Melodi Miring

Rabu, 6 November 2024 18:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Panorama cerpen, imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi obralobrol warung kopi. Hati gembira setiap hari.

Sewarna hati tak jua sewarna kata. Tak jua bijak ketika tersurat tak sama pada nurani tersirat. Membiarkan apapun kata gayung bersambut. Ini lara tak semanis madu. Karena cinta pandai berbohong. Tak tahu lagi kata benar atau tulus. Tak serupa pula papan reklame modern budaya kontemporer. Janji, bukan sekadar komitmen pura-pura tulus berdiri tak pada tempatnya.

"Tidak begitu." Tetiba berita korupsi triliun di angkasa.
"Tapi begini." Oh! Ada korupsi lagi ya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kolaborasi angka-angka, rumus-rumus rahasia membuka kunci lemari tertutup rapat dilindungi hukum formal. Tak berlaku di perang modern zaman. Mesin perang lebih berharga ketika cuaca berubah-ubah dalam warna sekunder. Sembunyikan saja kemaslahatan. Selamat datang perang. Gelegar jiwa berteriak girang. Nyaring mengangkasa.

"Koruptor sukseskan sulapan triliun."
"Ramailah isu do re mi orkes bergoyang."

Program di antara pikiran dalam kepala tak senyawa arah tujuan bodok amat sumpah jabatan. Mesin kelicikan campur aduk di otak nakal koruptor membuncah serakah. Lupa diri, culas bolak-balik di badan terlihat jiwa tak jujur. Sang koruptor paham betul cara kerja otak nakalnya. Jiwanya oke saja mampu mengendalikan situasi setara diam-diam merayap menyalakan mesin korupsi.

"Irasional? Enggak kale." Suara sang culas.
"Mistik? Hahaha..." Doyan memuja berhala.

Kalau begitu korupsi sangat nalar bukan misteri. Bukan tebak manggis juga kale. Tanya lagi deh kenapa melakukan tindak pidana  korupsi, sadar plus konsekuen. Wow! Panjang deh link tim kerjanya. Ketika sebuah nama terselip nama lain. Ngoceh melulu. Saat sang waktu lengah, raib ajaib. Blink!

"Aku. Kalian. Ada deh. Iyau!" Seolah-olah legal formal everyday.
"Identitas, abstraksi berganti musim." Tuyul melenggang jadi manusia.

Hidup senang laiknya takkan mati, di atas penderitaan hak-hak publik. Cerita hidupnya tak pernah selesai. Berkesinambungan tak pernah bingung, linglung. Namun menjelang ajal tuyul mengalami hidup di antara mati menuju neraka; don't worry be happy. Hidup ini ajang lifestyle koruptif. Hedonis, jalani saja hidup ini super top.

"Kalau tak korupsi gaya hidupku merosot."
"Sakit kau."
"Selagi mumpung kawan."
"Setidaknya bisa bermain api. Tahu sama tahulah. Kongsi-kongsilah."

"Sudah sejak kapan kau jadi bangsat begini."
"Sejak aku ingin jadi bangsat kawan."

Kehidupan megapolis sang tuyul koruptor mampu membeli kondominium sebagaimana kehidupannya berlangsung. Kalah menang mengarungi hidup ini tak perlu dihitung jari. Sekarang menang. Besok kalah. Lumrah untuk sang koruptor. Untung rugi bagi tuyul sama sebangun di arena hidup manapun sekalipun di benua khayali.

"Apa kabarnya si bangsat itu."
"Sebelum atau sejak dia di hotel prodeo."
"Sejak di tempat itu."
"Biasalah. Dia makin canggih bermain api."

"Lewat teknologi."
"Kau tahu kan. Apa sih tak bisa dia beli."
"Sekali bangsat tetaplah bangsat."
"Dia sahabat kita sejak kecil."

"Mengapa dia berubah jadi bodoh."
"Kau tahulah jawabannya."

Kepiawaiannya, si tuyul menjilat iblis sang majikan membuatnya bebas jalan-jalan selfie sana sini. Tak ada kemalangan bagi si tuyul. Hanya ada keuntungan selalu. Keajaiban tak dimiliki siapapun. 

Tuyul penjilat profesional, terus mendaki popularitas kapanpun di manapun. Membangun, The Kingdom of Tuyul's and Co. Berkelebatan para tuyul melesatkan mobil canggihnya, sembari ngakak. "Bye! Bye Humanism!" 

***

Jakarta Indonesiana November 06, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler