Kedaulatan Digital: Antara Realitas dan Ilusi (2)

Jumat, 8 November 2024 10:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kedaulatan digital, di balik semua janji kebebasannya, masih berdiri di atas fondasi yang dikontrol pihak-pihak besar. Tak di negara bebas maupun tiran, kedaulatan digital bisa kapan saja dijegal.

***

Di era digital ini, media sosial (medsos) telah menjadi arena utama tempat masyarakat berbicara, berekspresi, dan saling terhubung. Namun, di balik kemudahan akses ini, kedaulatan pengguna dan kedaulatan negara di medsos kali diuji oleh kepentingan korporasi, algoritma yang tersembunyi, hingga regulasi yang longgar atau justru terlalu ketat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seiring dengan semakin dominannya peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan pun muncul: masihkah ada ruang untuk kedaulatan yang sejati di ranah ini, atau ini hanyalah ilusi belaka?

Skandal Cambridge Analytica  

Kasus Cambridge Analytica yang mencuat pada tahun 2018 membuka mata kita bahwa data pengguna bisa menjadi "komoditas" yang diperjualbelikan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Data-data pribadi yang dikumpulkan dari jutaan pengguna Facebook digunakan untuk memanipulasi preferensi pemilih, termasuk dalam Pemilu AS 2016.

Kasus tersebut menjadi bukti betapa rentannya kedaulatan pengguna atas data pribadi mereka. Begitu kita memasukkan data pribadi ke platform media sosial, kendali terhadapnya kerap hilang. Kasus ini menggambarkan dengan jelas bahwa di balik klaim transparansi dan privasi, kita sebagai pengguna hanyalah "produk" yang dijual tanpa sepenuhnya disadari.

Pemblokiran Platform Global  

Di beberapa negara, kedaulatan digital diinterpretasikan sebagai upaya mempertahankan "keamanan" dengan cara memblokir platform asing. Misalnya Tiongkok, yang memblokir akses ke Facebook, Twitter, dan Google.

Langkah Negeri Tirai Bambu itu disebut sebagai cara untuk melindungi masyarakat dari pengaruh eksternal. Namun di sisi lain dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan berbicara.

Kasus seperti itu menunjukkan dilema kedaulatan: sejauh mana negara berhak membatasi akses warganya ke informasi dunia? Di satu sisi, ada kebutuhan melindungi masyarakat dari dampak negatif internet global, tetapi di sisi lain, pembatasan ini sering kali hanya melindungi kepentingan penguasa.

Kebijakan GDPR di Uni Eropa  

Sebagai respons terhadap dominasi perusahaan teknologi besar atas data pribadi, Uni Eropa memberlakukan kebijakan GDPR (General Data Protection Regulation) pada 2018. Kebijakan ini memberi kendali lebih besar kepada pengguna atas data mereka sendiri, termasuk hak untuk meminta penghapusan data.

GDPR memperlihatkan bahwa ada upaya untuk mengembalikan kedaulatan pengguna melalui regulasi yang ketat. Namun, bagi perusahaan teknologi besar, kebijakan ini justru menjadi tantangan operasional yang rumit dan mahal.

Sementara GDPR adalah upaya untuk memulihkan kedaulatan pengguna, sulit diabaikan bahwa regulasi ini masih berbatas hanya di wilayah Eropa, dan tak sepenuhnya melindungi pengguna global.

Manipulasi Identitas Publik  

Sedangkan di negeri junta militer Myanmar terjadi kasus yang menunjukkan bahwa medsos tak hanya sebagai tempat berbagi opini, tapi bisa dijadikan senjata dalam konflik sosial. Facebook digunakan untuk menyebarkan disinformasi yang memanaskan konflik etnis, khususnya terhadap minoritas Rohingya.

Negara, kelompok tertentu, dan tokoh-tokoh publik dapat memanfaatkan medsos untuk propaganda yang memecah belah, mengancam kedaulatan masyarakat untuk membentuk opini mereka sendiri. Ini adalah contoh suram tentang bagaimana medsos bisa dengan cepat berubah menjadi ruang manipulasi yang destruktif.

Kontrol Platform  

Kedaulatan digital juga bisa erjegal di negara bebas seperti Amerika Serikat (AS). Setelah peristiwa kerusuhan Capitol Hill pada 6 Januari 2021, Twitter dan platform lain membekukan akun mantan presiden AS, Donald Trump. Alasannya, dianggap menyebarkan informasi yang menghasut kekerasan.

Langkah tersebut, meski di satu sisi dianggap perlu, juga membuka diskusi serius tentang kedaulatan di medsos. Apakah perusahaan teknologi berhak menentukan siapa yang layak atau tidak layak berbicara di ruang publik digital?

Meski platform berhak mengatur kebijakan kontennya sendiri, tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk sensor yang bisa memengaruhi kebebasan berbicara. Kedaulatan pengguna atas hak berbicara di platform digital jadi tampak lemah ketika perusahaan dapat menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dikatakan.

Algoritma dan "Shadow Banning"

Kemudian ada fenomena "shadow banning", yaitu praktik ketika platform mengurangi visibilitas konten tertentu tanpa memberitahukan pengguna yang bersangkutan. Praktik ini biasanya diterapkan pada konten kontroversial atau akun yang kerap mengangkat isu sensitif.

Dengan algoritma yang tidak transparan, pengguna bisa merasa seakan-akan mereka “dikucilkan” di medsos tanpa diberi penjelasan. Meskipun platform memiliki kebijakan yang mengatur konten, shadow banning sering kali menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi pengguna karena mereka tidak tahu batasannya.

Hal itulah yang membuat pengguna tidak benar-benar berdaulat atas kontennya sendiri. Mereka terikat oleh algoritma yang sering kali bekerja di luar kendalinya.

Meniti Jalan Terjal

Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa kompleksnya konsep kedaulatan di medsos. Memang, ada harapan bahwa medsos memberi kita kebebasan dan kendali untuk mengekspresikan diri. Namun, kenyataan sering kali berbeda.

Kedaulatan di ranah ini hanyalah setipis ilusi, terikat oleh kepentingan besar, baik dari korporasi maupun pemerintah yang tak sepenuhnya transparan.

Pada akhirnya, pengguna media sosial perlu menyadari bahwa kendali mereka di ranah digital hanya sebatas apa yang diizinkan oleh platform dan kebijakan lokal. Sebagai pengguna, menjadi lebih kritis dan waspada dalam menyikapi isu-isu ini adalah langkah pertama untuk menjaga kedaulatan diri, meski itu berarti bertindak dalam batasan yang mungkin tak kasat mata.

Medsos telah mengubah cara kita berpikir tentang kedaulatan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat global. Namun, di era algoritma dan big data, menjaga kedaulatan bukan hanya soal kontrol atas apa yang kita posting.

Kita harus memiliki kesadaran pula bahwa kedaulatan digital, di balik semua janji kebebasannya, masih berdiri di atas fondasi yang dikontrol pihak-pihak besar. Di sinilah peran kita: mempertanyakan, mengkritisi, dan terus mengawasi platform yang, seolah-olah, menjadi ruang publik baru yang penuh kebebasan bagi kita semua.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

img-content

Terjebak di Lembah YouTube

Kamis, 28 November 2024 16:34 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler