x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemasaran, Tantangan Berat Petani Organik Flores

Ini bukan pekerjaan mudah, menurut Martinus. Selama empat tahun menjual beras organik di kios, mereka menghadapi banyak tantangan. Selain karena dinamika organisasi, misalnya keluar masuk pengurus organisasi tani, juga karena terbatasnya konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ruang depan kantor organisasi petani itu masih acak-acakan.
 
Dua tukang sedang memperbaiki atap dan dinding ruangan sekitar 4 x 4 meter tersebut. Kayu-kayu berserakan. Suara-suara orang memaku dan memotong kayu meningkahi teriknya siang di Mbay, Flores pekan lalu.
 
Suasana itu sebenarnya agak mengganggu. Siang itu saya sedang ngobrol dengan pengurus Koperasi Produksi Andalan Tani Organik Mbay (ATOM) di ibu kota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut. 
 
Namun, saya justru senang mendengar cerita di baliknya.
 
“Kami sedang memperluas ruangan. Di depan nanti khusus untuk outlet. Di sini untuk kantor koperasi,” kata Manajer Koperasi Martinus Sirilus Malo. Kami duduk di ruangan belakang. Dua pengurus sedang menyiapkan papan struktur koperasi. Tumpukan beras organik berukuran 10 dan 50 kg ada di dekat pintu ruangan.
 
Perluasan ruangan koperasi itu bisa mewakili bagaimana koperasi milik petani tersebut berkembang. Pembeli beras organik yang mereka jual makin banyak.
 
Tapi, mereka berharap bisa lebih berkembang lagi.
 
Mbay merupakan kawasan pusat pertanian produksi beras di Kabupaten Nagekeo. Kawasan seluas sekitar 3.000 hektar ini bahkan salah satu pusat produksi beras penting bagi Flores selain Lembor di Manggarai Barat.
 
Sejak sekitar lima tahun lalu, sebagian petani di kawasan pantai utara Flores ini berusaha memutus ketergantungan terhadap bahan-bahan pertanian tak ramah lingkungan. Mereka membuat sendiri pupuk dan pestisida organik secara bersama-sama. 
 
Selain lebih murah dan ramah lingkungan, beras produksi mereka pun kini berbeda, lebih sehat dan berkelanjutan.
 
Untuk memasarkan produk tersebut, petani mengelola koperasi sendiri. Kios di kota yang disebut-sebut sebagai calon ibu kota Provinsi Flores – jika jadi memisahkan diri dari NTT- ini dipenuhi beras organik dengan merk “Beras Mbay”.
 
Ada beras merah dan putih. Beras merah seharga Rp 18.000 per kg. Beras putih separuhnya, Rp 9.000 per kg.
 
Penjualan beras organik tersebut naik turun, antara 300 kg hingga 2 ton per bulan. Dan, inilah tantangan utamanya, meningkatkan pemasaran agar makin banyak pembeli.
 
Ini bukan pekerjaan mudah, menurut Martinus. Selama empat tahun menjual beras organik di kios, mereka menghadapi banyak tantangan. Selain karena dinamika organisasi, misalnya keluar masuk pengurus organisasi tani, juga karena terbatasnya konsumen.
 
Umumnya, produk organik menyasar warga dengan status ekonomi lebih tinggi, menengah ke atas. Kelompok ini sudah sadar kesehatan. Tapi, warga kelompok ini tak banyak di Mbay.
 
Maka, petani Mbay melebarkan pemasaran beras organiknya hingga kota-kota tetangga, seperti Ende dan Maumere.
 
Tantangan serupa, susahnya produk pertanian organik dialami pula petani kopi di Bajawa. Tiga kelompok tani yang saya temui di Kabupaten Ngada, salah satu pusat produksi kopi di Flores menceritakan tantangan tak jauh beda dengan petani padi di Mbay.
 
Kelompok petani kopi organik di Ngada tersebar di dua kecamatan yaitu Bajawa dan Golewa. Kedua wilayah ini berada di kaki Gunung Aimere dan menghasilkan kopi khas bernama Arabika Bajawa Flores.
 
Mereka juga sudah bertani secara organik. Pemasaran sudah jelas. Ada salah satu eksportir kopi berkantor di Sidoarjo, Jawa Timur yang rutin membeli kopi mereka. Kopi Bajawa diekspor ke Eropa dan Amerika.
 
Sayangnya sih pembayaran dari pembeli yang tidak lancar. Dari empat kali pengiriman, hingga pekan lalu baru satu kali dibayar. 
 
Marselina Walu Wajamala, petani di Desa Radabata, Golewa mengatakan rata-rata uang yang belum dibayar ke kelompok petani tersebut Rp 30 juta. Sebagian besar petani menjual kopi mereka melalui kelompok tani sebagai bagian dari pemasaran bersama.
 
Melalui pemasaran bersama ini, kata Marselina, petani bisa mendapatkan pasar lebih pasti dan harga lebih tinggi. “Tapi, kalau tidak dibayar begini, anggota kelompok malah curiga kepada kami,” katanya.
 
Sebenarnya, menurut Marselina, petani bisa lebih yakin menjual melalui kelompok kalau kelompok tani bisa membayar langsung. Tapi, untuk itu, kelompok harus punya modal besar. Dengan keterbatasan sumber daya, tak mudah bagi kelompok tani untuk mengakses kredit dari pemerintah atau bank.
 
Itulah yang sekarang sedang diperjuangkan Marselina dan kawan-kawan, mengupayakan agar mereka bisa punya akses langsung ke bank. Jalan ke arah sana masih panjang..
 

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB