Menyukai jalanan malam. Dilengkapi dengan basah guyuran hujan dan binar sorot lampu kendaraan.
Seragam Profesi untuk Anak PAUD: Edukasi atau Indoktrinasi?
Kamis, 28 November 2024 16:17 WIBSeragam profesi di PAUD kerap dianggap lucu dan edukatif, tapi benarkah itu murni pengenalan karier? Atau ada risiko membatasi imajinasi anak dan membentuk stereotip sejak dini?
Coba perhatikan, ketika pagi hari para orang tua mengantarkan anaknya ke PAUD, seringkah kamu melihat mereka mengenakan seragam tentara atau polisi. Saya yakin kita semua masyarakat Indonesia dalam skala lokal, regional, maupun nasional pernah melihat pemandangan ini.
Tetapi, pernahkah kamu secara sistemik dan integral berpikir tentang urgensi dan relevansi penggunaan seragam profesi ini? Atau sekadar berburuk sangka bahwa itu adalah bentuk hegemoni warisan Orde Baru?
Saya sedang berburuk sangka, tetapi bukan kepada Orde Baru, melainkan terhadap fenomena penggunaan seragam tentara atau polisi oleh anak-anak PAUD di Indonesia tercinta ini. Dari sudut budaya, saya menganggap itu erosi kebudayaan, dan dari sudut pendidikan saya memandang itu pembajakan karakter.
Mengapa? Begini penjelasannya.
Eksistensi Seragam Profesi di PAUD
Penggunaan seragam profesi di PAUD ini mulai populer sejak Tahun 2010-an. Pada awalnya, penggunaan kostum profesi ini diperkenalkan sebagai bagian dari kegiatan tematik. Eksistensinya adalah sebagai seragam tambahan selain batik dan olahraga. Sedangkan tujuannya yaitu untuk mengenalkan berbagai profesi kepada anak—secara variatif (seperti dokter, pilot, nakhoda, astronaut, termasuk tentara dan polisi).
Selain itu, kostum ini juga kerap digunakan ketika karnaval atau festival hari nasional. Di samping mengenalkan profesi kepada anak, tujuan lainnya untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan sejak dini serta untuk mengembangkan minat dan bakat anak sejak dini.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, formalitas penggunaan kostum atau seragam profesi di PAUD semakin meluas, beberapa PAUD (khususnya di daerah saya) bahkan secara rutin menetapkan hari khusus untuk memakai seragam profesi.
Hal ini diperjelas oleh eks Mendikbud, Nadiem Makarim, yang menggariskan aturan terkait seragam pendidikan di berbagai tingkatan, termasuk tingkat PAUD. Dilansir dari klikpendidikan.id, khusus untuk jenjang PAUD ditetapkan ada empat jenis seragam, yakni batik, pakaian putih-putih, pakaian olahraga, dan seragam tentara atau polisi.
Meski tujuannya untuk menanamkan cita-cita bangsa dan mengenalkan profesi, tetapi muncul sebuah pertanyaan bahwa, pernahkah kita secara seksama memerhatikan dan merenungkan tentang kostum profesi yang lazim dipakai oleh anak-anak tersebut? Mengapa kemudian kostum profesi yang muncul dan ‘laris’ dipakai hanyalah itu-itu saja—tentara dan polisi?
Edukasi Profesi atau Pembajakan Karakter?
Tentu pertanyaan ini dapat kita jawab melalui sebuah pengamatan, bahwa peran guru PAUD dan orang tua dalam menanamkan pendidikan karakter terhadap anak terbilang ‘gagal’. Coba kita perhatikan, berapa banyak guru atau orang tua yang mau berpikir lebih kreatif untuk memilihkan kostum di luar profesi mainstream—tentara dan polisi—tersebut. Mayoritas dari mereka selalu mengambil sikap ‘tak mau ambil pusing’ dengan membuat imajinasi sang anak hanya tersempitkan pada dua pilihan, kalau bukan tentara (angkatan darat, laut dan udara), ya polisi.
Kekacauan sistemik semacam ini semakin diperparah oleh pasar yang lebih banyak menyediakan kostum-kostum klise tersebut. Sehingga, para orang tua mau tidak mau menempuh jalan instan memilih yang ada di pasaran.
Hal ini akan berimbas kepada pembentukan karakter anak yang seharusnya melibatkan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai macam profesi lainnya. Kita sejak kecil seolah ‘dipaksa’ untuk menjadi sama dan diseragamkan, sehingga menjadi berbeda terlihat seperti sebuah dosa.
Masyarakat kita, termasuk dunia pendidikan masih kerap menganggap mereka yang memiliki ketertarikan terhadap hal-hal di luar kebiasaan kultural seperti tidak ada masa depannya. Padahal, sebagai guru ataupun orang tua, penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak-anak kemuliaan profesi tidak bergantung pada seragam atau kostum. Maka kemudian tidak heran jika mayoritas anak-anak yang ketika ditanya “kalau sudah besar ingin jadi apa?” Jawabannya pasti—tidak akan melesat—kalau bukan tentara, ya polisi.
Erosi Kebudayaan
Selain dapat membonsai pemahaman anak akan berbagai profesi lain yang tak kalah penting dalam masyarakat serta mempersempit ruang mereka untuk mengeksplorasi minat, bakat, dan kemampuan kreatif di luar profesi mainstream, ada urgensi dan dampak yang mesti dipertimbangkan secara kritis dari esensi kebijakan penggunaan seragam profesi ini.
Fokus ini jika terus-menerus dilakukan bisa memicu terjadinya erosi kebudayaan dengan mengaburkan peran dan nilai-nilai profesi lokal atau peran budaya yang ada pada masyarakat. Profesi seperti perajin, seniman, pemangku adat, atau budayawan—yang kerap menjadi identitas budaya masyarakat lokal—justru bisa terpinggirkan dan tidak lagi dianggap bernilai.
Padahal, profesi-profesi yang terkesan remeh-temeh tersebut membuat kita bisa mengetahui tradisi dan budaya lokal yang mengandung kearifan dan khazanah yang penting untuk dilestarikan.
Ini penting untuk memberikan kesempatan pada anak agar lebih mengenal keberagaman sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mereka bisa tumbuh dengan pemahaman yang inklusif tentang keberagaman.
Penggunaan Baju Adat/Pakaian Tradisional
Seiring semakin pesatnya arus globalisasi dan modernisasi, mempertahankan budaya lokal merupakan kunci untuk menjaga kekayaan dan identitas bangsa. Budaya lokal merupakan elemen penting yang menjadi dasar suatu bangsa dapat dikatakan unik dan beradab.
Inovasi kebijakan untuk menggunakan pakaian tradisional—ketimbang seragam profesi—oleh anak-anak PAUD dapat menjadi salah satu upaya melestarikan tradisi dan kebudayaan lokal yang semakin kabur dari realitas masyarakat. Penggunaan baju adat atau pakaian tradisional tidak hanya merepresentasikan identitas budaya yang kaya, tetapi juga memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang nilai dan makna yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.
Tentu perlu adanya kolaborasi serta peran konkret antara guru dengan orang tua untuk memfasilitasi dan membuka ruang bagi anak-anak untuk memahami kekayaan dan keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Sehingga dapat menciptakan kesadaran sejak dini akan pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan lokal sebagai harta paling berharga bagi suatu bangsa.
Terakhir, perlu kita ingat bahwa pendidikan bukan untuk membentuk kita menjadi manusia pekerja (profesi), melainkan untuk memberikan pemahaman akan budi pekerti, nilai, kebijaksanaan, kemanusiaan, dan keadilan, serta cinta kasih universal, juga kebahagiaan.
Mahasiswa Sejarah
1 Pengikut
Seragam Profesi untuk Anak PAUD: Edukasi atau Indoktrinasi?
Kamis, 28 November 2024 16:17 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler