Mengapa Aktivitas Membaca Perlu Dipublik di Sosial Media?
Selasa, 5 November 2024 09:42 WIB
Iklan
Menjawab tuduhan pamer, ketika kita memposting aktivitas membaca.
***
"Kenapa sih, membaca buku pake dipost segala. Pamer? Baca tinggal baca aja, kek!"
Bagaimana jika pertanyaan itu ditujukan ke kamu? Bagaimana kamu menjawab? Kalau saya pribadi, tentu akan menyangsikan pertanyaan tersebut. Apakah dengan mem-post aktivitas membaca kita, hanya semata bertujuan pamer?
Bagaimana jika pertanyaan itu ditujukan ke kamu? Bagaimana kamu menjawab? Kalau saya pribadi, tentu akan menyangsikan pertanyaan tersebut. Apakah dengan mem-post aktivitas membaca kita, hanya semata bertujuan pamer?
Bagi saya tidak semacam itu juga. Kita mem-post aktivitas baca, agar setidaknya orang paham membaca dan bergulat di dunia literasi itu bukan hal istimewa, tetapi sebuah kewajaran. Setiap yang berkepala pun seharusnya semacam itu; memiliki hak untuk mengenal dunia. tanpa pandang prediket sosial. Semua! Tanpa kecuali!
Acapkali, Mereka yang berteman dengan buku adalah mereka yang berjalan di kesunyian dan merasa sendiri. Dengan kita mempublik aktivitas baca, mereka tidak lagi beranggapan bahwa dirinya sendirian. Banyak kaki dan sepasang mata yang ternyata sama dengannya: sama-sama memandang sayu kepalan alenia yang membawa pelbagai serpihan Logos. Lalu di mana salahnya?
Ada yang berceletuk, "Alah, itu dalih halus untuk social climber!" Sudah dikatakan di awal, bahwa membaca bukan hal istimewa. Itu Adalah keniscayaan imperatif. Lantas bagaimana bisa hal itu disebut panjat sosial? Kita tidak membidik goal yang dituduhkan tersebut. Satu-satunya hal yang dibidik adalah consciousness: the state of being aware of oneself and the world around one.
Saya termasuk salah satu yang menyakini bahwa bodoh itu dosa, dan bertahan memikul kebodohan adalah bencana. Berhenti membaca dan berhenti mengampanyekan membaca, sama dengan bertahan memikul kebodohan. Demikian, semata asumsi saya. Tidak absolut, tidak pula untuk dinabikan.
Satu hal yang kita semua tahu, kebodohan kerap menjadi dalih untuk membatasi diri dan menormalkan aksi kebiadaban. Itulah letak dosanya dan ironi yang sesungguhnya. Untuk itu, jika boleh, mari bersama coba renungi klausa-klausa dalam Yoga Vasishtha (5.59):
Ada yang berceletuk, "Alah, itu dalih halus untuk social climber!" Sudah dikatakan di awal, bahwa membaca bukan hal istimewa. Itu Adalah keniscayaan imperatif. Lantas bagaimana bisa hal itu disebut panjat sosial? Kita tidak membidik goal yang dituduhkan tersebut. Satu-satunya hal yang dibidik adalah consciousness: the state of being aware of oneself and the world around one.
Saya termasuk salah satu yang menyakini bahwa bodoh itu dosa, dan bertahan memikul kebodohan adalah bencana. Berhenti membaca dan berhenti mengampanyekan membaca, sama dengan bertahan memikul kebodohan. Demikian, semata asumsi saya. Tidak absolut, tidak pula untuk dinabikan.
Satu hal yang kita semua tahu, kebodohan kerap menjadi dalih untuk membatasi diri dan menormalkan aksi kebiadaban. Itulah letak dosanya dan ironi yang sesungguhnya. Untuk itu, jika boleh, mari bersama coba renungi klausa-klausa dalam Yoga Vasishtha (5.59):
"Aku adalah Diri yang tak terbatas, karena Diri ini tidak memiliki batas. Itulah keindahan dalam segala hal, itulah cahaya dari segala hal."
Tampaknya memang agak naif isi klausa tersebut, bila dipahami dari sudut pesimistis. Tapi beda cerita bila dipahami dari sudut furististik. Alih-alih, justru dapat mendorong kita menjadi agen will to power; yang berkehendak, yang berkesadaran!
Tampaknya memang agak naif isi klausa tersebut, bila dipahami dari sudut pesimistis. Tapi beda cerita bila dipahami dari sudut furististik. Alih-alih, justru dapat mendorong kita menjadi agen will to power; yang berkehendak, yang berkesadaran!
Kampanye Membaca, kok, Kalah dengan Kampanye politik?
Secara statistik memang betul adanya, kampanye politik terbilang memakan dana yang besar. Menurut Elih Delilah dan rekan-rekannya dalam Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada (INTEGRITAS: 2019), dana untuk kampanye politik rata-rata hampir di atas Rp 10 miliar. Belum lagi tambahan dari sumbangan perusahaan tertentu yang menjadi donatur paslon. Fantastis.
Kendati begitu yang akan kita sorot bukan di persoalan dana. Saya kurang tahu apakah itu berpengaruh terhadap antusiasme masyarakat dalam berkampanye membaca yang berdanding balik dengan antusiame kampanye politik. Tapi Hemat saya berpengaruh.
Kita sadari, paradigma masayarat kita adalah masyarakat yang belum dewasa; masyarakat yang baru bergerak jika disokong dengan uang, termasuk dalam urusan politik. Pertanyaannya, apakah perlu dengan pola serupa dalam menggerakkan masa supaya membaca dan mengampanyekan membaca? Naif sekali.
Kalau pun bila kita bisa mengandai-andai, membuat sebuah simulakra ekstrem. Begini, setiap orang diberi uang supaya mau membaca dan berkampanye membaca, sepertinya juga nihil bahkan dianggap biadab secara etik. Mereka tidak bergerak dengan kesadaran mereka masing-masing. Melainkan karena iming-iming kartal.
Ini akan menjadi sebuah paradox tersendiri. Secara, Kampanye membaca bertujuan supaya manusia bisa memiliki kecintaan terhadap membaca, agar bisa menjadi pribadi unggul yang humanis dan bermoral. Bukan menjadi pribadi yang bisa diperbudak oleh uang.
Kondisi demikian seketika saya terbayang masyarakat paltologis atau masyarakat sakit. Persis seperti realitas di tempat kita hidup saat ini. Andai saja, kampanye membaca semasif kampanye politik, uh, tersenyum bumi putera ini. Bukankah begitu?
[Faidhumi-Dimensilain]
Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Mengapa Aktivitas Membaca Perlu Dipublik di Sosial Media?
Selasa, 5 November 2024 09:42 WIBAlasan Mengapa Kita Yakin Cara Pandang Kita terhadap Dunia Paling Benar, Selain karena Goblog!
Senin, 14 Oktober 2024 06:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler