Tulislah Surat untuk Dirimu Sendiri

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rasakan pengalaman menulis surat untuk diri sendiri dan cobalah mengenali lebih dekat lagi diri Anda.

"Letters are among the most significant memorial a person can leave behind them."

--Johann Wolfgang von Goethe (Penulis, 1749-1832)

 

Masih ingatkah Anda kapan terakhir kali berkirim surat pribadi melalui jasa pos? Sebulan, setahun, atau malah sepuluh tahun yang lalu? Anda yang tergolong generasi Baby Boomers barangkali masih sempat berkirim surat lewat pos hingga sebelum kita memasuki abad ke 21. Bagi remaja atau anak muda yang lahir di era Internet, boleh jadi Anda belum pernah sekalipun berkirim surat pribadi melalui pos.

Bukan hal yang aneh bila siapapun di masa kini lebih suka bertelepon langsung atau berkirim pesan pendek, e-mail, memasang status mutakhir, atau mencuit di Twitter, Line, ataupun Path. Komunikasi kita kini lebih mengandalkan telepon seluler, laptop, tablet, telepon pintar, dan peranti lain berbasis internet.

Serba cepat, mudah, ringkas, dan spontan. Kebiasaan kita berkomunikasi dengan empat ‘serba’ ini membawa konsekuensi tersendiri, seperti salah tafsir terhadap pesan, jauh berkurangnya basa-basi alias sopan santun, timbulnya kemalasan sebagaimana diwujudkan dalam kata-kata yang semakin singkat—untuk menyebut beberapa konsekuensi yang kurang positif.

Apa yang juga hilang ialah sentuhan reflektif yang dapat ditemukan dalam surat-surat pribadi yang dikirim via pos. Tulisan tangan di atas kertas juga memberi sentuhan personal yang khas. Masing-masing orang punya goresan tangan yang berbeda dari orang lain. Plus tanda-tangan—yang kini hanya dipakai untuk meneken dokumen, surat formal, atau struk kartu kredit.

Berbeda dengan sekarang. Banyak orang yang tulisan-tangannya bertambah buruk lantaran jarang menulis dengan tangan. Orang mengandalkan papan ketik di laptop, tablet, ataupun telepon untuk menulis pesan—sayangnya pula, tidak seluruh jari difungsikan.

Kendati hanya jari tertentu saja yang aktif digunakan, orang malas untuk kembali ke masa lampau ketika surat personal ditulis dengan tangan. Ingat: hanya jempol yang menari lincah di papan ketik telepon seluler, atau jempol dan dua jari laptop, yang dalam jangka panjang dapat berakibat gangguan jaringan saraf.

Daripada menanti orang lain menulis surat untuk Anda, yang entah bakal ada atau tidak, lebih baik Anda menulis surat untuk diri sendiri.

Tulislah dengan bebas apa yang Anda pikirkan dan rasakan. Tatkala menulis kepada orang lain dalam bentuk pesan pendek ataupun e-mail, Anda mungkin tetap menyensor kata-kata kendati berupaya sepenuhnya spontan. Terutama ketika Anda berkomunikasi dengan orang yang Anda merasa tidak nyaman, dengan atasan, mitra kerja, rekanan bisnis, ataupun mertua.

Lain hal ketika Anda menulis untuk diri sendiri, Anda bebas mengungkapkan apa saja. Tulislah menjelang tidur. Mulai dari rasa suka cita, kesedihan, keinginan, harapan, ketakutan, ataupun juga kemarahan. Bisa pula Anda menulis refleksi atau merenungkan apa yang sudah Anda raih dan apa yang ingin Anda kerjakan tapi belum sempat. Tulislah surat dengan penuh perasaan.

Esok paginya, berangkatlah ke kantor pos (sebab kotak surat sekarang tidak lagi tersedia di jalanan; bahkan mencari kantor pos pun tidak lagi semudah dulu), belilah prangko secukupnya, tempelkan di amplop, dan serahkan kepada pegawai pos. Pilihlah prangko yang termurah agar surat tiba kembali ke alamat Anda dalam waktu yang paling lama, katakanlah baru satu minggu setelah Anda kirim (Bayangkan, alangkah lambatnya bila dibanding mengirim SMS).

Anda tidak usah memikirkan kapan surat pribadi Anda sampai. Singkirkan dari ingatan dengan cara menyibukkan diri dengan kegiatan lain. Maka, tatkala surat itu sampai di alamat Anda, mungkin Anda terkejut bahwa surat yang Anda terima bukan tagihan kartu kredit atau polis asuransi: “Hari gini, masih ada orang berkirim surat?” Anda mungkin gembira menerima surat pribadi yang Anda kirim sendiri.

Tatkala Anda membaca kembali apa yang sudah Anda tulis, Anda mungkin akan terkejut lagi: “Woow, seminggu yang lalu kondisi pikiranku, perasaanku, dan emosiku ternyata seperti ini.” Mungkin Anda terheran-heran atau tertawa-tawa membaca tulisan tangan Anda yang tidak lagi sebagus dulu. Namun, lebih penting dari itu, inilah momen ketika Anda dapat melakukan self-observing, becermin diri, dan berusaha memahami perkembangan pikiran, perasaan, dan emosi yang berkecamuk dalam diri Anda meski baru seminggu yang lalu.

Menulis surat untuk diri sendiri bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk memasuki dunia terdalam perasaan kita. Surat pribadi ini bisa menjadi sarana untuk merenungkan perjalanan hidup. Mengirim surat pribadi untuk diri sendiri tentu melahirkan pengalaman yang berbeda dengan bila kita berkirim surat pribadi kepada teman yang jauh, orang tua, ataupun kakak—mereka mungkin akan membalas surat kita dengan cerita dan perasaan yang berbeda. Tapi ini memang surat untuk diri sendiri, sebagai cara untuk mengenal lebih dekat siapa diri kita.

Foto: Surat Bung Karno kepada Pak Dirman (sumber: ache-elektronika.blogspot.com) ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bila Jatuh, Melentinglah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler