x

Iklan

renal rinoza

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kapabilitas Inovasi Teknologi Informasi Indonesia Dalam Daya Saing Global

Tulisan ini menyoroti dan mengkritisi atas laporan World Economic Forum yang dirilis pada akhir tahun 2013 tentang indeks daya saing pertumbuhan ekonomi global di setiap negara dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014. Parameter yang digunakan da

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belum lama ini World Economic Forum merilis laporan indeks daya saing pertumbuhan ekonomi global di setiap negara dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014. Parameter yang digunakan dalam mengukur pemeringkatan daya saing global adalah kelembagaan, kebijakan dan berbagai faktor kunci yang dapat meningkatkan daya saing suatu negara. Lebih dari tiga dekade, World Economic Forum merilis laporan tahunan The Global Competitiveness Reports untuk mengukur berbagai macam faktor pendorong daya saing dan memberikan kerangka acuan kepada setiap negara agar dapat merumuskan strategi dan kebijakan dalam mengatasi berbagai rintangan dan mempercepat akselerasi daya saing global. Terhitung sejak 2005 World Economic Forum mengkaji daya saing global berdasarkan pemeringkatan Global Competitiveness Index (GCI) sebagai instrumen analisis komperehensif yang dapat mengukur daya saing negara—berpijak pada mikro ekonomi dan makro ekonomi sebuah negara. Lebih lanjut pada saat ini, kompleksitas hubungan antara daya saing dan keberlanjutan menjadi topik pembahasan multidimensional.

Dalam laporan yang dikepalai oleh Profesor Xavier Sala-i Martin dari Columbia University ini dirumuskan ke dalam 12 pilar daya saing global yang berasal lebih dari 160 mitra jaringan global di setiap negara. Keduabelas pilar tersebut diantaranya adalah (1) kelembagaan, (2) infrastruktur, (3) kondisi makro ekonomi, (4) pendidikan dasar dan kesehatan, (5) pendidikan tinggi dan unit pelatihan, (6) pasar yang sehat, (7) efisiensi pasar tenaga kerja, (8) perkembangan pasar finansial, (9) kesiapan teknologi, (10) ukuran pasar, (11) kecapakan bisnis, dan (12) Inovasi. Indonesia berada dalam tingkat perkembangan tahap dua (stage 2: efficiency-driven stage of development) bersama 30 negara lainnya. Pada poin ini, Indonesia mengalami peningkatan dalam sektor pendidikan tinggi dan pelatihan-pelatihan, efisiensi pasar, pasar tenaga kerja yang bekerja dengan baik (well-functioning labors markets), perkembangan pasar keuangan, kesiapan dan kemampuan dalam penggunaan teknologi terbaru, dan mempunyai pangsa pasar dalam negeri atau luar negeri yang sangat besar.

Berdasarkan ranking The Global Competitiveness Index 2013-2014 Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 148 negara. Posisi Indonesia naik beberapa tingkat dibandingkan setahun sebelumnya yang menempati peringkat 50 dunia. Posisi pertama masih ditempati Swiss selama 5 tahun berturut-turut dan Singapura menempati peringkat kedua dunia sementara Finlandia berada di peringkat ketiga. Baik Singapura dan Finlandia unggul di bidang pendidikan dan inovasi teknologi. Secara umum, peringkat 10 dunia (top 10 ranks) memiliki basis kelembagaan yang kuat di sektor pemerintahan, dunia bisnis dan masyarakat sipil. Disamping itu, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan yang kuat, daya saing infrastruktur yang maju, stabilitas ekonomi, sektor pendidikan yang sangat maju dan penerapan dan penyerapan teknologi berbasis inovasi telah mengkonfirmasi mereka sebagai kekuatan ekonomi yang paling kompetetif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks kawasan, posisi Indonesia baik di lingkup kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara berada dalam posisi yang memiliki indeks skala yang kompetitif. World Economic Forum mencatat daya saing kawasan Asia Pasifik sangat beragam dimana Indonesia masuk kedalam beberapa negara yang tingkat ekonominya paling dinamis dan kompetitif. Ditambah lagi proyek ambisius Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diterapkan pada tahun 2015 yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang terintegrasi dan memiliki daya saing ke dalam ekonomi global.

Penilaian terhadap daya saing Indonesia memperlihatkan tren positif diantaranya adalah meningkatnya belanja infrastruktur—Indonesia menempati peringkat ke-82 dunia dalam kualitas infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja walaupun dalam basis yang rendah seperti persoalan penetapan upah yang layak dan lemahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, prosentase kualitas lembaga publik dan swasta yang meningkat—Indonesia menempati urutan ke-45 dengan tingkat memuaskan dalam efisiensi birokrasi meskipun masih rentan terhadap praktik korupsi dan budaya birokrasi yang kolot, ditambah kesiapan dalam penerapan teknologi dipimpin oleh sektor swasta yang semakin agresif mengadopsi teknologi terbaru. Dalam kesiapan Indonesia menyerap teknologi terbaru terutama Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) menyebar dengan cepat meskipun penggunaan TIK oleh penduduk Indonesia secara umum masih relatif rendah. Negara dengan 240 juta penduduk ini masih dihadapkan pada memburuknya kualitas kesehatan penduduknya dan secara khusus beberapa penyakit menular dan angka kematian bayi masih menempati skor tertinggi—rilis UNDP per 2013 menempatkan Indonesia di posisi 5 besar dunia dalam jumlah kematian bayi tertinggi dunia. Hasil GCI mencatat dalam daya saing berkelanjutan peringkat Indonesia pun masih rendah. Dalam hal keberlanjutan sosial (social sustainability) porsi penduduk Indonesia terhadap lapangan pekerjaan masih rentan—semisal porsi antara angkatan kerja dengan kesempatan kerja yang belum seimbang, akses terhadap sanitasi dan layanan kesehatan juga masih rendah. Selain itu, isu-isu lingkungan menjadi problem serius seperti tingginya tingkat deforestasi dan meningkatnya kadar emisi CO2.

Hal yang tak kalah peliknya adalah sektor kelembagaan di Indonesia dimana isu good governance, kebijakan publik, dan tingkat kepercayaan publik terhadap para politisi masih dalam skala menengah—berbanding terbalik dengan persepsi publik terhadap politisi. Menariknya laporan GCI mengkonfirmasi bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap politisi berada di peringkat ke-55 dunia selisih lima tingkat di bawah Amerika Serikat yang berada di peringkat ke-50 dunia sedangkan untuk indeks transparency of government policymaking Indonesia menempati peringkat ke-65 dunia berada selisih dua tingkat dibawah Senegal dan berbicara transparansi pemerintah dalam membuat kebijakan tak terlepas dari kondisi Indonesia yang masih berkutat dalam reformasi birokrasi yang selama pemerintahan SBY dibentuk UKP4R dan Kementerian PAN & Reformasi Birokrasi untuk menangani kompleksitas birokrasi di Indonesia.

Menyoal daya serap terhadap teknologi informasi laporan GCI mencatat ketersediaan teknologi informasi terkini Indonesia berada di peringkat ke-60 dunia, penyerapan teknologi di level perusahaan berada pada peringkat ke-46, peringkat ke-39 untuk FDI & Technology Transfer, peringkat ke-62 untuk jumlah Mobile telephone subscriptions, peringkat ke-113 untuk pengguna internet, peringkat ke-105 untuk Fixed broadband Internet subscriptions, sedangkan penggunaan bandwidth internet di peringkat ke-74 dunia, dalam penggunaan bandwidth internet Indonesia berada dua tingkat diatas Timor Leste, Indonesia berada di peringkat ke-53 dunia dalam penggunaan Mobile broadband subsripstions jauh dibandingkan Singapura yang menempati peringkat ke-1 dunia, daya serap teknologi informasi tak terlepas dari faktor-faktor kunci seperti daya inovasi dan derajat kualitas pendidikan dasar dan tinggi Indonesia yang output-nya adalah mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan kompetitif.

Laporan berkala UNDP yang dimuat dalam Global Human Development Index 2012 menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia di peringkat ke-121 dunia dan berada dalam kategori medium human development bersama negara-negara dunia ketiga lainnya. Posisi Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan posisi Malaysia yang berada dalam kategori high human development dan menempati peringkat ke-64 dunia. Pemeringkatan yang dirilis UNDP ini tak jauh berbeda dengan tren human development index tahun 1980-2012.

Berdasarkan pemeringkatan The Global Competitiveness Index terhadap kualitas pendidikan tinggi ditemukan data mengejutkan bahwa kualitas pendidikan matematika dan sains di Indonesia berada di peringkat ke-35 dunia selisih satu tingkat dengan Jepang yang berada di peringkat ke-34 dunia dan mempunyai nilai rata-rata yang sama yakni 4.7, peringkat Top 5 bertengger Singapura, Finlandia, Belgia, Lebanon dan Swiss. Pada pemeringkatan Quality of the Educational System Indonesia bertengger di peringkat ke-36 dunia selisih dua tingkat dari dua negara Afrika yakni Mauritus dan Zambia, sementara Swiss, Finlandia dan Singapura tetap berada dalam tiga besar dunia dalam kualitas sistem pendidikan yang prima dengan menyumbang nilai rata-rata 6 dan 5.

Inovasi merupakan prasyarat kemajuan sebuah negara dan Indonesia menurut indeks daya saing global berada di peringkat ke-24 dunia untuk kemampuan berinovasi (capacity for innovation), dalam data ini Indonesia terbilang mempunyai kapasitas unggul dalam inovasi dimana negara-negara maju seperti Singapura, Taiwan, Irlandia, New Zealand, Korea Selatan dan Australia berada urut diatas Indonesia. Bahkan negara-negara anggota G20 seperti China, India, Rusia dan Canada sebagai kekuatan ekonomi dunia posisinya berada di bawah Indonesia dalam kemampuan berinovasi. Kemampuan dalam berinovasi tak diimbangi dengan kualitas institusi riset ilmiah yang sangat jauh tertinggal dari Malaysia—peringkat Malaysia berada di peringkat ke-27 dunia sedangkan Indonesia terjun bebas di peringkat ke-46 dunia.

Kerjasama riset dan pengembangan antara perguruan tinggi dan dunia industri (university-industry collaboration in R&D) adalah indikator percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara dan Indonesia menempati peringkat ke-30 dunia posisinya diatas China dan Perancis. Ketersediaan ilmuwan dan tenaga insinyur yang minim masih menjadi momok bagi percepatan pembangunan Indonesia. laporan GCI mencatat Indonesia berada di peringkat ke-40 dunia jauh dibandingkan dengan Malaysia yang menempati peringkat ke-19 dunia. Dan dalam banyak hal Indonesia menurut data indeks daya saing global selalu kalah dengan Malaysia di setiap level.

Kemampuan berinovasi Indonesia dan kapasitasnya dalam penemuan-penemuan ilmiah serta kemampuan Indonesia menghasilkan aneka barang-barang dan perangkat teknologi tak dibarengi dengan kesadaran akan hak paten dimana peringkat Indonesia berada di peringkat ke-103 dunia dengan nilai rata-rata 0.1. Kesadaran akan hak paten masih sangat rendah dan sebagian besar masyarakat Indonesia belum melek soal hak paten. Di Asia Tenggara, misalnya Malaysia berada di peringkat ke-31 dunia dan Thailand sendiri peringkat ke-71 dunia sementara Singapura berada di level Top 20 dunia. Dalam soal hak paten posisi Indonesia berada dekat dengan negara-negara Afrika bahkan Sierra Leone bertengger dua tingkat diatas Indonesia dan Zimbabwe di peringkat ke-98 dunia sedangkan Namibia dan Mauritius persis berada di bawah Indonesia.

Pemeringkatan yang dilakukan oleh World Economic Forum ini bukanlah tanpa cela sedikitpun. Parameter yang digunakan selalu bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi dan indikator yang digunakan berdasarkan pada standarisasi dan ukuran pasar bebas yang berdaya saing global. Pokok persoalan dalam pemeringkatan ini adalah—meminjam istilah Amartya Sen “Deprivasi Kapabilitas” dimana negara-negara yang terdeteksi lemah menurut indikator The Global Competitiveness Index sepenuhnya tetap di posisinya sebagai negara yang kalah bersaing dengan negara-negara maju. Lantas, bagaimana negara-negara lemah tersebut dapat mendongkrak peringkatnya—satu-satunya jalan ialah ketergantungan yang tinggi terhadap negara-negara maju dimana negara-negara maju punya kuasa pengetahuan dan kekuatan finansial untuk menentukan resep dan pola kebijakan di suatu negara. Namun laporan UNDP menunjukkan bahwa transformasi negara-negara selatan mampu mendongkrak kapabilitasnya sebagai kekuatan ekonomi dunia yang turut serta membentuk arsitektur keuangan global dimana cadangan devisa yang dimiliki bukan hanya menjadi asuransi diri terhadap terpaan krisis finansial melainkan menjadi injeksi bagi negara-negara Eropa yang saat ini dilanda krisis. Munculnya negara-negara selatan seperti Brazil, China, India, Afrika Selatan dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia berlangsung secara dramatis dan belum pernah terjadi sebelumnya. Ditambah aksesibilitas terhadap teknologi terbaru di bidang ICT yang menempatkan negara-negara selatan sebagai pilar utama revolusi digital dan konvergensi media.

Kapabilitas ICT Indonesia dihadapkan pada kendala berat dalam transisi ke era digital-begitu menurut laporan MP3EI. Meskipun grafik pengguna internet terus naik namun terbatas di kota-kota besar saja dan akses internet mayoritas dinikmati anak muda perkotaan yang saat ini terkoneksi melalui perangkat smartphone. Dalam dekade terakhir ini fenomena yang paling mencolok ialah ledakan media sosial yang begitu masif. Bersama dengan itu negara membangun jaringan kabel serap optik melalui mega proyek Palapa Ring di seluruh nusantara yang bertujuan mempersatukan Indonesia dengan layanan internet. Demikian halnya dengan tata kelola pemerintahan yang memanfaatkan keterbukaan informasi dan layanan informasi publik secara online—semuanya beramai-ramai menempatkan diri sebagai pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

MP3EI menempatkan kemampuan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sebagai pilar utama dalam tiga strategi utama penguatan konektivitas nasional yang tidak hanya menjangkau secara nasional melainkan dapat menjangkau konektivitas dengan pusat-pusat perekonomian regional dan global untuk memaksimalkan daya saing global. Langkah-langkah yang dipersiapkan antara lain migrasi menuju konvergensi, pemerataan akses dan layanan, pengembangan jaringan broadband, peningkatan keamanan jaringan & sistem informasi, integrasi infrasturktur, aplikasi & data nasional, peningkatan e-Literasi, kemandirian industri ICT domestik dan SDM ICT siap pakai, dan peningkatan kemandirian industri ICT Dalam Negeri. Langkah-langkah strategis ini bertujuan untuk menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, interkonektivitas antar kawasan, dan mengintegrasikan simpul-simpul jaringan transportasi, pelayanan inter-moda transportasi, komunikasi dan informasi serta logistik yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tataran regional dan global konektivitas memiliki urgensi untuk memastikan Indonesia mencapai integrasi pasar tunggal ASEAN pada 2015 dan menuju integrasi pasar bebas global tahun 2020.

Terlepas dari peringkat Indonesia dalam pencapaian inovasi dan kemampuan daya dukung ICT semuanya bermuara pada paradigma pertumbuhan (Pro-Growth) semata. Pemeringkatan yang dilakukan oleh World Economic Forum tak lain adalah memuluskan langkah mekanisme pasar bebas dimana prinsip daya saing menjadi tolok ukurnya. Di lain pihak, suara-suara alternatif bergema sebagai antitesis paradigma ekonomi Pro-growth yang kerap dituduh sebagai biang keladi ketidakadilan global dan menekankan pentingnya menyuarakan keadilan global sebagaimana kredo World Social Forum “Another World Is Possible” sebuah frasa antipoda dari “Committed to Improving The State of The World” miliknya World Economic Forum.

Renal Rinoza

penulis; alumni UIN Jakarta; tertarik di isu studi pembangunan

Sebelumnya pernah dimuat di http://suarakomunitas.net/baca/78813/kapabilitas-inovasi-teknologi-informasi-indonesia-dalam-daya-saing-global/ 

Ikuti tulisan menarik renal rinoza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB