Di Lembah Kehidupan

Selasa, 5 November 2024 09:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tuhan, takkan pernah tidur dalam meliput kehiduapan ini ...

***

Maghrib mulai menapak seiring dengan mentari membenamkan dirinya menuju ke peraduan. Saat itulah seorang lelaki dengan postur tubuh yang tidak gemuk dan tidak pula kurus, mengakhiri pekerjaan sehari-harinya.

"Ayah, sudah maghrib. Tuh, terdengar suara azan dari masjid. Istirahat, yah. Masih ada hari esok, koq ..."  kata si Jago memohon kepada ayahnya.

"Iya, nak, semoga esok masih ada dan Tuhan masih memberi kesempatan kepada kita," sahut si Marbun sembari menuju kamar mandi.

"Ya, begitu itu ayahmu, Jago. Kalau tak diingatkan bisa-bisa lalai, lupa waktu hingga suara azan dari masjid kampung yang cukup jelas terdengar itu, tak sampai tertangkap oleh pendengaran ayahmu, sangking fokusnya terhadap pekerjaan," kata Pussa, ibu si Jago.

"Benar, bu. Begitu setianya ayah terhadap pekerjaannya, telaten, dan ulet. Kadang, Jago punya rasa kasihan sama ayah, dan pingin sekali rasanya bisa membantu untuk meringankan pekerjaan ayah ..." timpal si Jago.

"Sudahlah, kamu cukup fokus dengan sekolahmu saja. Tahun depan kamu harus masuk SMA atau SMK. Sementara, adikmu, Riska, pun harus masuk SMP. Biarlah ibu dan ayah yang menjalankan tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dalam menjaga dan memelihara keutuhan keluarga kita, jangan sampai terbengkelai," sahut Pussa dengan lembutnya memberikan pengertian kepada si Sulung, Jago.

"Adik kemana, bu, koq tidak kelihatan?" tanya si Jago.

"Oh, iya, bangunkan! Kelelahan rupanya. Tadi, pulang sekolahnya pas sore hari, karena ada pelajaran ekstra," perintah Pussa kepada si Jago.

"Baik, bu ..." jawab si Jago singkat.

Pussa segera  bergegas menuju kamar mandi, menyusul beriringan dengan sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Koq, hingga maghrib, bu kamu baru pulang dari tetangga sebelah?" tanya si Marbun.

"Iya, yah, tamu bu Maryam sangat banyak, datang dan pergi silih beganti seperti tiada henti. Jelang maghrib tamu yang bertakziah baru reda. Saya sungkan mau meninggalkan bu Maryam sendirian. Anak-anak bu Maryam diperkirakan besok pagi baru bisa tiba. Anak-anaknya kan berada di luar pulau semua?" jawab Pussa kepada sang suami yang nampak segar bugar setelah membersihkan badan.

"Iya, gak apa-apa, bu. Itulah pentingnya bertetangga, apalagi terhadap tetangga yang sedang berduka," tukas Marbun sembari menuju kamar.

Waktu pun berlalu, dan telah menunjukkan pukul 20.30. Seperti biasanya, usai makan malam, Marbun selalu menyempatkan diri membaca buku agar tak ketinggalan dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan. Sementara, Pussa telah lelap dalam tidurnya. Jago dan Riska, keduanya sama-sama belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi pelajaran besok.

Bagi Marbun, bekerja sebagai pemulung adalah pilihan yang harus ditempuh dan dijalani. Semua demi mempertahankan hidup dalam berbagai situasi dan kondisi, apalagi setelah di-PHK dari perusahaan tempat dirinya dulu berkarir sebagai teknisi, mengalami kebangkrutan. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih.

Marbun pun berimprovisasi dalam menghadapi realitas kehidupan ekonominya. Sebagian pesangon dari perusahaan, ia tabung. Sebagian lainnya, digunakan untuk modal dalam memulai alih profesi sebagai pemulung. Mulai dari pengadaan gerobak becak motor atau bentor, tempat semacam gudang untuk menampung barang-barang hasil memulung, serta peralatan dan perlengkapan lainnya guna menunjang pekerjaannya sebagai pemulung.

Marbun sangat bersyukur, karena begitu dirinya terkena PHK, tak sampai jadi pengangguran terlalu lama. Sebab, dirinya sudah siap untuk melakukan lompatan pekerjaan pasca di-PHK dari perusahaannya. Yakni, mengambil keputusan untuk berprofesi sebagai pemulung yang tak membutuhkan surat permohonan lamaran pekerjaan apabila ingin bekerja di perusahaan lain.

Sebidang tanah seluas kurang lebih seratus meter persegi milik kakak lelakinya yang terletak di belakang persis rumahnya, dimanfaatkan sebagai gudang penampungan barang-barang ronggsokan hasil dari memulung. Bahkan, dalam perjalanan Marbun melakoni sebagai pemulung, tanah yang dimanfaatkan untuk gudang penampungan barang itu oleh kakaknya dihibahkan kepada dirinya.

"Alhamdulillah, puji Tuhan ... Nikmat apa lagi yang hendak saya dustakan, ya Tuhan?" senandung Marbun lirih.

Kakak Marbun bertempat tinggal di kampung tetangga yang masih dalam satu wilayah kecamatan dengan tempat tinggalnya, nampaknya menyadari terhadap nasib Marbun setelah terkena PHK. Oleh karenanya, tanah miliknya itu pada akhirnya langsung dihibahkan kepada Marbun dengan harapan agar Marbun ke depannya sudah tak perlu ribet memikirkan lagi soal tempat permanen untuk menampung barang rongsokan yang menjadi bagian sehari-hari yang digeluti Marbun sebagai pemulung.

Waktu terus berjalan. Seiring itu pula, setelah dua tahun perjalanan Marbun menggeluti pekerjaan sebagai pemulung, kakak Marbun wafat akibat serangan jantung. Almarhum kakak Marbun, Sayuti, meninggalkan seorang istri dan dua anak lelaki dewasa yang keduanya sudah pada berumah tangga. Anak yang pertama dengan dua anak, anak yang kedua dengan satu anak. Kehidupan ekonomi mereka boleh dibilang pada mapan semua. Kedua anak almarhum hidup berumah tangga mandiri dengan statusnya sebagai karyawan BUMN ternama di negeri ini.

Marbun tak menyangka dan tak mengira bila pada suatu ketika harus berhadapan dengan ahli waris almarhum Sayuti, yakni istri dan kedua anak lelaki almarhum. Datang bertamu ke rumah Marbun, menyoal terhadap tanah pekarangan di belakang rumah yang telah dimanfaatkan oleh Marbun sebagai tempat penampungan barang-barang rongsokan yang didapatkan dari hasil memulung.

Inti kedatangan para ahli waris almarhum Sayuti ke rumah Marbun adalah berupaya untuk mengambil alih tanah seluas seratus meter persegi itu yang pada prinsipnya telah dihibahkan kepada Marbun oleh almarhum Sayuti yang merupakan saudara kandung Marbun.

Marbun menjadi tak habis pikir terhadap sikap istri dan kedua anak almarhum kakaknya itu. Karena apa? Bukankah secara ekonomi mereka terbilang mapan, dan tidak berkekurangan suatu apapun? Terhadap istrinya pun demikian pula, meninggalnya Sayuti, setidak-tidaknya masih meneteskan uang pensiunan sebagai direktur utama sebuah BUMN. Tidak cukupkah bagi istri almarhum Sayuti pendapatan yang diperoleh dari dana pensiun mendiang suaminya dalam menutupi kebutuhan hidup sehari-hari dirinya yang hanya seorang diri itu? Marbun tak habis pikir dan tak habis pikir ketika harus menghadapi tiga sosok yang merupakan kakak ipar dan sang keponakan sendiri.

Salahkah diri seorang Marbun menjadi penerima hibah dari penghibah yang merupakan saudara kandungnya sendiri? Dan, salahkah pula mendiang Sayuti menghibahkan tanah miliknya sendiri kepada adik kandungnya yang memang nyata sedang terlilit persoalan ekonomi saat itu? Lalu, apa urusannya terhadap sejengkal tanah yang telah dihibahkan kepada diri Marbun itu dengan para ahli waris  mendiang Sayuti?

"Baiklah, bila itu yang menjadi niatan dan kehendak kalian sebagai ahli waris yang sah dari mendiang mas Sayuti, dan kali ini mendatangi saya, menyoal tanah yang telah dihibahkan kepada saya dengan bukti berupa selembar surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai oleh mendiang sendiri semasa hidupnya, dua tahun yang lalu," kata Marbun dengan tenang dan tegas tanpa harus bersuara dalam nada tinggi kepada para ahli waris mendiang Sayuti.

"Masalahnya begini, paman. Kalaupun tanah itu telah dihibahkan kepada paman Marbun, kenapa koq tidak diaktakan dan sekaligus dibalik nama menjadi atas nama paman Marbun? Kemudian, kenapa pula sertifikatnya masih ada pada kami, dan tidak diserahkan kepada paman Marbun oleh papa Sayuti saat itu juga, begitu dihibahkan kepada paman?" kata anak sulung mendiang Sayuti.

"Sudahlah, saya tak ingin berdebat dengan kalian semua. Sebab, ini sebenarnya soal yang sederhana dan gamblang. Mendiang mas Sayuti sampai tidak sempat menyerahkan sertifikat tanah itu kepada saya, mungkin saja lantaran kesibukan beliau saat itu sebagai pimpinan perusahaan milik negara yang kalian telah paham semua bagaimana super sibuknya beliau saat masih hidup sebagai direktur utama. Kedua, sayapun tak sempat berpikir untuk mengaktabibahkan tanah itu menjadi atas nama saya saat itu juga, karena memang saat itu saya masih tak begitu membutuhkan dan masih aktif-produktif sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta. Nah, pertanyaan saya, ada rencana apa kalian terhadap tanah itu?" jawab Marbun lugas.

"Kami ingin mejualnya. Lumayan nominalnya lho, paman? Hitung-hitung bisa untuk nambah anggaran belanja mama sejak ditinggal pergi papa ke alam kubur. Itu saja, paman, kenapa kami bertiga mendatangi paman kali ini," jawab si Sulung mewakili para ahli waris mendiang Sayuti dengan entengnya.

"Baiklah, bagimana bila saya beli sendiri sesuai dengan harga beli saat itu? Tanah itu dulunya dibeli oleh mendiang seharga lima puluh juta rupiah, begitu mendiang saya tawari dari pemilik asalnya. Sebenarnya, pemilik asal  saat itu berharap kepada saya untuk berkenan membelinya, namun saya masih belum punya uang sejumlah itu, sehingga pada akhirnya jatuh ke tangan mendiang. Begitu tawaran saya dan historinya terhadap tanah itu. Sekali lagi bagaimana menurut kalian?" kata Marbun dengan tenangnya dan  dengan gamblangnya.

"Baiklah, sepakat, paman ..." kata si Sulung singkat, sembari memandang ke arah raut ibu dan adiknya.

"Sertifikatnya kalian tahan dulu, dan saya minta nomor rekeningnya mbakyu. Besok segera saya transfer ke rekening mbakyu nominal sejumlah yang kita sepakati hari ini ..." kata Marbun berlapang dada.

"Manusia memang aneh. Bisa saja secara biologis antara mendiang Sayuti maupun kedua anaknya memiliki ikatan persaudaran dan kekerabatan sedarah dengan diri Marbun. Namun, manakala dihadapkan pada soal harta warisan, ikatan persaudaraan dan kekerabatan itu menjadi sirna seketika akibat dorongan yang lebih mengedepankan nafsu ketimbang nalar sehat," pikir Marbun usai memenuhi tuntutan dari para ahli waris saudara sekandung, sedarah sedaging dengan diri Marbun yang baru dua tahun menjalani karirnya sebagai sang pemulung.

"Di lembah kehidupan ini, aku harus menghadapi kenyataan dengan pikiran jernih dan terbuka. Getir, pahit, dan manis selalu terpampang di depan mata. Dan, semuanya harus dihadapi, tak usah dihindari, apalagi dipungkiri. Karena sesungguhnya Tuhan takkan pernah tidur dalam meliput kehidupan ini. Yakinlah aku hingga saat ini, dan akan selalu kubawa keyakinanku ini hingga ajal menjemputku suatu hari nanti ..." ucap batin si Marbun. 

*****

Kota Malang, Novenber di hari kelima, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

1 Pengikut

img-content

Politik Uang, Uang Politik

Minggu, 1 Desember 2024 07:09 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
Lihat semua