Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.

Tujuh Pesan Garin Nugroho untuk Presiden Prabowo dalam Pidato Kebudayaan Bertajuk Balas Budi untuk Rakyat

Selasa, 12 November 2024 15:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Garin Nugroho: seniman, sineas, sutradara, budayawan menyampaikan 7 pesan penting untuk Presiden Prabowo terkait strategi mengembangkan kebudayaandi Indonesia. \xd\xd

Pesan itu disampaikan dalam Pidato Kebudayaan yang dia bacakan di Graha BhaktiBudaya (GBB), Taman Ismail Marzuki, (TIM), Minggu 10 November 2024.

Melansir dari siaran pers Dewan Kesenian Jakarta, Garin memaparkan bahwa “Pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya mampu mewujudkan seni dan budaya sebagai hak asasi yang sejajar dengan hak politik dan hak ekonomi. Hak atas budaya dan seni merupakan hak dasar masyarakat sipil yang wajib didukung, dikembangkan, dilindungidandiberiruanguntuk tumbuh suburdalam seluruh aspek kehidupanberbangsa.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepemimpinan Presiden Prabowo, kata Garin dalam pesannya yang lain, wajib mewujudkan beragam strategi ekonomidengan kebijakanpolitik yangdidukung perlindungan hukum untuk memfasilitasi, melindungi, merawat, dan menumbuhkan proses pemajuan kualitas kreasi dan apresiasi seni dan budaya dalam ekosistem yang sehat dan produktif, baik institusi, daya hidup para profesional, komunitas, maupunpendidikan.

Garin mengatakan, sejarah mencatat bahwa pada setiap era revolusi teknologi 1.0 hingga 4.0, Indonesia selalu gagal menangkap momentum untuk melakukan lompatanperadabanbaru.

“Pemerintahan Joko Widodo di era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagaipendorongpeningkatan kualitas wargadanpenyelenggaraan negara,” ujarnya.

Kenapa? Karena negara tidak dikelola sebagai pemerintahan,tetapi selayaknya organisasi hiburan berbasis digital yang disertai ambisi kekuasaan politik dan ekonomi yang banal.

“Bahkan, ruang publik media baru menjadi ajang pameran yang membosankan proses politik dan hukum serta kehadiran politisi yang tidak beretika. Akibatnya, bangsa kehilangan arah dalam mencari kebaikandan kebenaran, sehingga esensi daya hidup warga negara sebagai individu yang memiliki hak-haknya untuk mewujudkan masyarakat sipil yangberkualitas menjadi luntur,” katanya.

Untuk itu, kata Garin, sebagai bentuk balas budi kepada rakyat, Pemerintahan Presiden Prabowo perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0 guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitanbangsa. Belajar dari Korea Garin juga mengajak untuk belajar dari tumbuh-kembangnya industri kreatif seperti drama Korea (drakor).

“Gelombang ini tidak dibangun dengan langsung membidik pasar massa, melainkan dibuat dengan membangun sumber daya manusia unggul, dengan profesionalisme yang matang dan mumpuni, dan strategi untuk menumbuhkan selerapasar,” katanya.

Pada bagian lain Garin mengingatkan pelajaran dari sejarah ketika diramalkan bahwa para pemimpin Nusantara yang tidak mumpuni dalam menghadapi perubahan zaman apa pun hanyalah akan menjadi mandor dari korporasi besar yang mengincar sumber daya alam Indonesia dan sumber daya tenaga kerja warga Indonesia.

“Untuk menjaga pamor agar tidak terlihat sebagai mandor, para pemimpin tersebut seringkali mengulang pencitraan gaya raja Jawa, meski kejam dan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri, keluarga, dan oligarki, tetapi tetap terlihat populer. Padahal, sesungguhnya kapasitas mereka hanya mampu menjadi mandorbagi korporasi,” kata Garin.

Fenomena pemimpin sebagai “mandor korporasi” dalam sejarah Nusantara terus terulang dan menjadi sebutan seloroh, seperti ungkapan “bangsa kuli dengan mental penjajah dan politikus mandor”.

Fenomena ini juga ditujukan pada 10 tahun pemerintahan Joko Widodo dan oligarkinya. Contoh kecilnya adalah proses mewujudkan berbagai undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti Undang-Undang Tenaga Kerja. Meski menyangkut kepentingan bangsa yang sangat luas, undang-undang tersebutdikerjakandengan cepattanpa sosialisasi memadai yang merupakan syarat demokrasi. Selain itu, kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah, bukan semata-mata daerah miskin, lebih sering terlihat sebagai kunjungan “mandor” daerah yang berhubungan dengan investasibesar.

Pidato Kebudayan pertama kali digelar pada tahun 1989, lalu menjadi tradisi tahunan pada setiap tanggal 10 November, bertepatan dengan ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Dewan Kesenian Jakarta secara konsisten menyajikan persoalan-persoalan penting dan aktual, mengupas dan mengkritisi dengan pemikiran-pemikiran jernih melaluiperspektifbudaya. Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta adalah upaya memperdengarkan suara jernih yang membawagagasanbernasdaritokoh-tokoh terpilih. ***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler