Masyita Crystallin adalah Partner at Systemiq and Head of Asia Pacific Sustainable Finance and Policy. Ia juga menjabat sebagai Co-chair Deputy of Coalition of Finance Minister for Climate Action. Berbekal pengalaman sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Kepala Ekonom di Bank DBS Indonesia dan ekonom Bank Dunia, Masyita telah memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan fiskal dan makroekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, ia juga berperan sebagai Dewan Komisaris Indonesia Financial Group (IFG) yang merupakan holding asuransi, penjaminan dan pasar modal. Masyita menyandang gelar PhD dari Claremont Graduate University. Ia ingin memberikan sumbangsih pada kebijakan ekonomi Indonesia termasuk ekonomi dan aksi iklim global.

Indonesia dan Diplomasi Iklim di COP29: Peluang dan Tantangan di Tengah Geopolitik Global

Sabtu, 23 November 2024 07:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) menjadi forum krusial untuk menegosiasikan aksi global dalam mengatasi krisis iklim

***

Dalam peta geopolitik yang dinamis, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) menjadi forum krusial untuk menegosiasikan aksi global dalam mengatasi krisis iklim. Konflik Rusia-Ukraina, ketegangan politik Timur Tengah, hingga pergantian pemimpin Amerika Serikat, Donald Trump yang pro sektor energi fosil memunculkan tantangan global pada isu iklim terkait pendanaan transisi energi oleh negara maju kepada negara berkembang, dan ketidakpastian baru pada komitmen internasional terhadap perubahan iklim. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

COP29 Azerbaijan

COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, mengusung agenda utama, termasuk mekanisme pendanaan baru bernama New Collective Quantified Goal (NCQG). Targetnya mencapai pendanaan iklim sebesar USD 2,4 triliun pada 2030, dengan porsi signifikan sebesar USD 1 triliun dialokasikan untuk transisi energi bersih. Jika target ini tidak tercapai, global akan rugi 1,266 triliun USD akibat dampak iklim pada tahun 2100.

Posisi Strategis Indonesia

Setidaknya tiga agenda prioritas Indonesia dalam COP29 diantaranya melakukan update pencatatan atas kontribusi penurunan emisi sesuai Nationally Determined Contributions (NDC), mengamankan pendanaan iklim yang berkelanjutan, dan menjaga ketahanan area yang rentan terhadap perubahan iklim.

Agenda COP29 yang turut menyoroti isu pendanaan untuk mengganti kerugian negara-negara akibat perubahan iklim. 52 Negara V20 telah mengalami kerugian 525 miliar USD rentang tahun 2000 - 2019 akibat dampak iklim. Meskipun Indonesia bukan bagian dari V20, juga memiliki resiko yang serius. Penelitian United Nation Environment Programme UNEP memperingatkan fokus negara untuk menurunkan emisi global 7.5% per tahun hingga 2035 dan mengurangi 42% emisi gas rumah kaca pada 2030 serta 57% pada 2035. Jika tidak, bumi terancam mengalami pemanasan hingga 3 derajat Celcius, dan tentu membahayakan teritorial Indonesia yang terdiri ribuan pulau.

Sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, Indonesia berada di garis depan terhadap dampak perubahan iklim. Riset BRIN mengungkap 92 dari 115 pulau kecil dan sedang Indonesia yang terancam tenggelam di tahun 2100 disebabkan naiknya permukaan air laut. Selain itu, deforestasi, dan perubahan iklim yang ekstrim juga mendesak lahirnya inisiatif dan kontribusi Indonesia dalam pemulihan iklim global lebih strategis di kancah Internasional.

Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa dunia hanya memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk menekan kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5°C. Angka ini menjadi alarm kritis bagi semua negara, termasuk Indonesia, yang menjadi salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di COP29, komitmen ini menjadi modal diplomasi penting untuk menarik perhatian negara-negara maju dalam mendukung upaya berbagai negara bahu-membahu mencapai tujuan bersama.

Pada hari pertama COP29, hampir 200 negara menyetujui serangkaian aturan penting untuk memulai mekanisme pasar karbon global. Aturan baru ini memungkinkan negara-negara mendapatkan "kredit karbon" sebagai imbalan atas pengurangan emisi yang mereka capai, yang kemudian dapat dijual kepada negara dengan tingkat polusi yang lebih tinggi.

Persetujuan terhadap mekanisme Pasal 6.4 dari Perjanjian Paris menjadi landasan bagi perdagangan pengurangan emisi karbon antarnegara. Perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mencocokkan pembeli dan penjual secara efisien. Pasar karbon semacam ini dapat mengurangi biaya implementasi Nationally Determined Contributions (NDC) hingga 250 miliar USD per tahun, sebagaimana disampaikan oleh Mukhtar Babayev, Presiden COP29. Progress ini penting bagi Indonesia yang sedang mengembangkan pasar karbonnya setahun belakangan.

Indonesia telah berkomitmen dalam mengatasi perubahan iklim dengan menawarkan konsep perdagangan karbon dan menggalakkan reboisasi di tengah isu nasional terkait food estate. Indonesia dapat menjadikan hal tersebut peluang menjadi salah satu eksportir utama kredit karbon global di tengah upaya membangun pasar karbon domestik. Kesepakatan dalam COP29 mengenai perdagangan karbon memberikan peluang untuk menjual kelebihan kredit karbon, sekaligus mengintegrasikan mekanisme internasional ke dalam pasar domestik.

Namun, hambatan regulasi dan transparansi masih menjadi isu utama. Sebuah laporan dari Climate Transparency menyebutkan bahwa meski Indonesia telah merancang peta jalan pasar karbon, tingkat implementasinya masih jauh dari memadai untuk memenuhi standar internasional.

Kritikalitas Pendanaan

Upaya pendanaan USD 100 miliar per tahun yang dijanjikan untuk negara berkembang tidak sepenuhnya terealisasi. Hadirnya New Collective Quantified Goal (NCQG), Indonesia memiliki peluang untuk mengamankan dukungan finansial baru, terutama dalam mendukung percepatan peralihan pada energi terbarukan. Namun keberhasilan dalam pengamanan dana dukungan dipengaruhi besar dengan transparansi dalam pengelolaan dana iklim. Sebuah studi oleh Climate Action Tracker menunjukkan bahwa kurangnya akuntabilitas dalam implementasi proyek hijau sering menjadi penghalang bagi negara berkembang untuk mendapatkan pendanaan iklim tambahan.

Peluang terulangnya kebijakan Donald Trump yang tidak berpihak pada iklim, dapat berdampak langsung pada inisiatif pendanaan iklim seperti Climate Finance Action Fund (CFAF). CFAF merupakan himpunan dana sukarela dari negara-negara penghasil bahan bakar fosil untuk mendukung aksi iklim di negara berkembang. Kebijakan Donald Trump yang pro energi fosil akan mempengaruhi menurunnya peluang pendanaan dan menambah beban bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk menjadi COP29 sebagai momentum untuk memimpin negara-negara berkembang dalam memperjuangkan pendanaan yang lebih inklusif dan adil. Mengingat ada target NDC pada tahun 2050 yang harus dicapai, Indonesia harus siap dengan strategi mitigasi, adaptasi, dan transisi energi.

Sebagai negara dengan potensi energi terbarukan yang melimpah dari panas bumi hingga energi surya. Indonesia memiliki posisi unik untuk menarik investasi internasional sembari menurunkan emisi domestik. Dengan komitmen yang kuat, transparansi dalam pengelolaan dana, dan strategi aliansi yang tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran kunci dalam upaya global mengatasi krisis iklim.

Keberhasilan dalam forum ini tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia, tetapi juga memastikan ketahanan iklim domestik yang lebih baik kedepannya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Masyita Crystallin

Ekonom Senior dan Pakar Ekonomi Hijau

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler