Empat Dosa Media Daring terhadap Karyawannya

Jumat, 8 November 2024 06:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat ini, media daring berkembang pesat seperti lumut di musim hujan, dengan jumlah yang sangat banyak. Beberapa di antaranya sudah dikenal luas oleh publik, sementara yang lainnya terasa asing di telinga.

Namun, sayangnya, masih banyak media daring yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Bahkan, beberapa di antaranya cenderung berlaku zalim.

Berikut adalah 4 dosa media daring terhadap karyawannya:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1# Tidak Ada Perjanjian Kerja

Pertama, tidak ada perjanjian kerja, artinya tidak ada kesepakatan tertulis. Banyak media online yang tidak mengatur perjanjian kerja untuk karyawannya. Perjanjian kerja ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak, jam kerja, besar upah dan hal-hal lainnya. Dengan tidak adanya perjanjian kerja, maka karyawan ini rawan akan eksploitasi. Selain itu juga bisa dipecat sewaktu-waktu.

Dulu saya pernah bergabung di sebuah media online berbasis di Jakarta, bermula dari kontributor, kontributor reguler, lalu ditawari untuk ngantor menggantikan karyawan yang mengundurkan diri karena memiliki anak . Tidak ada perjanjian kerja, cuman dengan lisan saja.

Maka ketika saya sudah tidak dibutuhkan ya, dicut begitu saja oleh Pimred tanpa ada Surat Peringatan 1, Surat Peringatan 2, Surat Peringatan 3. Sama seperti ketika saya masuk menjadi karyawan, dikeluarkan pun saya secara lisan. Karena tidak ada perjanjian kerja, ya jelas saya tidak dapat pesangon.

2# Tidak Ada Jenjang Karir

Kedua, tidak ada jenjang karier. Masih banyak media online yang tidak memiliki jenjang karir, alahasi karir karyawan tidak jelas. Kawan saya misalnya, lama sekali jadi pewarta, sementara kawan satu angkatan di tempat media dia bekerja sudah menjadi redaktur warta dari lama. Ada juga yang bermula dari admin medsos, rajin menulis opini, ditarik menjadi redaktur warta. Kemudian ada juga yang jadi kepala redaktur liputan tanpa pernah menjadi jurnalis lapangan.

Ketidakjelasan ini jelas menimbulkan frustasi di kalangan karyawan media online, yang merasa usaha dan dedikasi mereka tidak dihargai. Tanpa adanya jenjang karir yang jelas, motivasi untuk bekerja keras pun menjadi berkurang. 

3# Gaji yang Tidak Memadai

Ketiga, gaji yang tidak memadai. Banyak media online menawarkan gaji yang jauh di bawah standar, bahkan untuk posisi yang seharusnya mendapatkan imbalan yang layak. Hal ini sering kali terjadi karena media online masih berjuang untuk mempertahankan diri di tengah persaingan yang ketat.

Karyawan yang bekerja keras sering kali merasa tidak dihargai ketika gaji yang diterima tidak sebanding dengan beban kerja. Ini berpotensi menyebabkan turnover yang tinggi, di mana karyawan lebih memilih untuk mencari pekerjaan di tempat lain yang menawarkan kompensasi lebih baik.

Dulu ketika kontestasi Pemilu 2024 saya ditugaskan untuk ngepos di KPU, ya seorang diri dari pagi sampai malam. Penugasan ini by lisan dari Pimred dengan janji nanti akan mendapatkan tambahan uang transport dan makan. Eh ternyata omon-omon doang, sampai sekarang saya sudah tidak lagi bekerja di media tersebut, janji tersebut hanya sekedar janji.

4# Menciptakan Lingkungan Kerja yang Tidak Sehat

Keempat, lingkungan kerja yang tidak sehat. Beberapa media online menciptakan suasana kerja yang penuh tekanan dan persaingan yang tidak sehat. Stres akibat tuntutan pekerjaan yang tinggi, ditambah lagi dengan kurangnya dukungan dari manajemen, dapat mengakibatkan burnout.

Karyawan akan merasa nyaman ketika didukung dalam bekerja. Namun, jika suasana kerja dipenuhi dengan kritik yang tidak membangun dan kurangnya kolaborasi, maka semangat kerja akan menurun. Hal ini bukan hanya merugikan karyawan, tetapi juga mempengaruhi kualitas konten yang dihasilkan.

Saya pernah ada pengalaman tulisan menyangkut lama, nggak naik-naik, sementara itu isu sudah lewat. Teman-teman saya yang lain ternyata juga mengalami hal serupa. Pada proteslah, redaktur yang bertugas saat itu malah nggak mau disalahkan. Sialnya, dia secara tidak langsung malah menuduh saya yang melakukan provokasi mengajak teman-teman yang lain untuk protes.

Yang paling membuat saya merasa down sebagai karyawan adalah ketika saya ditegur di depan rekan-rekan lain oleh redaktur tersebut karena melakukan kesalahan. Namun, ketika karyawan lain melakukan kesalahan, mereka tidak ditegur sama sekali. Selain itu, setiap kali saya mengirimkan tulisan saat dia bertugas, selalu saja ada kesalahan yang dicari. Oleh karena itu, strategi yang saya lakukan adalah mengirimkan tulisan di luar jam tugasnya.

Itulah 4 dosa media daring terhadap karyawannya

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler