Pentingkah Definisi dan Kategorisasi dalam Fotografi?

Senin, 4 November 2024 13:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanpa definisi yang formal, akan tercipta banyak versi makna yang menjadikan segala sesuatu menjadi relatif dan subjektif. Pada titik tertentu, hal ini bisa mendatangkan kekacauan. Chaos.

***

Dalam beberapa hari belakangan, ramai di linimasa media sosial tentang street photography. Pemicunya adalah entri dari sebuah akun, berupa pernyataan (bisa juga dibilang manifesto, mungkin?) soal prinsip dan definisi street photography.

Akun tersebut saya ketahui belakangan dikelola oleh Widya Amrin, seorang street photographer yang saya kagumi karya-karyanya, dan banyak meraih penghargaan.

Inti dari pernyataan tersebut adalah menanggapi kegiatan street photography staging dari individu atau suatu entitas berupa lokakarya (workshop) yang kadang disponsori oleh sebuah perusahaan. Pernyataan tersebut berisi keberatan bila fotografi reka adegan (staging) dengan menggunakan model dinamakan street photography, hanya karena aktivitasnya dilakukan di jalanan.

Entri tersebut mengajak semua pihak untuk berkomitmen menjaga ekosistem street photography di Indonesia secara baik dan benar sesuai kaidahnya. Ada penekanan di bagian akhir pernyataan tersebut soal definisi street photography, yakni:  Kegiatan fotografi di ruang publik yang dilakukan secara natural, unposed, tanpa melakukan desain pengaturan, baik subjek foto maupun lingkungannya.

Pernyataan tersebut kemudian banyak mendapat tanggapan, dimuat ulang (repost) berkali-kali oleh rekan-rekan fotografer, dan menjadi bahan perbincangan di berbagai platform, salah satunya di Threads.

Namun, ada komentar yang membuat saya merasa perlu untuk menulis artikel ini. Ia datang dari fotografer jurnalistik senior yang juga saya hormati, yang memang kerap membuat pernyataan kontroversial, Arbain Rambey.

Dalam postingan berseri, fotografer dengan pengalaman segudang ini di antaranya mengatakan bahwa "Tidak ada definisi baku dalam fotografi. Anda memotret semut lalu bilang bahwa itu aerial photography, boleh-boleh saja. Bebas.”

Dalam postingan lain, fotografer kawakan yang selalu ceria ini mengatakan, “Fotografi adalah dunia yang belum punya pengendali definisi. Berbeda dengan Bahasa Indonesia yang punya KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), di mana setiap kata dan suku kata sudah punya aturan mainnya. Dalam fotografi, Anda tidak pernah memotret tapi bikin kartu nama sebagai Fotografer Profesional, boleh-boleh saja.”

***

Dua kutub pendapat ini, dalam pandangan saya, memiliki problemnya sendiri-sendiri.

Dalam seni visual termasuk fotografi, definisi bisa penting tapi tidak selalu diperlukan. Pentingnya tergantung pada konteks dan tujuan di balik karya seni tersebut. Tanpa batasan-batasan definisi, proses pembelajaran terhadap suatu subjek akan sangat sulit dilakukan.

Disukai atau tidak, definisi itu melekat pada segala sesuatu. Dari jendela filsafat, mendefinisikan sesuatu (subject, things) secara formal adalah hal yang kruisal agar manusia memahami, membedakan, dan menciptakan dialog yang bermakna (meaningful). Diskusi Plato soal “keadilan” dalam The Republic, maupun pembahasan Aristoteles soal “kategori” dalam  Metaphysics, sama-sama menekankan pentingnya definisi untuk memisahkan satu konsep dengan konsep lainnya untuk menghindari ambiguitas.

Definisi yang formal, meski tidak baku dan terus-menerus berkembang (ini akan saya bahas di paragraf selanjutnya) berfungsi untuk memberikan penjelasan yang akurat tentang apa itu sesuatu? Hal itu membantu para pemikir, pengamat, atau bahkan manusia biasa untuk memahami subjek-subjek yang kompleks. Bahkan, subjek yang non-kompleks pun perlu memiliki definisi untuk memudahkan proses mengenal, mengetahui, dan memahami (kognisi).

Pemberian definisi itu melibatkan proses identifikasi karakteristik yang esensial—tidak seluruhnya—sehingga memisahkannya dengan ide atau “sesuatu” yang lain, yang mungkin saling-silang (overlapping).

Ada beberapa alasan lain kenapa definisi itu bisa menjadi penting. Misalnya untuk mencapai konsistensi atau koherensi yang logis (logical consistency/coherence). Misal, dari sisi etika, istilah “baik” itu tidak terlalu jelas definisinya. Seorang koruptor tetap bisa dibilang sebagai orang baik oleh keluarganya, misalnya, karena dia bertanggung jawab kepada keluarga, sayang terhadap anak-istrinya, dan seterusnya. Tetapi, bagi masyarakat luas, tentu ia tidak bisa dibilang sebagai orang baik. Pada titik ini, dibutuhkan definisi untuk bisa memilah konsep dan interpretasi terhadap istilah “baik” agar tidak menghasilkan kesimpulan yang “cacat”.

Tapi definisi yang formal, akan tercipta banyak versi makna yang menjadikan segala sesuatu menjadi relatif dan subyektif. Pada titik tertentu, hal ini bisa mendatangkan kekacauan. Chaos. Itulah kenapa, dalam hukum, setiap terminologi mesti dijelaskan dengan sejelas-jelasnya agar tidak multi-interpretatif sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Dalam konteks ini, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh akun Unposed Street di atas. Ia berusaha memisahkan konsep, “sesuatu,” yang bernama street photography agar kembali kepada definisinya (atau kaidahnya).

Persoalannya, apakah definisi tersebut sudah baku, selesai, dan disepakati (sebagaimana banyak definisi dalam sains atau hukum), atau masih terbuka ruang-ruang untuk interpretasi yang lebih luas?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, mengingat fotografi adalah bagian dari seni visual yang memang multi-interpretatif sedari lahir. Dan, di titik ini pula perdebatan yang tak kunjung usai terjadi.

Titik pijak paling mudah—walaupun sebenarnya sulit juga—adalah merunut kapan dan bagaimana istilah street photography muncul. Ini saja tidak ada yang bisa memastikan. Terminologinya secara eksak tidak bisa dikaitkan dengan individu tertentu.

Namun, tema dan gaya (pendekatan, genrestylistic) yang dibayangkan oleh sebagian orang akan street photography terkait erat dengan karya-karya para fotografer Eropa macam Henry Cartier-Bresson dan Brassaï, atau fotografer Amerika, Robert Frank, yang berperan dalam meneguhkan pendekatan ini pada linimasa budaya fotografi dunia. Meski, pada kenyataannya, tidak ada satu pun dari mereka yang menyebut diri sebagai street photographer. Gary Winogrand bahkan membenci terminologi street photographyPadahal, karya foto dan metodenya “street banget.

Ada beberapa karakteristik esensial dari karya-karya mereka yang di kemudian hari membuat orang memberikan label street photography: ruang publik, spontanitas, gestur, gerak isyarat atau bahasa tubuh, dan ekspresi. Entah secara sadar atau tidak, karakteristik ini kemudian dijadikan kriteria umum bagi istilah street photography.

Pertanyaannya, apakah seluruh kriteria tersebut wajib dimiliki oleh sebuah foto untuk sah dikatakan sebagai street photography, atau sebagiannya, atau bagaimana? Atau, apakah ada syarat mutlak dan syarat opsional? Siapa yang berhak menentukan?

Kamus Merriam-Webster bahkan tidak memiliki definisi atas street photography. Bandingkan, misalnya, dengan astrophotography atau aerial photography. Secara formal, kedua genre tersebut memang memiliki definisi sendiri. Street photography? Tidak ada, tuh.

Pada titik ini, manifesto Unposed Street menjadi bermasalah. Ia seakan-akan memonopoli definisi.

Jika ada foto orang diambil secara spontan di ruang publik, tapi orang tersebut sadar dan pada akhirnya berpose untuk kita, apakah tetap layak disebut street photography, misalnya foto karya Joel Sternfeld yang saya jadikan pembuka artikel? Ingat, Sternfeld juga banyak dikaitkan dengan pembahasan street photography.

Pertanyaan yang lebih sulit: jika kebetulan saya melewati lokasi kegiatan memotret model tersebut, kemudian secara spontan saya ikut memotret, apakah foto saya boleh disebut sebagai karya street photography? Bukankah syarat spontan, tak berpose (sang model tidak berpose untuk saya, ia berpose untuk peserta kegiatan), di ruang publik, sudah terpenuhi?

Hal yang juga agak berlebihan dari manifesto tersebut adalah soal keterancaman ekosistem street photography Indonesia. Apa iya, jika aktivitas stage street seperti itu terus dilakukan bakal mengancam keberlangsungan dan perkembangan street photography? Saya ragu.

***

Pada spektrum ekstrem yang lain, pernyataan Arbain bahwa, “Anda memotret semut lalu bilang bahwa itu aerial photography, boleh-boleh saja. Bebas,” juga mengandung cacat logika yang serius.

Pertama, seperti sudah saya tulis di atas, aerial photography memiliki definisi formal. Menyatakan bahwa foto semut sebagai aerial photography adalah false statement, meski setiap orang boleh mengklaim semau dia. “Bebas” sebagai klaim individu boleh (dan ini tidak sepatutnya dibahas dalam diskusi mengenai fotografi), tetapi ia tidak bisa bebas dalam proses pengkaryaan dan analisis wacana.

Katakanlah, misalnya, Arbain menjadi juri kontes foto bertema aerial photography. Foto semut, bagaimanapun bagusnya, dengan tingkat kesulitan yang tinggi, tidak akan memenangkan lomba, bukan? Meski sang fotografer berbusa-busa mengklaim fotonya sebagai aerial.

Lucunya, dalam posting lain, Arbain bahkan bersikap mendua dan menegasikan argumentasinya sendiri dengan mengelompokkan (dan dengan begitu, mendefinisikan) fotografi menjadi tiga genre besar: Apa, Di Mana (street photography menurutnya masuk kategori ini), dan Bagaimana.

Meski demikian, ada poin-poin dalam posting-posting Arbain di media sosial yang menurut saya cukup valid. Misal, pendapatnya soal “memotret melawan pakem” agar fotografi tidak diam di tempat. Itu bagus untuk perkembangan dunia fotografi.

***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Firman Firdaus

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler