Saya Azka Cholif Hamzah, seorang mahasiswa yang memiliki minat dalam menulis artikel opini terkait isu-isu ekonomi dan sosial.
Kebangkrutan PT Sritex: Pelajaran dari Krisis Likuiditas dan Manajemen Risiko Keuangan yang Lemah
4 hari laluKrisis keuangan PT Sritex diwarnai likuiditas rendah, utang tinggi, dan manajemen risiko lemah. Temukan analisis lengkap penyebab dan pelajaran dari kasus ini.
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang berbasis di Solo, kini berada di ambang kebangkrutan. Selain karena terkena dampak akibat pandemi covid 19, Ketergantungan tinggi pada utang menjadi penyebab dari krisis ini. hal itu ditandai dengan melonjaknya jumlah utang jangka pendek, meningkatnya Rasio Utang terhadap Ekuitas (Debt-to-Equity Ratio) yang terjadi pada tahun 2021. Krisis ini mencerminkan masalah likuiditas yang serius, terutama ketika perusahaan tidak mampu mengelola risiko keuangan yang muncul dari ketergantungan tinggi pada utang. Hal tersebut menunjukkan lemahnya manajemen resiko dari pt sritek.
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap, kita akan melihat bagaimana setiap elemen dalam laporan keuangan, dari arus kas operasional hingga rasio utang, memberikan bukti tentang kelemahan finansial yang dialami PT Sritex.”
Pandemi Covid-19 menjadi guncangan besar bagi seluruh sektor perekonomian dunia, termasuk industri tekstil. PT Sritex, yang bergantung pada pasar internasional seperti Eropa dan Amerika Serikat, mengalami penurunan permintaan tekstil secara signifikan. Penjualan neto perusahaan menurun drastis dari USD 1,28 miliar pada tahun 2020 menjadi hanya USD 847 juta pada tahun 2021.
Penurunan pendapatan ini juga diikuti oleh kerugian yang terjadi pada pt sritek. Ini tercermin dalam arus kas operasional yang negatif, yaitu sebesar USD -446 juta, menunjukkan bahwa meskipun ada pendapatan dari penjualan, pengeluaran kas untuk biaya operasional dan pembayaran bunga melebihi kas yang masuk. Ketidak seimbangan antara kas masuk dan kas keluar ini menjadi penyebab utama rendahnya arus kas operasional PT Sritex.Kerugian ini juga menunjukkan kurangnya efisiensi Perusahaan dalam mengubah penjualan menjadi kas , salah satunya disebabkan oleh tingginya piutang usaha yang tertunda pembayarannya. hal ini memperburuk masalah likuiditas, terutama ditengah lonjakan kewajiban jangka pendek.
Krisis likuiditas PT Sritex semakin diperburuk oleh lonjakan utang jangka pendek yang mencapai USD 1,57 miliar pada akhir 2021, naik hamper empat kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah USD 389 juta. Lonjakan ini terjadi karena adanya pemindahan utang jangka panjang menjadi utang jangka pendek karena perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki cukup kas untuk menutupi pembayaran kewajiban utang yang jatuh tempo.
Ketika tanda tanda kesutitan keuangan mulai terlihat perusahaan seharusnya segera melakukan negosiasi dengan pihak kreditut agar dapat memperpanjang jangka waktu pembayaran atau melakukan restrukturisasi pembayaran bunga. Akibatnya, pada awal tahun 2022, PT Sritex terpaksa mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang semakin mencerminkan lemahnya pengelolaan risiko keuangan perusahaan.
Ketergantungan besar PT Sritex pada utang untuk mendanai ekspansi bisnis menjadi sumber utama masalah. Pada tahun 2021, rasio utang terhadap ekuitas (Debt-to-Equity Ratio) melonjak ke angka 4,07, menunjukkan bahwa struktur modal perusahaan sangat tidak seimbang, dengan beban utang jauh melebihi modal ekuitas.
Selain itu, sebagian besar utang perusahaan dalam mata uang asing (USD), yang memperbesar risiko ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Perusahaan gagal menerapkan strategi lindung nilai (hedging) untuk melindungi diri dari fluktuasi nilai tukar, sehingga depresiasi rupiah semakin meningkatkan beban utang. Kondisi ini diperparah oleh rasio cakupan bunga (Interest Coverage Ratio) yang negatif, yaitu -10,16, menunjukkan bahwa laba operasional perusahaan bahkan tidak cukup untuk menutupi beban bunga utangnya
Krisis yang dialami PT Sritex menawarkan pelajaran berharga bagi perusahaan lainnya tentang pentingnya manajemen risiko keuangan yang efektif. Pertama, perusahaan harus memiliki strategi manajemen utang yang lebih berhati-hati, Ketergantungan pada utang dalam mata uang asing harus diimbangi dengan perlindungan risiko yang memadai, seperti kontrak lindung nilai, untuk menghindari eksposur berlebihan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Kedua, manajemen kas yang ketat dan proaktif dalam mengantisipasi perubahan pasar sangat diperlukan untuk menjaga likuiditas. Pengelolaan piutang usaha dan persediaan dengan yang efisien, untuk memastikan bahwa arus kas operasional dapat mencukupi kewajiban jangka pendek.
Ketiga, Perusahaan perlu mengambil langkah restrukturisasi utang yang lebih cepat dan efektif saat tanda-tanda awal krisis muncul. Diversifikasi produk dan pasar juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada segmen pasar tertentu yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi global.
Keempat, Ketergantungan pada utang yang berlebihan harus dihindari. Perusahaan perlu mempertimbangkan untuk meningkatkan ekuitas melalui penerbitan saham baru atau mencari mitra strategis guna memperbaiki rasio utang terhadap ekuitas.
penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler