Masih Perlukah Meminta Maaf, dan Menanamkan Norma-Norma Kesopanan Lain Dalam Berteman?

Jumat, 29 November 2024 20:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama ini kita terikat pada norma-norma kesopanan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Tidak jelas apakah tradisi ini hanya ada di Indonesia atau sudah menyebar ke berbagai tempat di dunia.

Oleh [email protected]

Tumbuh di Indonesia membuat kita terikat pada norma-norma kesopanan yang saat ini sebenarnya tidak terlalu penting. Tidak jelas apakah tradisi ini hanya ada di Indonesia atau sudah menyebar ke berbagai tempat di dunia. Mengucapkan minta tolong, maaf, berjabat tangan, atau mungkin seperti yang di lakukan pada masa pandemi lalu dengan mengepalkan tangan seperti gaya geng hip-hop zaman dulu, dan lain-lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi saya, ucapan terima kasih atau permintaan tolong yang diawali dengan ungkapan, “Eh, tolong dong…” atau tos saat berjumpa dengan teman yang sudah sangat dekat, yang sudah saling mengenal luar dalam itu sudah tidak perlu lagi dilakukan. Saya ingin menegaskan sekali lagi bagi teman yang sudah sangat dekat, yang sudah saling mengenal luar dan dalam kepribadiannya masing-masing.

Di dalam sebuah perkumpulan yang terdiri dari teman-teman yang sudah sangat akrab, misalnya, apakah ada yang merasa marah atau tersinggung jika kita ingin pergi tanpa berjabat tangan?

Apakah cukup hanya dengan mengatakan, “Saya pergi, ya…”, jika jumlah orangnya 3-4 mungkin masih bisa untuk saling berjabat tangan atau tos, tetapi jika lebih dari 10 orang? Waktu orang tersebut akan terbuang sia-sia untuk aktivitas yang tidak terlalu penting seperti tos atau jabat tangan. Sekali lagi, ini hanya berlaku untuk kelompok pertemanan yang sudah sangat akrab dan tidak terkait dengan urusan keagamaan tentunya.

Lalu meminta maaf, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata maaf adalah ungkapan permintaan ampun atau penyesalan. Dalam hal ini, tentu kata maaf masih tetap di perlukan dalam pertemanan yang sudah sangat akrab ataupun tidak.

Akan tetapi dalam sebuah perkumpulan pertemanan zaman sekarang, kita masih belum terbebas dari berbicara kasar. Sebagian orang mungkin akan sakit hati jika teman yang sudah sangat akrabnya berkata kasar di depannya. Menurut saya kalau kita sendiri masih suka berkata kasar apa kita perlu sakit hati atau meminta maaf kepada teman dekat kita sendiri? Walaupun berkata kasar itu tetaplah tidak baik ya. maka dari itu kita yang sudah paham dan dewasa harus saling mengingatkan sesama teman kita sendiri.

Lalu meminta tolong diawali dengan ungkapan, “Eh, bisa ambilkan piring itu?” misalnya. Banyak yang mengatakan bahwa kata tolong digunakan untuk memperhalus kalimat, padahal meskipun tidak ada kata tolong dalam kalimat perintah tersebut, dalam konteks persahabatan yang sudah dekat, itu tetap akan terasa biasa saja.

Apakah teman dekatmu akan merasa marah jika kalimat perintah tersebut tidak mengandung kata tolong? Sepertinya tidak. Jadi, mengapa kita masih menggunakan kata tolong dalam interaksi yang sudah sangat akrab ini? Mengapa kita telah terbebas dari ungkapan jancuk, anjir atau istilah lain yang dulu dianggap kasar tetapi sekarang dianggap sebagai ungkapan sehari-hari? Namun, mengapa kita masih belum lepas dari penggunaan kata tolong sebagai bentuk penyikapan kepada teman akrab?

Selanjutnya bilang terima kasih. Ya, saya sepakat bahwa kata ini simpel, tetapi sekali lagi, apakah kita perlu mengatakannya kepada teman dekat? Kata terima kasih diucapkan ketika orang lain telah membantu kita, lalu kita mengungkapkan rasa terima kasih karena bantuan itu.

Jika saya berada dalam posisi sebagai penolong, saya sama sekali tidak akan merasa keberatan atau tersinggung jika setelah saya membantu orang lain tidak mengucapkan terima kasih. Karena, sudah seharusnya, ketika seseorang diminta tolong, ia akan memberikan bantuan, terutama jika orang tersebut adalah teman dekatnya.

Tapi ada yang berpendapat hal itu cara mengungkapkan rasa syukur yang sulit diungkapkan kepada yang membantu, oleh karena itu muncul ucapan terima kasih. Nah, yang menciptakan budaya seperti ini adalah rasa tidak enakan. Kita masih mengira bahwa mengucapkan terima kasih adalah suatu ungkapan yang mulia dan berharga, padahal jika kita sepakat bahwa ucapan terima kasih itu tidak perlu, kita akan terbebas dari perasaan tidak enak.

Sebagai contoh, saya dibantu oleh teman, tetapi saya lupa untuk berterima kasih dan teman saya sudah pergi. Akibatnya, kita merasa tidak nyaman karena tidak mengucapkan terima kasih. Banyak orang di media sosial aktif mengajari orang lain untuk berani berkata tidak dan melepaskan rasa tidak enakan, namun ada beberapa orang yang justru mempertahankan perasaan tersebut. Aneh.

Nah, beberapa tradisi atau budaya yang telah disebutkan sebelumnya sebenarnya dapat kita analisis lebih dalam, dan sepertinya tidak ada dampaknya jika kita sepakat melakukannya dengan syarat dan ketentuan bahwa itu hanya boleh dilakukan dengan teman dekat yang sudah sangat mengenal satu sama lain.

Hal-hal yang saya sebutkan di atas, saya duga dipengaruhi oleh orang-orang zaman dulu yang mungkin bisa disebut sangat gila hormat. Seperti yang kita ketahui, beberapa bahasa daerah memiliki tingkat bahasa masing-masing. Saya menduga ini diciptakan oleh raja-raja zaman dulu agar rakyatnya sepenuhnya menghormati mereka.

Yang lebih mengherankan lagi, di zaman sekarang, cara berpakaian pun ada klasifikasinya: sopan dan tidak sopan. Menggunakan celana pendek di tempat pemerintahan dianggap tidak sopan. 

Dari semua yang saya uraikan di atas membuktikan bahwa kita masih terjebak dalam kesopansantunan semu, yang padahal konsep tersebut sudah usang seiring perkembangan zaman.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler