Sejarah Panjang Terusan Suez dan Signifikansinya bagi Mesir

Selasa, 5 November 2024 09:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terusan Suez menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah, memainkan peran penting dalam perdagangan global. Artikel ini mengulas sejarahnya, dari ide kuno, krisis 1956, hingga perluasan modern yang meningkatkan kapasitas dan pendapatan Mesir.

***

Terusan Suez adalah jalur air buatan yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah, dirancang untuk mempercepat lalu lintas perdagangan antara Eropa dan Asia tanpa harus mengelilingi Afrika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wacana Pertama Kali

Para Sejarawan sepakat bahwa Firaun Senausert III adalah orang pertama yang memunculkan wacana menghubungkan Laut Merah dengan Mediterania. Hal ini bertujuan memajukan perdagangan dan komunikasi antara Timur dan Barat. Konsep awalnya kapal-kapal yang datang dari mediterania berlayar melalui Sungai Nil secara berliku-liku hingga sampai ke Laut Merah melalui Danau Pahit (The Great Bitter Lakes). 

Pembangunan Terusan Suez (1859-1869)

Meski Ide pertama untuk jalur ini muncul pada zaman Mesir kuno, tetapi proyek modernnya dimulai dengan penggalian pertama pada 25 April 1859. Terusan ini dirancang dan dibangun di bawah kepemimpinan insinyur Prancis, Ferdinand de Lesseps, dan selesai dalam waktu 10 tahun pada 18 Agustus 1869.

Sebanyak 74 juta  tanah digali, dan biaya pelaksanaannya mencapai 433 juta Franc (17.320.000 Pound Mesir); yang merupakan dua kali lipat dari biaya yang dihitung pada awalnya. Jalur yang terbentuk sepanjang 193 kilometer dan menjadi jalur maritim paling strategis pada zamannya, memberi akses yang lebih cepat untuk kapal-kapal dagang dari berbagai negara.

Konvensi Konstatinopel (1888)

Ini adalah perjanjian internasional yang mengatur status Terusan Suez, sebuah jalur penting yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah. Perjanjian ini disepakati oleh beberapa kekuatan besar dunia pada waktu itu, termasuk Inggris, Prancis, Kekaisaran Ottoman, Jerman, Rusia, Austria-Hungaria, dan Italia. Tujuan utama konvensi ini adalah untuk menjamin akses bebas bagi semua kapal, baik militer maupun sipil, dari semua negara melalui Terusan Suez selama masa damai maupun perang.

Isi utama Konvensi Konstantinopel mencakup hal-hal berikut:

  1. Kebebasan Navigasi: Terusan Suez akan tetap terbuka untuk navigasi oleh kapal dari semua bangsa tanpa diskriminasi. Jalur ini dianggap sebagai jalur yang netral, dan tidak boleh ditutup untuk kepentingan apapun, baik saat damai maupun perang.
  2. Netralitas Terusan: Pihak-pihak dalam perjanjian setuju bahwa Terusan Suez akan berada di bawah perlindungan status netral, dan setiap negara dilarang menggunakan kekerasan atau melakukan tindakan militer yang mengancam navigasi di jalur tersebut.
  3. Kepemilikan dan Pengelolaan Terusan: Meskipun terletak di bawah wilayah Mesir (saat itu dalam kendali Ottoman), Terusan Suez dikelola oleh Compagnie Universelle du Canal Maritime de Suez, perusahaan yang didirikan oleh insinyur Prancis Ferdinand de Lesseps. Namun, konvensi ini menegaskan bahwa hak pengelolaan harus sejalan dengan prinsip-prinsip netralitas dan kebebasan navigasi.

Konvensi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum internasional karena menjadikan Terusan Suez sebagai wilayah dengan kepentingan strategis global yang harus tetap netral. Meski begitu, konvensi ini tidak selalu diikuti dalam praktiknya, terutama ketika Inggris mengambil alih kendali penuh atas Terusan Suez setelah pendudukan Mesir pada tahun 1882.

Krisis dan Nasionalisasi (1956)

Pada 6 Juli 1956, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez sebagai bagian dari langkah Mesir untuk mengendalikan kekayaan nasional dan mendanai pembangunan Bendungan Aswan.

Langkah ini memicu Krisis Suez, respons atas keputusan AS dan Inggris yang membatalkan pendanaan pembangunan Bendungan Aswan di Sungai Nil. Tidak hanya itu nasionalisasi Terusan Suez menyebabkan Inggris, Prancis, dan Israel melakukan invasi ke Mesir.

Ditengah berlangsungnya Perang Dingin membuat dua negara adidaya AS dan Uni Soviet ikut campur. Presiden AS Dwight D. Eisenhower mengutuk serangan tersebut dan mengancam akan memberikan sanksi ekonomi kepada Inggris jika mereka tidak menarik diri. Uni Soviet juga mengancam akan mengambil tindakan militer untuk membantu Mesir.

Di bawah tekanan internasional, terutama dari AS dan PBB, Inggris, Prancis, dan Israel akhirnya setuju untuk mundur. Pada 6 November 1956, PBB memberlakukan gencatan senjata, dan Pasukan Darurat PBB (UNEF) dikerahkan untuk memelihara perdamaian di wilayah tersebut.

Alhasil Mesir berhasil mendapat pengakuan internasional atas kepemilikan Terusan Suez. Sedangkan pengaruh Inggris dan Perancis semakin menurun di wilayah tersebut digantikan oleh AS dan Uni Soviet sebagai kekuatan baru di Timur Tengah.

Setelah nasionalisasi Terusan Suez, Mesir mengambil alih sepenuhnya pengelolaan terusan ini, yang menjadi sumber pendapatan penting bagi negara tersebut. Mesir membentuk Suez Canal Authority (Otoritas Terusan Suez) untuk mengelola, mengoperasikan, dan mengembangkan terusan. Pendapatan dari Terusan Suez memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Mesir, terutama dari biaya transit kapal-kapal yang melintasinya.

Penutupan Terusan Suez (1967–1975)

Akibat Perang Enam Hari pada tahun 1967, di mana Israel berhasil menduduki Semenanjung Sinai, Terusan Suez ditutup selama delapan tahun, dari 1967 hingga 1975. Penutupan ini berdampak besar pada perdagangan internasional, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada jalur perdagangan ini untuk mengangkut minyak dan komoditas lainnya. Penutupan Terusan Suez memaksa kapal-kapal untuk berlayar mengelilingi Tanjung Harapan di Afrika Selatan, yang meningkatkan waktu dan biaya transportasi.

Setelah Perjanjian Disengagement Mesir-Israel yang difasilitasi oleh PBB pada tahun 1974, Terusan Suez dibuka kembali pada 1975. Mesir melancarkan upaya besar-besaran untuk membersihkan dan memperbaiki infrastruktur terusan yang rusak akibat konflik. Presiden Mesir Anwar Sadat melihat pembukaan kembali terusan ini sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki hubungan Mesir dengan dunia internasional dan meningkatkan ekonomi domestik.

Proyek Pelebaran Terusan Suez Baru (2014–2015)

Pada 2014, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi meluncurkan proyek besar untuk memperluas Terusan Suez dengan membangun jalur baru yang sejajar dengan bagian terusan yang sudah ada. Proyek ini selesai pada tahun 2015, menambah panjang jalur yang bisa dilewati kapal dua arah sekaligus. Jalur tambahan ini mempercepat waktu transit kapal, meningkatkan kapasitas terusan, dan membantu meningkatkan pendapatan Mesir dari jalur perdagangan tersebut.

Signifikansi dan Dampak Ekonomi

Hingga kini, Terusan Suez merupakan salah satu jalur maritim tersibuk yang menghubungkan Eropa, Timur Tengah, dan Asia dengan sekitar 12% dari perdagangan maritim global melewatinya. Jalur ini memungkinkan penghematan waktu dan biaya yang signifikan dalam perdagangan global, dan pendapatan dari terusan ini menjadi sumber penting bagi ekonomi Mesir. Dengan peran strategisnya, Terusan Suez tidak hanya berdampak pada Mesir tetapi juga pada perdagangan dan hubungan geopolitik di seluruh dunia.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler