Sangarnya Pertarungan Jokowi vs Banteng Ketaton di Pilgub Jateng 2024

Selasa, 26 November 2024 07:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content2
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilgub Jateng 2024 lebih dari sekadar pemilihan gubernur. Ini juga menjadi pertarungan antara loyalitas terhadap ideologi PDI-P dan pragmatisme politik ala Jokowi.\xd

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2024 diprediksi menjadi panggung politik yang penuh dinamika, mengingat posisi strategis provinsi ini dalam peta politik nasional. Sejak Jokowi menjadi presiden pada 2014, pengaruhnya di politik nasional dan regional terus berkembang. Meskipun berasal dari PDI-P, Jokowi sering kali bertindak di luar keputusan partai, menciptakan ketegangan dalam hubungan antara dirinya dan PDI-P, khususnya menjelang Pilgub Jateng 2024, di mana pengaruhnya diperkirakan sangat besar.

PDI-P yang sering dijuluki Banteng Ketaton atau banteng yang terluka, menggambarkan kondisi partai yang merasa ditinggalkan oleh Jokowi, seorang kader yang kini dianggap tidak sejalan dengan keputusan partai. Hal ini menunjukkan bahwa meski PDI-P memiliki kekuatan yang solid di Jawa Tengah, dinamika politik internal dan eksternal semakin menguji ketahanan partai. Konflik kepentingan antara kader partai dan loyalis Jokowi semakin memperumit situasi politik di provinsi ini.

Pilgub Jateng 2024 lebih dari sekadar pemilihan gubernur; ini juga menjadi pertarungan antara loyalitas terhadap ideologi PDI-P dan pragmatisme politik yang dibawa oleh Jokowi. Kekuatan politik Jokowi yang masih besar akan memengaruhi peta politik Jawa Tengah, di mana kandidat yang muncul kemungkinan mencerminkan benturan antara dua arus besar dalam partai.

Turun Gunung Kampanye Ahmad Luthfi-Taj Yasin

Jokowi secara terbuka mendukung pasangan calon gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi-Taj Yasin, dengan intensitas yang semakin tinggi menjelang Pemilihan Gubernur 2024. Dalam beberapa minggu terakhir, Jokowi hadir langsung dalam kampanye pasangan ini di berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Banyumas, Tegal, Klaten, Blora, dan Semarang. Langkah ini merupakan strategi politik yang tidak hanya menunjukkan dukungan kepada pasangan tersebut, tetapi juga bertujuan untuk memastikan kesinambungan pembangunan daerah yang sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat yang dipimpin Jokowi. Keterlibatan langsung Jokowi menegaskan pengaruh politiknya yang masih besar di Jawa Tengah.

Dukungan terhadap Ahmad Luthfi-Taj Yasin juga didorong oleh gabungan kekuatan dari 9 partai politik besar, termasuk Nasdem, PKS, PAN, PKB, Golkar, Gerindra, PPP, Demokrat, dan PSI, yang menguasai hampir 70% suara sah pada Pemilu Legislatif 2024 di Jawa Tengah. Secara keseluruhan, partai-partai ini mengantongi 72,5% kursi di DPRD Jawa Tengah, yang memberikan pasangan Luthfi-Taj Yasin basis kekuatan politik yang solid. Peran Jokowi dalam menyatukan kekuatan politik ini semakin menegaskan posisinya sebagai sosok yang mampu mempengaruhi arah politik lokal, sekaligus memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.

Kemenangan Luthfi-Taj Yasin di Pilgub Jawa Tengah dianggap krusial untuk melanjutkan proyek pembangunan strategis seperti Kawasan Industri Batang dan percepatan jalur logistik yang menjadi prioritas nasional. Pasangan ini dipandang sebagai sosok yang progresif dan memiliki visi pembangunan yang sejalan dengan Jokowi. Selain itu, mereka dianggap memiliki kapabilitas dan loyalitas yang diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan mendukung kebijakan pusat, yang menjadi kunci dalam menjaga kesinambungan agenda pembangunan nasional di Jawa Tengah.

Secara keseluruhan, langkah Jokowi untuk turun gunung dalam mendukung Luthfi-Taj Yasin lebih dari sekadar kampanye politik. Ini merupakan bagian dari strategi besar untuk menjaga pengaruh politiknya setelah masa jabatannya berakhir dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah pusat tetap berjalan lancar. Pilgub Jawa Tengah 2024 menjadi ujian penting bagi Jokowi untuk mengukur sejauh mana dia mampu mempertahankan relevansi politiknya di tengah transisi kepemimpinan nasional, sambil memastikan agenda pembangunan yang telah dimulai tetap terlaksana.

Melihat Kekuatan Banteng Ketaton

PDI Perjuangan, yang sering dijuluki Banteng Ketaton memiliki basis politik kuat di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai salah satu "kandang banteng." Dukungan terhadap pasangan Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi (Hendi) pada Pilgub Jawa Tengah 2024 mencerminkan strategi partai untuk mempertahankan dominasinya di daerah tersebut. Dengan menggabungkan figur nasional seperti Andika, mantan Panglima TNI, dan Hendi, mantan Wali Kota Semarang yang populer di akar rumput, PDI Perjuangan berupaya memperkuat kombinasi kekuatan lokal dan nasional guna menghadapi persaingan politik yang ketat.

Secara elektoral, PDI Perjuangan memiliki keunggulan awal dengan perolehan suara 5,27 juta atau 26,5% suara sah pada Pemilu DPRD Jateng 2024 dan menguasai 33 kursi (27,5%) di DPRD provinsi. Meski demikian, pasangan Andika-Hendi menghadapi lawan dengan dukungan parlemen yang jauh lebih besar, yaitu 87 kursi (72,5%). Kendati secara struktur parlemen tertinggal, keunggulan mesin politik PDI Perjuangan, yang solid dari tingkat provinsi hingga desa, menjadi modal utama. Partai ini memiliki tradisi mobilisasi massa yang efektif melalui organisasi sayapnya, seperti Banteng Muda Indonesia, serta jaringan loyalis yang terkoordinasi.

Daya tarik pasangan ini tidak hanya bertumpu pada kekuatan struktural partai. Andika Perkasa menawarkan citra pemimpin militer yang tegas, sementara Hendi membawa pengalaman serta hubungan emosional dengan masyarakat lokal, khususnya di Semarang. Kombinasi ini memungkinkan mereka menjangkau berbagai segmen pemilih, termasuk pemilih muda dan tradisionalis yang menjadi basis utama PDI Perjuangan. Namun, keberhasilan mereka juga bergantung pada kemampuan menjawab tantangan politik, termasuk dinamika internal PDI Perjuangan yang kerap menghadapi ketegangan antara kader senior dan muda, serta meningkatnya pengaruh partai-partai oposisi.

Pada akhirnya, kekuatan Banteng Ketaton dalam mendukung Andika-Hendi mencerminkan sinergi antara mesin politik yang solid, figur kandidat yang kompeten, dan sejarah panjang PDI Perjuangan di Jawa Tengah. Namun, untuk mempertahankan dominasi, pasangan ini harus mampu menghadirkan program kerja konkret yang relevan bagi masyarakat. Pilgub Jateng 2024 menjadi ajang pembuktian apakah PDI Perjuangan masih menjadi kekuatan dominan di Jawa Tengah atau takluk pada kekuatan Jokowi sebagai figur yang memiliki popularitas tinggi.

Pertarungan Legitimasi Jokowi vs PDI-P

Pertarungan legitimasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan PDI Perjuangan (PDI-P) telah menjadi isu utama dalam politik Indonesia jelang Pilpres 2024. Meski Jokowi adalah kader PDI-P, hubungan keduanya seringkali dinamis, bahkan tampak saling bersaing dalam beberapa konteks politik strategis. Berdasarkan data lapangan, semakin banyak indikasi bahwa Jokowi mencoba mengonsolidasikan pengaruh politiknya melalui figur-figur di luar kendali penuh partai, seperti kandidat independen atau mereka yang memiliki loyalitas personal terhadapnya. Menurut Max Weber, legitimasi politik memiliki tiga basis utama—tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Dalam hal ini, Jokowi tampaknya lebih mengandalkan legitimasi karismatik dan kinerja personal, berbeda dengan PDI-P yang mengandalkan legitimasi tradisional berbasis struktur partai dan simbol ideologis Soekarno.

Dalam konteks ini, kekuatan legitimasi karismatik Jokowi terlihat dari popularitasnya yang konsisten tinggi, bahkan melampaui PDI-P sebagai institusi. Data survei menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap Jokowi tidak selalu otomatis berpindah ke partai yang menaunginya. Hal ini mencerminkan fenomena yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai "otonomisasi pemimpin," di mana pemimpin yang sangat populer dapat menjadi kekuatan independen yang berdiri di luar kendali struktur partai. Pendekatan Jokowi untuk secara langsung mendukung calon-calon tertentu di luar preferensi formal partai - seperti Luthfi-Yasin atau kandidat lain dalam Pilkada strategis - menggarisbawahi konflik legitimasi ini.

Namun, dari perspektif teori institusionalisme politik, PDI-P tetap memiliki keunggulan sebagai organisasi yang mapan dengan jaringan struktural yang kuat. Robert Michels dalam Iron Law of Oligarchy mengemukakan bahwa partai politik yang besar cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan melalui elit-elitnya, sehingga mengurangi ruang bagi individu seperti Jokowi untuk memengaruhi arah partai secara penuh. Di satu sisi, ini memberikan PDI-P keunggulan dalam mobilisasi struktural; di sisi lain, ini menciptakan resistensi terhadap upaya Jokowi untuk meraih legitimasi penuh tanpa harus tunduk pada hierarki partai. Ketegangan ini mencerminkan dilema antara kekuatan individu yang berbasis karisma dengan kekuatan kolektif yang berbasis institusi.

Pertarungan ini juga dapat dilihat melalui lensa teori hegemoni Antonio Gramsci, yang menekankan pentingnya dominasi ideologis dalam mempertahankan kekuasaan. Jokowi, yang lebih dikenal dengan gaya politik pragmatis dan berorientasi pada hasil, sering kali dianggap tidak sepenuhnya selaras dengan ideologi "Marhaenisme" PDI-P.

Ini menjadi celah yang dimanfaatkan PDI-P untuk mempertahankan hegemoni politiknya dengan memposisikan diri sebagai pewaris sah ideologi Soekarno. Namun, dalam konteks ini, Jokowi tampaknya membangun "counter-hegemony" melalui popularitas pribadinya dan dukungan dari kalangan masyarakat yang lebih luas, termasuk aktor-aktor politik di luar PDI-P.

Pada akhirnya, pertarungan legitimasi antara Jokowi dan PDI-P mencerminkan dinamika politik modern yang semakin kompleks, di mana personalisasi politik menjadi tantangan bagi dominasi tradisional partai politik. Jika Jokowi mampu mempertahankan legitimasi karismatiknya sambil memanfaatkan dukungan luas masyarakat, ia dapat menjadi aktor politik independen yang lebih kuat dari struktur partai.

Namun, tanpa dukungan institusional yang kuat seperti PDI-P, Jokowi tetap menghadapi risiko terbatasnya pengaruh dalam jangka panjang. Pertarungan ini menjadi penting untuk diamati karena hasilnya tidak hanya memengaruhi Pilpres 2024, tetapi juga lanskap politik Indonesia di masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Saif Ali

Mahasiswa Magister Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler