KPU Goes to Campus, Ikhtiar Memperbanyak Smart Voters
Rabu, 6 November 2024 17:58 WIBArtikel ini mengulas program KPU Goes to Campus sebagai salah satu ikhtiar untuk menumbuhkan para pemilih cerdas di kalangan mahasiswa
***
Akhir Oktober lalu saya diminta kawan-kawan KPU Tangerang Selatan (Tangsel) untuk membantu memberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada para mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten (STIKBA). Sekitar seratusan mahasiswa (sebagian besar perempuan) hadir dan cukup antusias mengikuti kegiatan bertajuk KPU Tangsel Goes to Campus ini.
KPU Goes to Campus (dan Goes to School) merupakan program andalan KPU RI untuk mendorong partisipasi pemilih, khususnya kalangan generasi muda atau pemilih pemula (mahasiswa dan pelajar). Pun demikian yang diselenggarakan oleh KPU Tangsel bersama STIKBA. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran elektoral para mahasiswa sehingga mampu mendorong mereka untuk berperan serta secara aktif dalam Pemilu, setidaknya dengan menggunakan hak suaranya pada hari dan tanggal pemungutan suara Pilkada 27 November nanti.
Bagi saya sendiri, sosialisasi dan pendidikan pemilih Pilkada di perguruan tinggi tentu lebih dari sekedar menginformasikan soal-soal adiministrasi dan menjelaskan aspek-aspek teknikalitas kepemiluan. Misalnya ada berapa pasangan kandidat di daerahnya, berapa surat suara yang akan diterima setiap pemilih pada Pilkada serentak ini, bagaimana cara menggunakan hak pilih di bilik suara dan aspek-aspek teknikalitas lainnya.
Sosialisasi dan pendidikan pemilih di kalangan mahasiswa harus lebih dari itu. Baik metode yang digunakan maupun muatan materinya. Metode tentu harus bersifat dialogis yang dapat menstimulus lahirnya suasana diskursif yang kritis dan mendalam.
Sementara muatan materinya, selain berisi informasi-informasi kepemiluan, penting pula kepada mahasiswa diberikan wawasan politik elektoral yang lebih komprehensif. Wawasan yang dapat menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa sebagai bagian dari kalangan intelektual yang secara moral dituntut untuk memiliki civic skill dan political skill serta keberanian mengartikulasikan aspirasi publik dan nilai-nilai idealisme. Sekaligus sebaliknya, keberanian mengoreksi setiap bentuk penyimpangan dan kecurangan yang dapat mencederai perhelatan Pilkada.
Karena alasan itulah, kepada para calon tenaga kesehatan dan bidan itu saya sampaikan isu-isu penting yang bukan hanya diharapkan dapat mendorong mereka mau datang ke TPS dan memberikan suaranya dengan benar. Melainkan datang ke TPS dengan bekal literasi Pilkada yang memadai agar partisipasi mereka menjadi partisipasi yang bermakna, meaningful participation.
Sementara itu, jauh sebelum memberikan suara, masih cukup waktu bagi mereka untuk secara partisipatif ikut mendorong masyarakat pemilih (setidaknya di lingkungan-lingkungan terbatas seperti keluarga, pertemanan, atau komunitas) mau menjadi smart voters, para pemilih cerdas di perhelatan Pilkada serentak ini.
Smart Voters
Nah, terkait para pemilih cerdas ini, ada satu tesis sederhana di kalangan ahli dan pegiat Pemilu. Bahwa pemimpin yang baik hanya akan lahir dari pilihan para pemilih yang baik. Jadi, jangan berharap suatu daerah bisa mendapatkan para pemimpin yang baik meski Pilkada sudah dilakukan berulang kali jika para pemilihnya sendiri masih betah berada di level illiterate sebagai pemilih, tak melek dan tak cerdas sebagai pemilih.
Maka kepada para mahasiswa peserta KPU Tangsel Goes to Campus ini saya tegaskan. Bahwa pemilih cerdas merupakan conditio sine qua non. Keberadaan mereka adalah syarat wajib untuk mewujudkan perhelatan Pilkada benar-benar menjadi sarana melalui cara apa para pemimpin daerah yang baik dan ideal dilahirkan. Lantas bagaimana seorang pemilih dapat dikategorikan sebagai pemilih cerdas?
Para pemilih cerdas adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai seputar Pilkada dan kepemiluan secara umum. Sebut saja literate secara elektoral, artinya mereka melek terhadap pengetahuan dan wawasan kepemiluan. Tidak perlu canggih dan mendalam, cukup melek berkenaan dengan aspek-aspek mendasar kepemiluan.
Misalnya tahu dan sadar bahwa Pilkada merupakan sarana untuk mengejewantahkan hakikat kedaulatan rakyat, kedaulatan yang dimiliki sebagai warga negara, dan ini adalah salah satu hak dasar, hak azasi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Para pemilih cerdas juga faham, bahwa Pilkada dilaksanakan untuk memperbarui keabsahan (legitimasi) kekuasaan dan dukungan rakyat terhadap Pemerintah Daerah yang kemudian terpilih dan terbentuk.
Melalui Pilkada kehidupan bermasyarakat dan bernegara di daerahnya diperbaiki setiap kekurangannya secara periodik. Dan akhirnya, perbaikan kehidupan masyarakat dan daerah secara umum akan berpengaruh terhadap derajat perbaikan kehidupan warga di daerah yang bersangkutan.
Menelusuri Rekam Jejak Kandidat
Dengan literasi Pilkada yang memadai para pemilih cerdas akan menyadari, bahwa dalam menentukan pilihan perihal pasangan kandidat Kepala dan Wakil Kepala Daerahnya seyogyanya tidak dilakukan sembarang, tidak asal pilih. Mereka harus pastikan bahwa para kandidat pemimpin daerah yang akan dipilihnya adalah figur-figur terbaik.
Oleh sebab itu mereka akan melakukan tracking (penelusuran) terhadap rekam jejak para kandidat. Siapa mereka, bagaimana track recordnya, serta apa saja yang telah atau potensial dapat mereka lakukan untuk kepentingan rakyat jika terpilih nanti. Entah sebagai Gubernu-Wagub, Bupati-Wabup atau Walikota-Wakil Walikota. Jangan sampai seperti memilih kucing dalam karung. Tanpa mengetahui secara utuh siapa para kandidat pemimpin ini, bisa-bisa nanti yang terpilih adalah “kucing garong”.
Cerdas Memilah dan Memilih Informasi
Selain kesediaan untuk melakukan tracking terhadap rekam jejak para kandidat, smart voters adalah mereka yang cerdas dalam memilah dan memilih informasi-informasi yang relevan seputar Pilkada di daerahnya.
Sebagaimana kita tahu, menyertai tahapan Pilkada, terutama di fase kampanye saat ini, berbagai informasi seputar Pilkada mengarus deras di ruang-ruang publik, terutama melalui platform-paltform digital. Pengalaman menunjukkan bahwa di antara arus deras informasi yang akurat dan kredibel seringkali menyelinap konten-konten berita hoax atau fakenews yang bisa menyesatkan jika tak hati-hati menyerapnya.
Dengan dukungan literasi media yang baik para pemilih cerdas akan hati-hati dalam menyerap dan mencerna setiap informasi Pilkada yang beredar. Berbagai konten elektoral seputar Pilkada baik berupa video maupun narasi tekstual yang tersebar melalui berbagai platform, terutama media sosial akan disaring dengan ketat.
Langkah tersebut, memilah dan memilih secara selektif dan hati-hati setiap informasi penting untuk memastikan mereka tidak salah menentukan pilihan. Pun tidak mudah terbawa arus dalam kebiasaan buruk saling memviralkan berita dan informasi yang tidak jelas sumber dan kesahihannya.
Menolak Segala Bentuk Kejahatan Elektoral
Isu lain yang tidak kalah pentingnya, dan karena itu menjadi bagian dari materi pemaparan dan diskusi saya dengan para peserta adalah soal politik uang dan berbagai kejahatan elektoral lainnya.
Salah satu penyakit akut Pemilu adalah adanya praktik politik uang yang dilakukan oleh peserta (melalui Timses atau partai-partai pengusungnya tentu) dan pemilih. Fenomena transaksional ini patut dikhawatirkan karena menurut beberapa hasil survei masyarakat (pemilih) cenderung permisif, mengizinkan terhadap praktik money politics ini. Dalam banyak kasus bahkan mereka menunggu aksi-aksi money politics ini. Menunggu disawer, menunggu “diserang saat fajar” menjelang hari pencoblosan.
Padahal semua orang sudah faham bahwa selain tidak dibenarkan berdasarkan kaidah agama, money politics juga masuk dalam kategori pelanggaran pidana. Dampak ikutannya di kemudian hari juga jelas, praktik jahat ini telah melahirkan fenomena kejahatan lain berupa korupsi dan berbagai praktik abuse of power lain di pentas kekuasaan.
Para pemilih cerdas dengan tegas, bukan saja akan menolak praktik politik uang tetapi juga berani melaporkannya jika mengetahui ada kejadian ini ke Bawaslu atau Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) Pemilu.
Selain itu para pemilih cerdas juga akan menolak praktik-praktik politisasi terhadap berbagai bentuk identitas primordial, terutama agama, etnik dan ras. Karena mereka sadar sepenuhnya, bahwa politisasi identitas dengan mudah dapat menjerumuskan dirinya ke dalam pertengkaran sosial dan tindakan-tindakan intoleran yang ujungnya bisa membahayakan kohesivitas, harmoni dan keutuhan masyarakat di daerahnya.
Partisipatif dan Menghindari Golput
Terakhir namun tak kalah penting, kepada para peserta Sosdiklih KPU Tangsel Goes to Campus ini saya mengingatkan, bahwa Pilkada adalah bagian penting dari hajat daerah melalui apa setiap warga seyogyanya terlibat aktif menyukseskannya. Keterlibatan atau partisipasi terendah adalah menggunakan hak pilih dengan baik pada hari dan tanggal pemungutan suara.
Smart voters (yang saya berharap para peserta ini akan menjadi bagian di dalamnya) harus berani menolak Golput apalagi mengajak atau menyuruh orang lain untuk Golput. Karena dengan memilih Golput sejatinya seseorang tidak ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin daerahnya. Padahal memilih pemimpin adalah urusan strategis dalam upaya memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakatnya.
Mengakhiri forum diskusi yang lumayan antusias itu, saya tegaskan. Bahwa selain sebagai sarana untuk memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah, Pilkada juga dimaksudkan untuk secara berkala memperbaiki kualitas kehidupan bersama. Dengan menolak partisipasi dan memilih Golput, seseorang sesungguhnya telah memilih untuk tidak peduli terhadap ikhtiar memajukan kehidupan bersama, kehidupan masyarakat dan daerahnya.
Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
6 Pengikut
KPU Goes to Campus, Ikhtiar Memperbanyak Smart Voters
Rabu, 6 November 2024 17:58 WIBPesta Demokrasi Post-Gen Z
Rabu, 6 November 2024 17:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler