Mengapa Orang-orang di Cafe Hanya Pesan Kopi

Senin, 11 November 2024 11:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah pengalaman terkait sebuah pengandaian dan keberanian pada kesempatan tertentu.

***

“Kau tahu, aku pikir semuanya akan berjalan lancar!” Wanita yang tiba-tiba berteriak di depan wajahku, mengejutkan tidak hanya aku, tetapi semua yang memiliki telinga dalam radius lima meter.

“Kau tahu, dengan tinggimu yang hanya 150 cm, kau sangat bagus dalam mengeraskan suaramu.” Kerut di keningnya menandakan perkataanku yang cukup untuk meredakan mood-nya. Dia memakan es krim coklatnya tanpa menghiraukan buah ceri di atasnya. Yup, dia marah.  “Kau tahu, inilah mengapa kau tidak pernah populer di kelas kita.”

Yup, waktunya jitak kepala bocah ini. “Asal kau tahu ya, aku punya beberapa penggemar rahasia!” Diriku yang mudah tersinggung dan kompetitif seperti ini selalu membuatku sedih. Mengapa aku tidak bisa membiarkannya saja?

“Oh ya?! Kalau begitu sebutkan namanya!”

Sialan, wanita ini pantang menyerah. Dia bahkan sampai memegang kerah bajuku. “Dinda, tunggu!” Kenapa dia selalu seperti ini? Inilah mengapa, aku…..

“Apa yang kalian lakukan? Boleh aku ikutan?”

Gawat, dia datang. “Hei, lepaskan aku Dinda!”

Mengapa wajahmu terlihat murung seperti itu? Aku mencoba memberikan kode kepadanya dengan mataku, namun yang aku dapat malah gestur yang imut. Sialan, kedipan matanya imut sekali!

“Dinda, maaf sudah membuatmu menunggu.” Akhirnya dia sadar juga kalau Tommi datang. Berarti, waktu kami berdua di sini sudah habis.

“Oh Tommi!” Lihatlah betapa senangnya dia sambil memeluk pria itu. Kancing bajunya sampai menempel di frill pakaiannya sendiri. “Kalau begitu kami pergi dulu ya Nico! Dadah!!!!”

Lambaian tangannya juga imut sekali. Dan aku kembali sendiri lagi, padahal sudah dua minggu kami tidak bertemu.

“Sepertinya kamu ingin menyampaikan sesuatu ya kepadaku?” Aku masih mengingat jelas sore hari yang merah itu.

“A-aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”, tanganku yang terus mengepal seperti sedang mengantri di toilet. Keringat dingin seperti baru bertemu hantu. Maaf, semua metaforku jelek sekali.

“Aku tahu, kau ingin mengajakku main ke karnaval besok hari ya?” Dinda mengatakannya sambil berpose peace dan mengarahkannya kepadaku. Mengapa dia selalu imut seperti ini?

“Hehe, iya, kok kamu tahu?” Dan mengapa aku sepengecut ini? Hari itu pun berlalu dan aku didahului oleh Tommi di tempat karnaval yang sama. Aku masih percaya diri bahwa Dinda merasakan sama dengan apa yang kurasakan, jadi jika dia menerima cintanya Tommi, berarti aku hanya besar kepala saja.

“Padahal aku yang sudah lama mengenalnya.”, ujarku sambil menghabiskan kopi susu dinginku. “Semuanya menjadi lima puluh ribu saja mas.” Dan aku juga yang harus membayarnya.

Apakah aku masih akan apes seperti ini jika saja keberanianku muncul di sore hari itu?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Almanico Islamy Hasibuan

Penulis Indonesiana.

0 Pengikut

img-content

Serahkan Semuanya

Selasa, 12 November 2024 14:02 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
Lihat semua