Kaji
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBCatatan kecil perjalanan seorang 'Bapak'
Ramadhan 1364 Hijriyah, ia disekap bersama banyak pimpinan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di sebuah pusat komando, dalam satu acara berkedok pelatihan. Jepang berusaha memecah kekuatan setelah sebelumnya PETA memberontak di beberapa tempat> Di antaranya Blitar dan Gumilir-Cilacap. Tak ada yang sadar itu bertujuan menjauhkan para pemimpin dari pasukan sampai hari kesembilan puasa. Sumber lain menyebut hari kesepuluh, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menggaung ke mana-mana menjangkau telinga-telinga. Peserta-peserta pelatihan mulai paham mereka tawanan.
Ia memimpin pelarian. Awalnya gagal, namun keinginan membebaskan diri untuk kembali bersatu dengan pasukan membulat kuat. Suatu ketika, dipekiknya takbir luapan tekad dengan keinsafan penuh hanya Tuhan Maha Besar, “Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...!” Keagungan asma Tuhan menggaung langsung bersahutan memompa semangat tawanan-tawanan seperti membuat serdadu-serdadu Jepang tiba-tiba hilang kewaspadaan. Seijin Tuhan, ia bersama beberapa komandan PETA akhirnya lolos keluar pengasingan.
Beberapa orang mengusulkan penghancuran barak Jepang, tapi ia mencegah. Strateginya, semua harus segera kembali ke daerah, mengorganisir pasukan, melucuti Jepang, memperkuat identitas Indonesia merdeka. Taktiknya spontan tapi jelas lebih masuk akal dibanding rencana penyerangan terhadap Jepang di satu titik, yang lebih mirip pelampiasan marah, malah mungkin jadi bunuh diri karena angkatan perang Jepang masih kuat sekitar proklamasi. Komandan-komandan PETA meyanggupi. Ia sendiri pulang ke Banyumas dan, masih di tengah puasa, dipimpinnya pasukan dalam pertempuran-pertempuran menandingi beberapa Jepang yang enggan menyerahkan senjata mengakui Indonesia merdeka.
Ketaatannya pada Tuhan bukan saja lisan, namun jelas dalam lakunya selama menjadi tentara, bahkan sejak belia. Pernah bertugas di Badan Pengurus Makanan Rakyat bentukan Jepang, ia terkenal membebaskan kaum miskin dari keharusan mengumpulkan hasil bumi ke Jepang, malah dibantunya rakyat mengelola pertanian mencukupi kebutuhan makanan bersama menghindari kelaparan dengan membangun koperasi. Rakyat mengenal dekat sosoknya hingga sering ia diminta ikut mengurusi soal sehari-hari, dari menjadi kadi untuk menikahkan pasangan pengantin, sampai mengobati orang sakit. Kalau sudah bermain bola, yang kegemarannya, ia sering didaulat menjadi wasit, karena orang mengenal sifat jujurnya.
Baginya tentara bukan terpisah dari rakyat, bukan golongan tersendiri dalam masyarakat, karena tentara adalah rakyat bahkan dengan tanggung jawab lebih yang harus sanggup diemban. Selain terus disampaikan pada pasukan-pasukan selama menjadi pemimpin, nilai-nilai baik pemikiran dan teladan sikapnya mengejawantah dalam jiwa tentara Indonesia seperti Sapta Marga sampai Sumpah Prajurit. Tuntunan sikap yang kemudian diresmikan menjadi Delapan Wajib TNI, diantaranya bersikap ramah-tamah terhadap rakyat, bersikap sopan-santun terhadap rakyat, senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaan, tidak sekali-kali merugikan rakyat, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti rakyat, menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha mengatasi kesulitan rakyat sekeliling, menggambarkan jelas keteladanan figurnya.
Saat menjadi panglima, kebiasaannya adalah memperlakukan para prajurit seperti anak-anak kandung. Mengawali pesan, sambutan, petuah sebelum pertempuran atau memperkuat pasukan sering dipilihnya kata-kata, “Anak-anakku,....” Kebiasaan itu dijunjung sampai sekarang menjadi tradisi sehingga hubungan komandan dan prajurit dalam ketentaraan Indonesia seperti pertalian ayah-anak. Tanggung jawab penuh, layaknya kasih sayang Bapak ke anak, membawanya teguh berada di tengah pasukan kondisi gering akut sekalipun. Kecintaan rakyat lalu terbukti. Tandu dibuat untuknya demi mengangkut tubuh ringkih dan diusung berganti-ganti, satu kota ke kota lain, sepanjang rute taktik gerilya arahannya.
Ia divonis dokter menderita tuberkulosis berat dengan paru-paru berfungsi hanya sebelah. Penyakit ini diderita lama dan makin parah akibat rokok kretek seperti tak pernah lepas dari hari-harinya ditambah dingin malam konsekuensi perjalanan gerilya. Sumpah membela Indonesia menahannya tetap memimpin perjuangan. Saran dokter beristirahat total hanya dijawabnya, “Kalau zaman damai, saya akan turuti nasehat dokter. Tetapi kalau perang seperti sekarang, harap maafkan saja.” Sesekali diucapkannya juga, “Yang sakit itu Soedirman. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia tak pernah sakit.”
Pemimpin tentara ini kita kenal sebagai Panglima Besar Jenderal Soedirman, sering dipanggil Kaji. Beberapa bulan sepulang gerilya, Jenderal Soedirman wafat di usia tiga puluh empat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Andai Saya Jurnalis, Kemarin
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBTentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler