x

Iklan

Pungkit Wjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gus Dur dan Cina dalam Novel Remy

Mendengar Alm Gus Dur akan mendapatkan penghargaan sebagai bapak Tionghoa, Remy Sylado angkat bicara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Makanya kamsiah atuh kepada Gus Dur selaku presiden yang waktu itu mencabut PP 14/67 yang sangat diskriminatif kepada orang Cina...

 

Gus Dur di Mata Remy

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumat, 22 Agustus 2014, tengah siang itu, Budayawan kondang Indonesia Remy Sylado singgah ke Kantor Penerbit Buku Nuansa Cendekia, di Komplek Sukup Baru no 23 Ujungberung Bandung. Tak ada acara khusus. “Saya pingin main saja. Makanya ndak janjian,” ujarnya.  Faiz Manshur dan Andy Yoes Nugroho yang menemui Om Remy. Mereka berbincang tentang progress penulisan Ensiklopedi Musik yang rencananya akan ditulis kurang lebih 1.500 halaman dan diselesaikan sebelum akhir tahun 2014. Kemudian diskusi tentang temuan situs purbakala Gunung Padang. Sehabis shalat asar, om Remy mengisi acara obrolan santai bersama karyawan Nuansa Cendekia di lantai dua. Kebetulan, di kantor kami, setiap jumat sore memang ada diskusi rutin atau pertemuan ringan. Karena ada om Remy, maka beliau kita daulat bicara sore itu. Diskusinya antara lain tentang sejarah dunia pers dan percetakan di Bandung, tentang sejarah musik dan sastra Sunda, juga tentang sejarah lawak di Indonesia.

Tapi sayang pada diskusi sore itu, ada satu hal yang kurang, yaitu membicarakan isu terbaru tentang Gus Dur  (KH. Abdurrahman Wahid) yang akan mendapatkan penghargaan Sebagai Bapak Tionghoa dari sebuah organisasi di Semarang.  Organisasi bernama "Perkoempoelan Sosial Boen Hian Tong Semarang" akan memberikan penghargaan tersebut kepada Ibu Sinta Nuriyah, istri Gus Dur pada hari Minggu, 24 Agustus 2014 di di gedung Boen Hian Tong (Rasa Darma) Gang pinggir No 31 Semarang, jam 10:00.

Namun ketika ditanya soal ini di luar diskusi, Om Remy Sylado tetap merespons baik, “selamat untuk Gus Dur dan keluarganya. Soal itu, saya sudah jelaskan di novel, “Perempuan Bernama Arjuna Jilid dua. Yang di Novel Sinologi dalam Fiksi itu saya bicara tentang sejarah panjang kehidupan orang Cina di Indonesia. Dan saya pun menulis tentang Gus Dur di situ, “ujarnya.

Gus Dur mendapat penghargaan itu bukan tanpa alasan. Kiai NU yang dikenal sebagai pejuang hak-hak minoritas ini sebelumnya juga sudah mendapatkan penghargaan serupa. Kala itu, pada 10 Maret 2004, ia dinobatkan  sebagai “bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh etnis Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang. Dan sekarang ini yang keduakalinya mendapat penghargaan. Lagi-lagi dari kelompok Cina Semarang. Ada apa dengan Semarang?

Om Remy Sylado menjawab singkat, “kalau Semarang saya ndak kaget. Saya pernah tinggal di sana, dan hubungan orrang-orang Cina dengan pribumi nyaris tanpa sekat. Itu beda dengan daerah lain. Bandung misalnya. Salahsatu yang membedakan Semarang dengan Bandung adalah karena Semarang memiliki sejarah panjang dan karakternya masyarakat pesisir yang maju dan terbuka. Di Bandung ini coraknya masih masyarakat pedalaman, artinya tertutup,” papar Remy.

Malam ini saya membuka kembali novel perempuan bernama Arjuna kedua, sambungan dari novel Perempuan Bernama Arjuna pertama yang bertema Filsafat dalam Fiksi. Keduanya kini menjadi novel laris dan tadi sore Om Remy juga bilang akan segera menyelesaikan lanjutannya ke tema Javanologi; studi bahasa dan kebudayaan Jawa.

Di dalam novel tersebut terdapat kutipan tentang Gus Dur terkait dengan etnik Tionghoa.

Saya kutipkan sebagai berikut:

"Engkong ngasih seminar musik dalan rangka apa?"

            "Konon dalam rangka mau menyambut Imlek."

            "Lo? Imleknya kan masih tiga bulan, Kong."

"Tapi seminarnya minggu depan."

            “Aneh.”

            "Itulah kita, orang Cina, Tang Lang. Urusan sincia dan cap o meh selalu rame, menyita perhatian. Tapi, ya, cengli juga lah.”

            "Kenapa, Kong.”

            "Silakan duduk dulu."

            Kami pun duduk.

            Dan Kan Hok Hoei duduk juga sambil melanjutkan omongannya.

"Ya dong," katanya. "Bayangkan, selama hampir 3,5 dasawarsa penjajahan orde Baru,he-he-he, sama susahnya dengan 3,5 tahun penjajahan Jepang, dan 3,5 abad penjajahan Belanda, sekarang kita bebas merdeka, boleh merayakan Imlek. Makanya kamsiah atuh kepada Gus Dur selaku presiden yang waktu itu mencabut PP 14/67 yang sangat diskriminatif kepada orang Cina. Karenanya, tidak heran, sebagai rasa syukur masyarakat Cina di Semarang maka pada tanggal 10 Maret 2004, Gus Dur diberi gelar kehormatan sebagai 'Bapak Cunghua'.''

            Saya tercengang. “Ah, masak sih?"

            "Itu betul. Dan kamu tahu apa kata Gus Dur waktu itu? Pernyataannya itu dimuat di koran pagi Jakarta – ah, nanti saya cari klipingnya – bahwa beliau merasa pantas, sebab memang kakek beliau itu orang Cina. Begitu yang beliau katakan sendiri di kelenteng Gang Lombok, Semarang."

            Kan Hok Hoei pun ke rak buku, mengambil map berwarna biru, membukanya, dan mencabut kliping yang tersimpan di situ.

“Nah, ini klipingnya,” katanya sambil membaca. "Kompas 11 Maret 2000. Berita ini yang melansir kegiatan Gus Dur di dalam kelenteng Tay Kak Sie, Semarang, pada sehari sebelumnya.”

            Saya mengangguk-angguk. Buat saya Gus Dur memang seorang kiai yang paling laras mencontohi antara bicara dan berbuat. Agaknya dalam waktu-waktu nendatang – jika NKRI tetap ada dan moga-moga TNI dapat menjaganya – mencari tokoh plural seperti Gus Dur memang sulit.

            “Bayangkan," kata Kan Hok Hoei. "Kalau tidak ada Gus Dur, orang Cina tidak bisa lagi merayakan Imlek. Malahan kita terus dicurigai dan didiskriminasi."

            ''Tapi, Kong," kata saya menguji pernyataannya itu. Imlek kan lebih cenderung diterima sebagai perayaan agama Konghucu ketimbang milik semua orang Cina."

            Kan Hok Hoei terjeda sejenak. Bukan karena dia tidak bisa menjawab kritik saya itu, tapi dia bernaksud memberi jawaban yang bijak dan nalar.

            "Memang benar, kenyataan perayaan Imlek di Indonesia, setelah reformasi yang digerakkan mahasiswa, adalah upaya MATAKIN: Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. Untuk itu presiden RI hadir juga di dalam perayaan tersebut. Awalnya, pada perayaan 2004, di Balai Prajurit, Tebet, MATAKIN meminta kepada Dapur Teater Remy Sylado untuk mementaskan sandiwara nyanyi tentang Ceng Ho berkunjung ke Majapahit. Tema yang diangkat dalam pertunjukan itu adalah bahwa orang Cina, dalam figur Ceng Ho itu, memandang perbedaan berpikir sebagai suatu keindahan.”

            "Hm." Saya menerawang, membayangkan ajaran-ajaran ayah saya sendiri selama ini tentang hal itu.

 

LALU ADA PULA KISAH LAIN:

"Siapa orang Cina pertama yang datang ke sini melakukan syiar Islam?"

            "Tentu saja Ceng Ho atau Zheng He atau melalui sebuah kelenteng di Semarang diperkenalkan sebagai Sam Po Kong. Setelah itu tampil walisanga yaitu sembilan mubalig yang perkasa dan cerdik-pandai menyiar di Jawa. Mereka semua disandangkan nama sunan, dari bahasa Cina suhunan, artinya 'guru yang mulia'. Presiden yang pertama RI Bung Karno mengaku turunan sunan di Tuban. Kemudian presiden keempat RI Gus Dur mengaku juga turunan Cina. Beliau mencabut PP 14/67 yang sangat diskriminatif terhadap orang Cina."

"Menarik sekali," kata Jean-Claude van Damme dengan wajah yang kendor tapi kemudian kencang. "Tapi, Engkong, menurut Anda apa yang menyebabkan terjadi diskriminasi terhadap orang Cina padahal jelas-jelas orang Cina berjasa bagi sebuah Indonesia yang modern?”

 

Demikian catatan ini saya tulis. Terharu rasanya menyaksikan perjuangan Gus Dur. Dan kita patut bersyukur meneladani tokoh hebat ini sebagai ikon pejuang Islam yang sungguh mengusung nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin, kasih sayang untuk segenap alam semesta.[]

Ikuti tulisan menarik Pungkit Wjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu