x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lima Memoir Perjuangan Hidup Melawan Rasisme

Perbudakan dan diskriminasi ras telah berusia sangat tua. Lima memoir ini dapat jadi pengingat keburukan yang ditebarkan oleh rasisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Michael Brown, anak muda 18 tahun, yang baru lulus dari SMA, tewas oleh peluru yang melesat beruntun dari senjata api seorang polisi, 9 Agustus 2014. Negara bagian Missouri, AS, pun bergejolak—berhari-hari demonstrasi dan aksi protes berlangsung. “I am a man”, “I am a woman”—poster-poster itu diacungkan oleh demonstran, seperti tahun 1960an ketika Amerika bergolak oleh penentangan warga berkulit hitam terhadap rasisme.

Rasisme memiliki sejarah yang tua, sejak awal perbudakan berlangsung. Para penguasa kuno menganggap masyarakat lainnya lebih rendah dan pantas diperlakukan sebagai budak. Namun sejarah telah melahirkan pula pejuang anti-rasisme seperti Malcolm X, Martin Luther King Jr, maupun Nelson Mandela, di samping mereka yang berjuang melalui karya fiksi.

Banyak memoir tentang perjuangan antirasisme, di antara lima judul berikut ini. Buku-buku ini, dalam hemat saya, sangat menginspirasi dan relevan sampai kapanpun sebagai pengingat bahwa betapapun kejinya perbudakan dan diskriminasi ras, keduanya tak akan sanggup menghancurkan harapan dan spirit kemerdekaan manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

LONG WALK TO FREEDOM, Nelson Mandela

Mandela memulai kisah hidupnya dengan menceritakan masa kecilnya di Afrika Selatan. Nama kecilnya adalah Rolihlahla, yang secara longgar dimaknai sebagai ‘mematahkan cabang sebatang pohon’ atau sebagai eufimisme untuk ‘tukang bikin onar’.

Sekitar 27 tahun usia Mandela habis di penjara rezim Apartheid karena kepemimpinannya dalam menentang penindasan rasial di tanah airnya. Sebagai pemimpin Kongres Nasional Afrika, ia menyerukan penghapusan Apartheid dan mendorong pemerintahan multirasial.

Salah satu pelajaran penting dari hidup Mandela ialah kesabarannya dalam berjuang. Ia bukanlah pejuang dari jenis yang pendendam: ia menentang ideologi Apartheid, tetapi ia tidak membenci orang-orang kulit putih. Ia mengajak kita untuk memasuki ruang hidup pribadinya sebagai suami yang terpaksa bercerai dan sebagai ayah yang sedih berpisah dengan anak-anaknya selama puluhan tahun.

 

MALCOLM X, Malcolm X dan Alex Haley

Malcolm-X sudah meninggal 48 tahun yang silam, tetapi autobiografi yang ia tulis bersama Alex Haley ini (tapi baru dialihbahasakan ke Indonesia baru-baru ini) seperti mengisahkan sesuatu yang aktual. Buku ini, yang ditulis selama dua tahun hingga kematian Malcolm X pada 1965, tetap relevan bahkan untuk kita di sini yang masih terkungkung oleh ilusi akan identitas.

Malcolm-X seolah berbicara langsung kepada pembaca bukan saja perihal perilaku yang kasat mata, tapi juga perasaannya yang paling dalam. Sebagai tokoh sejarah yang sangat menarik perhatian publik, sebagaimana Martin Luther King Jr. yang hidup sezaman, Malcolm-X telah berbicara sejujurnya tentang siapa dirinya.

Ia membuka pintu dan mempersilakan pembaca untuk memasuki kamar gelap yang pernah dihuninya, mencecap rasa perih yang mencekamnya ketika ayahnya dibunuh dengan cara yang siapapun tak ingin mengalami hal serupa, nestapa hidup dalam kemiskinan, serta kepedihan menyaksikan ibunya harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Bukan sekedar tentang gagasan besar yang memandunya untuk keluar dari kegelapan.

Dalam memoir ini, kita bertemu dengan sosok yang mengartikulasikan kemarahan, perjuangan, dan keyakinan kaum Afro-Amerika pada tahun 1960an—yang gemanya masih terdengar hingga kini. Biografi ini memantulkan penggalan sejarah kehidupan bangsa Amerika ketika rasisme masih sangat kuat.

 

THE AUTOBIOGRAPHY OF MARTIN LUTHER KING, Jr., Martin Luther King Jr., Clayborne Carson

Clayborne Carson bekerja keras untuk mengonstruksi sosok aktivis hak-hak asasi manusia ini. Ia menggali bahan-bahan berupa catatan pribadi, korespondensi, rekaman, wawancara, maupun tulisan yang belum dipublikasi yang tersimpan dalam koleksi Stanford University.

Karya ini memotret masa kecil King Jr., pendidikannya, perannya sebagai pemimpin dalam aksi Montgomery Bus Boycott yang berakhir di Mahkamah Agung—para hakim memutuskan bahwa pemisahan tempat duduk di bis umum atas dasar ras merupakan perbuatan melanggar konstitusi, serta demonstrasi hak-hak sipil di Washington, D.C. Juga persahabatannya dengan Malcolm X serta figur penting pada masanya.

Biografi yang inspiratif ini melengkapi berbagai bacaan tentang King Jr. seperti kumpulan tulisan dan pidatonya, A Testament of Hope, Why We Can’t Wait, maupun Martin Luther King Jr.: A Life karya Marshall Frady.

 

I KNOW WHY THE CAGED BIRD SINGS, Maya Angelou

Judul ini merupakan bagian pertama dari memoir Maya Angelou. I Know mengisahkan kehidupan Maya sebagai anak perempuan kecil berkulit hitam yang dikirim oleh ibunya untuk tinggal bersama sang nenek di sebuah kota kecil di kawasan Selatan Amerika.

Di usia 8 tahun, Maya kembali ke samping ibunya dan menetap di St. Louis—salah satu kota di negara bagian Missouri, yang kini tengah bergolak. Di kota ini, Maya kecil diserang lelaki dewasa dan harus menanggungkan kepedihan sepanjang hidupnya hingga ia kemudian belajar menyayangi dirinya sendiri dan orang lain.

Ia berusaha keras menguatkan semangat hidupnya dan memperoleh dukungan dari membaca karya-karya William Shakespeare. “Aku bertemu dan jatuh cinta kepada William,” ujarnya—dan inilah yang membantu membebaskan dirinya dari tawanan masa lalu yang kelam.

 

TWELVE YEARS A SLAVE, Solomon Northup dan David Wilson

Film karya Steve McQueen yang mulai beredar tahun lalu, 12 Years A Slave, berpijak pada sebuah memoir yang terbit pada tahun 1853 dengan judul yang sama. Solomon Northup lahir dan besar sebagai orang bebas (dalam arti bukan budak dan bukan pula budak pelarian) di New York. Ia menghidupkan mimpi Amerika: sebuah rumah dan keluarga yang disayangi—isteri dan dua orang anak.

Solomon bisa membaca dan menulis, bermain biola, dan bercocok tanam maupun menjadi tukang kayu hingga suatu ketika ia didekati oleh dua pria kulit putih yang menawarinya ikut serta dalam pertunjukan musik keliling. Ia pun pergi bersama kedua orang itu ke Washington, D.C. untuk kemudian menyadari bahwa ia telah diculik dan kemudian dijual ke pasar budak di kawasan Selatan Amerika.

Memoir ini mengisahkan hidup Solomon selama 12 tahun sebagai budak di Lousiana. Juga perjuangannya menyalakan terus harapan dan spirit kemerdekaan manusia di tengah beragam kesukaran. Kisah hidupnya menembus zaman dan lewat film McQueen, siapapun mungkin tergerak untuk membaca memoir ini (https://archive.org/details/twelveyearsasla01nortgoog).

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB