Mahasiswa tahun ke-3 jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran. Menempuh kepakaran Keamanan kawasan, Diplomasi Publik, dan Paradiplomasi
BRICS: Turki dan Pragmatisme Erdogan
Senin, 11 November 2024 11:16 WIBPermainan politik Erdogan berhasil menahkodai Turki di tengah krisis geopolitik global.
BRICS dewasa ini tumbuh menjadi antitesa dari Group of 7 (G7) yang dipimpin Amerika Serikat. Komplotan ekonomi tradisional itu harus menghadapi gelombang dedolarisasi yang dikerjakan oleh BRICS.
Lalau perubahan situasi geopolitik semakin memanas dikarenakan perang Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Gaza. Hal itu semakin menajamkan mata pisau BRICS untuk terus mencabik dominasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam urusan perekonomian global. BRICS juga membangun kesadaran global south bahwasanya ‘Barat’ tidaklah selalu benar.
Tren kebangkitan global south yang dipimpin oleh BRICS dalam perekonomian global ini turut mengundang perhatian negara-negara yang selama ini semi-periphery terhadap polar-polar yang ada, tak terkecuali Turkiye.
Turki, sebuah negara interkontinen modern sekuler yang berpenduduk mayoritas muslim telah lama bermain peran dalam kancah internasional, khususnya dalam kawasan Timur Tengah. Di samping kesekuleritas-an Turkiye, atmosfir politik domestik negara ini didominasi oleh kekuatan islam konservatif, yang selama berturut-turut, dimenangkan oleh AK Party.
Kemenangan AK Party bukan semata-mata karena keajaiban, namun terdapat peran besar dari seorang tokoh politik ternama Turki, yakni Recep Tayyip Erdoğan.
Erdogan sudah menjadi Presiden Turki selama lebih dari 3 periode yang bahkan digadang-gadang menjadi presiden seumur hidup. Erdogan telah lama menahkodai Turki dengan berbagai kebijakan dan manuver politik luar negeri. Berbekal sebuah teori hubungan internasional, teori idiosinkratik, manuver politik luar negeri Turki banyak dipengaruhi oleh sifat yang dipopulerkan oleh Erdogan itu sendiri, yakni pragmatis.
Turki merupakan aktor kunci di kawasan Timur Tengah dan Laut Mediterania. Tentu sebagai aktor kunci, Turkiye memanfaatkan keuntungan tersebut dengan melibatkan diri dalam berbagai kerjasama regional, pakta pertahanan, dan bahkan konflik aktif yang terjadi di kawasan.
Sebagai anggota NATO terjauh dari Samudera Atlantik, Turki bermain dengan cantik di kawasan. Bagaimana tidak, Turki menjadi satu-satunya negara anggota NATO yang memiliki hubungan dekat dengan Rusia, walau Turki sendiri menjadi deterrence NATO untuk Rusia.
Turki juga menjadi mediator antara Rusia dengan Ukrania dalam urusan pangan. Di sisi lain, Turki memiliki sengketa perbatasan aktif dengan sesama anggota NATO, yaitu Yunani. Uniknya, Turki ‘tidak mesra’ dengan Suriah, sehingga mempersenjatai kekuatan proxy yang menjadi oposisi Al-Assad untuk menggulingkan Al-Assad.
Secara geopolitis, Turki memiliki sifat yang ‘ikut campur’, sehingga banyak terlibat dalam berbagai konflik aktif di kawasan, sebut saja Armenia-Azerbaijan, Cyprus Utara, dan Suriah. Selain menjadi anggota NATO yang terkenal sebagai ally-nya ‘barat’, Turki juga tak segan ‘ambil untung’ dengan keinginan untuk bergabung dengan BRICS.
Bahkan, Presiden Erdogan hadir secara langsung dalam BRICS Summit 2024 di Kazan, Rusia baru-baru ini. BRICS menyambut ramah keinginan Erdogan untuk membawa langsung Turkiye menjadi anggota BRICS yang belakangan ini merekrut 5 anggota baru.
Turki melihat potensi dari kebangkitan BRICS ini sebagai sebuah antitesis baru menghadapi G7. Berbagai peluang kerjasama dan pengembangan ekonomi dapat diperoleh Turki dengan bergabung ke BRICS.
BRICS sebagai kerjasama multilateral, memiliki visi untuk menjatuhkan dolar dengan program-program ekonomi yang mengarah kepada dedolarisasi. Hal ini sejalan dengan kepentingan nasional Turkiye, yang belakangan ini menghadapi kondisi perekonomian domestik yang carut-marut. Mata uang Lira Turki terus tergerus oleh Dolar, sehingga betul-betul menghambat pertumbuhan ekonomi warganya.
Selain itu, berubahnya atmosfer geopolitik di kawasannya, turut mengurgensikan Turki untuk bergabung dan mengambil keuntungan dari adanya BRICS. Dengan bergabungnya Turki ke BRICS, Turkiye dapat flexing kepada barat bahwasanya Turkiye memiliki hubungan yang baik dan konstruktif dengan Rusia dan China.
Berbagai fenomena di atas terkesan tidak etis, tapi beginilah pragmatisme Erdogan. Tidak ke timur, tapi tidak juga terlalu barat, Erdogan betul-betul hanya mencari untung, tanpa mempertahankan idealis dan ide tradisional berdirinya negara Turki sebagai negara sekuler yang kebarat-baratan.
Erdogan pandai menjadikan potensi-potensi yang dimiliki Turki sebagai bargaining power dan deterrence terhadap kekuatan-kekuatan besar. Selayaknya kondisi geografi yang dimiliki, Turki betul-betul berhasil memoles wajahnya sebagai kekuatan tengah-selatan yang baru. Turki menggentarkan ‘barat’ dengan tidak tunduk, juga mencari muka kepada kekuatan-kekuatan baru dari timur.
Erdogan berhasil memberikan gambaran asli negara sebagai aktor dalam sistem internasional yang anarki, yakni negara merupakan sebuah entitas yang niretika dan berfokus hanya kepada kepentingan nasionalnya. Di bawah pragmatisme Erdogan, Turkiye telah berhasil menunjukkan taringnya dan menunjukkan kesiapan untuk menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang multipolar ini.
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran
0 Pengikut
Membumikan Diplomasi Melalui Paradiplomasi
Sabtu, 30 November 2024 18:23 WIBBRICS: Turki dan Pragmatisme Erdogan
Senin, 11 November 2024 11:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler