Guru di Persimpangan Hukum: antara Disiplin dan Perlindungan Anak

Kamis, 28 November 2024 08:05 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di balik kerangka hukum yang semestinya melindungi guru dan siswa, implementasi yang lemah justru sering memperparah situasi. Guru pun terjebak dalam posisi rentan.

Fenomena kekerasan terhadap guru di Indonesia terus meningkat, menimbulkan kekhawatiran mendalam di masyarakat. Berdasarkan laporan, 29,9% guru dilaporkan terlibat dalam insiden kekerasan di sekolah, baik sebagai pelaku maupun korban. Ironisnya, saat guru berupaya menegakkan disiplin, mereka justru dihadapkan pada dilema besar antara tanggung jawab profesional dan risiko kriminalisasi di bawah payung Undang-Undang Perlindungan Anak.

Konflik antara kewajiban pendisiplinan dan perlindungan anak ini membentuk dinamika yang kompleks. Tindakan guru yang bertujuan baik untuk pembentukan karakter siswa kerap disalahartikan sebagai kekerasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di balik kerangka hukum yang semestinya melindungi guru dan siswa, implementasi yang lemah justru sering memperparah situasi. Guru pun terjebak dalam posisi rentan, takut menegakkan disiplin yang berpotensi berujung pada ancaman hukum.

Untuk mengatasi situasi ini, para ahli mendorong agar guru menghindari segala bentuk kekerasan dalam pendidikan dan mengadopsi metode inovatif yang mengedepankan hak asasi manusia. Selain itu, pemerintah daerah didesak melakukan tindakan preventif, bahkan merevisi atau menyusun kebijakan baru demi perlindungan lebih baik bagi guru agar tidak terancam kriminalisasi saat melaksanakan tugas mereka.

Kasus Persekusi Guru

Kasus persekusi terhadap guru semakin sering terdengar di telinga publik, terutama saat mereka berupaya mendisiplinkan siswanya. Berbagai insiden ini tidak hanya mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis guru, tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru sebagai pendidik.

Beberapa kisah tragis belakangan ini dialami guru-guru di Indonesia. Pada 2016 seorang Guru SMP Raden Rahmat di Surabaya bernama Pak Sambudi dijatuhi hukuman penjara tiga bulan karena mencubit siswanya. Lalu pada 2023 seorang guru SMA Negeri 7 Bengkulu bernama Pak Zaharman bahkan mendapat persekusi hingga mengalami kebutaan akibat serangan ketapel oleh orang tua siswa yang tidak terima anaknya ditegur. Dua kisah tragis ini memperlihatkan betapa rentannya posisi guru dalam menegakkan disiplin di sekolah.

 Persekusi terhadap guru tak hanya terjadi pada guru laki-laki, baru-baru ini juga menjerat dua guru perempuan dalam kasus berbeda. Awal tahun 2024, Seorang Guru SD Darul Ulum di Jombang bernama Ibu Khusnul, dijadikan tersangka oleh polisi karena muridnya cedera saat bermain. Hal ini menggambarkan betapa rentannya posisi guru di hadapan hukum meskipun mereka tidak berniat melukai siswanya. Kasus terbaru dialami seorang guru SD Negeri 4 Baitung Sulawesi Tenggara. Guru SD bernama Ibu Supriyani terancam mendekam di penjara atas tuduhan memukul siswa yang ternyata anak seorang polisi.

Dari beberapa rentetan kasus persekusi guru di atas terjadi di semua instansi pendidikan, baik SD, SMP hingga SMA. Hal ini menggambarkan betapa besar risiko nyata yang dihadapi guru selaku pendidik ketika berupa menegakkan disiplin di sekolah.

Ancaman jeratan persekusi terhadap guru ini, kerap terjadi lantaran penegakan aturan yang terlalu kaku, dalam hal ini penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76C yang melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk yang terjadi di lingkungan pendidikan. Pasal 9 Ayat (1a) mengatur bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh pendidik maupun siswa lainnya.

Secara prinsip, aturan ini bertujuan mulia untuk menjamin hak anak belajar di lingkungan yang aman. Namun, penerapan yang kaku dan tanpa konteks justru menciptakan ancaman tersendiri bagi guru yang beritikad baik dalam mendisiplinkan siswa demi tujusn pendidikan.

Dilema Guru dalam Menegakkan Disiplin

Melihat fenomena ini, posisi guru seakan menjadi sangat dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki tugas untuk membentuk karakter siswa agar disiplin dan memiliki moral yang baik. Namun, di sisi lain, mereka harus berhati-hati agar tidak dianggap sebagai kekerasan yang bisa berujung pada tuntutan hukum.

Menurut Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dilarang di sekolah, namun peraturan ini kerap menimbulkan kebingungan mengenai batasan antara disiplin yang wajar dan kekerasan.

Meminjam tujuan pendidikan menurut Emile Durkheim bahwa bukan hanya sarana untuk mentransfer ilmu, tetapi juga untuk mengajarkan moralitas. Dalam pandangan Durkheim, sekolah adalah agen sosialisasi penting yang membentuk nilai-nilai moral di masyarakat, dan guru adalah otoritas moral yang bertanggung jawab dalam menegakkan disiplin.

Jika guru kehilangan otoritas ini karena takut dikriminalisasi, maka proses sosialisasi dan pembentukan karakter siswa akan terganggu. Kasus seperti Ibu Khusnul, yang menjadi tersangka karena muridnya cedera saat bermain, menggambarkan betapa rentannya posisi guru di mata hukum meskipun mereka tidak berniat melukai siswa.

Dari perspektif perkembangan moral anak, Jean Piaget juga menekankan bahwa anak-anak memerlukan batasan yang jelas untuk memahami aturan dan tanggung jawab. Batasan ini biasanya diberikan oleh figur otoritas, seperti guru, yang membantu siswa memahami konsekuensi atas tindakan mereka. Jika para pendidik merasa takut untuk menegakkan kedisiplinan karena ancaman kriminalisasi, maka anak-anak kehilangan figur otoritas ini. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada lemahnya rasa disiplin dan tanggung jawab siswa, yang pada akhirnya akan menghambat proses pendewasaan mereka.

Mengapa Perlindungan Terhadap Guru Dibutuhkan?

Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan terkemuka, mengajukan bahwa guru perlu diberikan otonomi dalam mendidik. Freire menekankan bahwa pendidikan adalah proses dialogis, dan guru harus memiliki kewenangan untuk berinteraksi secara bebas dan otentik dengan siswa untuk membimbing mereka ke arah yang lebih baik.

Dalam situasi di mana guru terus-menerus terancam oleh tuntutan hukum karena tindakan disiplin, otonomi ini hilang, dan guru hanya akan merasa perlu untuk menjaga diri agar terhindar dari risiko hukum, bukan fokus pada pembentukan karakter siswa.

Masyarakat dan pemerintah perlu memahami bahwa guru bukanlah ancaman, tetapi penjaga moral yang bertujuan baik dalam mendidik generasi penerus bangsa. Jika undang-undang diterapkan terlalu ketat hingga mengorbankan otoritas guru, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan.

Guru yang seharusnya dihormati malah ditakuti dan diperlakukan seperti penjahat ketika mendisiplinkan siswa. Ketakutan yang terus-menerus dirasakan para pendidik berisiko menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.

Kebijakan yang Ideal: Keseimbangan antara Perlindungan Anak dan Otonomi Guru

Untuk menciptakan keseimbangan antara hak anak dan otoritas guru, beberapa langkah kebijakan perlu diterapkan secara strategis. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah disiplin restoratif, yang berfokus pada pemulihan hubungan dibandingkan dengan penerapan hukuman fisik. Alfie Kohn, seorang ahli pendidikan progresif, mengadvokasi pendekatan ini karena dinilai lebih manusiawi dan efektif dalam jangka panjang.

Pelatihan disiplin restoratif bagi guru akan memberikan mereka metode untuk menegakkan aturan tanpa takut akan risiko kriminalisasi. Di samping itu, sinergi antara orang tua dan guru dapat dibangun melalui pertemuan rutin guna menetapkan batasan disiplin yang jelas di sekolah. Dengan pemahaman bersama ini, orang tua dapat melihat tindakan guru, sehingga konflik yang berujung pada tuntutan hukum bisa diminimalisir.

Selain itu, penting bagi kebijakan perlindungan anak untuk memberikan mekanisme perlindungan bagi guru yang bertindak dengan itikad baik dalam mendisiplinkan siswa. Sistem hukum yang mampu membedakan disiplin positif dari tindakan kekerasan yang melanggar hak anak dapat memberikan rasa aman bagi guru dalam menjalankan tugas mereka. Pendidikan karakter juga perlu terintegrasi dalam kurikulum sekolah agar guru tidak perlu mengandalkan hukuman fisik sebagai metode disiplin, melainkan dapat membentuk karakter siswa secara positif.

Dengan adanya program pendidikan karakter ini, nilai-nilai positif dapat ditanamkan sejak dini, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perkembangan siswa dan mengurangi konflik antara hak anak dan peran pendisiplinan guru.

Membutuhkan Kebijakan yang Adil bagi Guru dan Siswa

Kasus-kasus seperti yang dialami Pak Sambudi, Ibu Supriyani, dan Pak Zaharman menyoroti pentingnya perlindungan terhadap guru dalam mendisiplinkan siswa. UU Perlindungan Anak bertujuan melindungi anak-anak dari kekerasan, tetapi penerapan yang kaku berpotensi membelenggu otoritas guru. Kebijakan yang seimbang sangat diperlukan untuk menjamin keamanan siswa dan kebebasan guru dalam mendidik dengan bijaksana.

Pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat perlu berkomitmen untuk memberikan ruang bagi guru dalam mendidik siswa dengan otonomi yang seimbang, tanpa ancaman kriminalisasi. Dengan sinergi antara orang tua, guru, dan sistem hukum, kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat, menghasilkan generasi yang disiplin, bermoral, dan siap menjadi pemimpin di masa depan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
muhammad habib ash shiddiqi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler