Pembelajar di Maiyah. Mencintai desa dan kebudayaan indonesia. Mendirikan SURAU.
Kelakuan dan Pernyataan Pejabat Memang Senilai Ber-IQ 78 Saja
Rabu, 13 November 2024 14:53 WIBKalau tulisan ini terbit, pasti ada bagian dari IQ 78 yang menasehati saya supaya berkaca diri dulu. Akan dikatakan presiden jauh lebih hebat dari saya.
Benteng IQ 78
Kalo dilihat dari daya juang rakyatnya, inovasi dan kekompakkan anak-anak mudanya, prestasi-prestasinya di dalam maupun luar negeri, rasa-rasanya wajah indonesia terselamatkan oleh mereka. Bahwa pernyataan menyakitkan tentang IQ nasional rata-rata sekitar 78 poin -- hampir mirip dengan IQ simpanse itu terbantahkan.
Tapi kalo melihat kelakuan politisi kita, pernyataan-pernyataan resmi pejabat negara kita, dan para pembelanya, rasanya juga pernyataan IQ sekitar 78 poin tersebut memang nyata adanya.
Kalaulah memang IQ nasional rendah, itu bukan karena orang indonesia bodoh-bodoh, melainkan karena adanya ketidak-jujuran dalam proses bernegara sampai hari ini.
Pendahulu kita bersepakat, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengangkat bangsa dari derajat kemiskinan, maka dibuatlah negara. Dan oleh karenanya, seluruh warga negara dengan sukarela menyetor iuran berupa pajak, untuk mewujudkan cita-cita negara tersebut.
Tapi setelah 79 tahun berdirinya negara, tak kunjung nampak nyata cita-cita itu. Pendidikan yang harusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, nyatanya hari ini IQ nasional malah turun. Akumulasi pajak yang harusnya mempermudah transformasi tatanan ekonomi, malah dikorupsi. Sampai-sampai ada istilah hari ini yang berbunyi "negara boleh rugi, tapi pejabatnya tetap untung".
Sebelas dua-belas
Memasukki tahun 2024 ini, setelah mengalami berbagai peristiwa-peristiwa politik yang menguras banyak perhatian, seolah-olah muncul harapan baru yang berkaitan dengan kehadiran presiden baru.
Bagaimana tidak, di era sebelumnya, publik sangat kerepotan oleh beban peristiwa mana dulu yang harus diperhatikan. Karena saking banyaknya kesalahan dan efek panjang dari kesalahan yang diperbuat oleh politisi dan pejabat setiap harinya. Belum lagi, bahkan untuk memperhatikan kelakuan kepala negara saja publik sudah dibikin lelah.
Baru saja publik keluar dari perhatiannya oleh MK, kemudian harus menghadapi persoalan kecurangan PEMILU, buah dari rentetan kejanggalan kasus MK.
Belum selesai masalahnya, presiden aktif malah ikut mengkampanyekan paslon yang bermasalah dengan yang diputuskan MK. Tapi berakhir dengan dipecatnya ketua MK karena berbuat nepotisme dan munculnya pemenang kontestasi PEMILU presiden.
Belum kering bibir publik dari perbincangan itu, gantian DPR yang cari masalah dengan akan membatalkan putusan MK, agar calon kepala daerah yang secara aturan belum memenuhi syarat tetapi diinginkan oleh rezim, dapat lolos mencalonkan diri. Lagi-lagi publik marah. Kemudian DPR membatalkan operasinya tersebut.
Lucunya, setelah energi publik tersita beberapa waktu, ketua MK yang sudah dipecat lalu, kini kembali lagi mendapatkan posisinya diawal, yaitu sebagai ketua MK.
DPR yang menunda operasinya membatalkan putusan MK, kini malah menyekutukan seluruh partai yang ada untuk mendukung calon pilihan rezim.
Ya, sama saja. Ini namanya "banyak jalan menuju pasar gelap".
Kemudian, apakah di era presiden baru ini akan mendapat perbedaan dari era sebelumnya?
Kayaknya rakyat 'kecelik' lagi tahun ini. Kasus-kasus sejenis yang ada pada rezim lama, masih terjadi juga di rezim baru.
Peristiwa penangkapan salah seorang menteri perdagangan era sebelumnya, dianggap penuh politisasi.
Kasus mafia peradilan masih tarik menarik antar lembaga.
Ditangkapnya beberapa pegawai lembaga negara karena melindungi judi online, dianggap belum menangkap puncak rantai makanannya.
Dan yang paling terbaru adalah, presiden baru yang kita hormati bersama itu, menyatakan secara terbuka kepada rakyat lewat video pendek, memohon untuk memberikan suaranya kepada salah satu paslon tertentu.
Kantor Komunikasi dan Kantor Staf Presiden kompak menyatakan bahwa tidak ada larangan presiden untuk memberikan dukungan kepada paslon, karena beberapa alasan :
Pertama, karena dukungan itu disampaikan pada hari minggu. Bahwa hari minggu dan hari cuti, presiden boleh memberikan dukungan.
Kedua, karena presiden juga seorang ketua parpol. Jadi kapastitas itu memungkinkan ia juga dapat mendukung paslon, seperti halnya saat memberikan tanda tangan dukungan pencalonan para calon kepala daerah.
Ketiga, bahwa larangan mendukung paslon adalah larangan yang ditujukan kepada ASN, TNI POLRI.
Tentu ketiga jawaban tersebut sebagai alibi saja untuk membenarkan langkah presiden. Padahal, sejak kapan presiden ada hari liburnya. Setau saya, karena kapasitasnya yang powerfull dan dualitas (sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan), presiden harusnya bekerja setiap hari.
Meskipun sebagai ketua parpol, jangan sampai identitasnya sebagai ketua parpol bertentangan dengan kewajibannya sebagai presiden. Apalagi karena kepentingan partai. Bukan presiden bekerja untuk partai, tapi partai yang bekerja untuk presiden. Bukan indonesia untuk partai, tapi partai untuk indonesia.
Memang tidak ada larangan formil kepada presiden untuk mendukung paslon pilkada, tapi bukankah azas pemilu yang jujur dan adil juga termasuk aturan yang harus ditaati? Dan azas harusnya lebih tinggi daripada hukum formil, karena dia bersifat sebagai pondasi etika hukum.
Hal ini tentu membikin publik keheranan.
Enggak terima, tapi enggak tahu juga harus berbuat apa. Dan yang paling menjengkelkan adalah, kalo tulisan ini nanti terbit, pasti ada saja bagian dari IQ 78 yang menasehati saya supaya berkaca diri dulu sebelum mengkritik presiden yang jauh lebih hebat dari saya.
Mau diam saja, tapi gelisah karena tahu tapi tidak disampaikan.
Lama-lama malas juga berbuat sesuatu untuk negara kalo ujung-ujungnya setiap rezim yang baru satu-satu dan satu-dua dengan rezim sebelumnya.
Kadang merusak tatanan dan cara hidup
1 Pengikut
Mas Miftah Salah? Ekspetasi Kita yang Ketinggian
1 hari laluKelakuan dan Pernyataan Pejabat Memang Senilai Ber-IQ 78 Saja
Rabu, 13 November 2024 14:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler