terus berpikir. Sampai aku tidak sadar hati kecilku ku bungkam. Suara apapun yang berbisik disana, tidak selera lagi untuk mendengarkannya. Aku merasa semua sia-sia. Logika di atas segalanya.

Hidup perlahan kuarahkan pada semua yang berlandaskan logika. Kini aku tidak mudah lagi untuk ditaklukan. Dulu hatiku lembut, entah sekeras apa sekarang? Sulit didefenisikan karna kerasnya batu pun kalah. Acuh tak acuh. Hati kecil berbisik pun ku suruh diam.

Kalian penipu! Siapa lagi yang harus ku percaya?

Yang satu menjelaskan, mungkin ini dan itu. Yang satu lagi memberi pencerahan membacakan ayat-ayat ini itu yang sudah membuatku mulai muak.

Aku tidak lagi melipat tanganku. Aku tidak merasa bersalah lagi jika aku tidak menolong si anu. Karna itu terasa beban, dihantui resiko-resiko yang mungkin membuatku akan dicampakkan ke dalam api seperti kata mereka-mereka yang berdiri di atas mimbar setiap hari Minggu.

Sisi ini mungkin terlihat terlalu jelek dan tidak cukup baik. Tapi tidak semua diketahui mereka.

Salam untuk anggota keluarga yang telah mengajarkan banyak nilai-nilai baik spiritual tapi tidak sesuai dengan nilai tersebut. Kelak jika dipertanyakan, aku akan menjelaskan. Percaya atau tidak percaya pun tetap membuatku kesepian. Atau mungkin lebih merasa baik tanpa rasa khawatir dan cemas berlebihan setelah aku tidak perlu memikirkan antara taman indah pakai baju putih disana dan api yang membakar jiwa selamanya.

Secara sadar dengan kesadaran penuh aku harus menjaga baik-baik diriku.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Acha Hallatu

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Lo Memang Harus Pergi

Sabtu, 30 November 2024 09:21 WIB
img-content

Boboknya Jam 10 Ya Sayang

Jumat, 29 November 2024 20:37 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
Lihat semua