Asal usul panggilan Bung juga bisa dilacak dari Bengkulu, tempat di mana Sukarno diasingkan oleh penguasa Hindia Belanda. Di daerah itu kata "Bung" berarti "abang". Umumnya, digunakan untuk abang sulung. Saudara lelaki lain yang lebih muda di sebut Donga atau Uda. Kata "bung" juga digunakan oleh istri untuk memanggil suaminya, terlebih si istri tidak memiliki abang laki-laki kandung. Panggilan "bung" terkenal ketika Fatmawati menikah dengan Ir. Soekarno. Bu Fat - dia adalah putri sulung - memanggil Sukarno dengan sapaan "Bung Karno".
Betulkah? Mungkin hanya kebetulan. Soalnya, dalam buku "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat" panggilan "bung" itu sudah ada sejak Sukarno di Bandung, jauh sebelum ia bertemu dan menikah dengan Fatmawati.
Ada juga yang menyebutkan bahwa kata "Bung" itu diambil dari kata suku kata kedua pada kata "rebung", tunas atau anakan bambu. Dengan filosofi tunas bambu itu kata "bung" merujuk pada semangat atau generasi baru, orang-orang muda, yang - seperti rebung yang putih - masih bersih dan idealis pemikiran dan jiwanya, jauh dari pemikiran-pemikiran kotor.
Tumbuhan bambu memang banyak menjadi dasar dari pembentukan istilah dan perumpamaan dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, "politik belah bambu", yang berarti bahwa sesuatu itu mudah dipisahkan jika dimulai dari atas atau dari bawah. Jika sudah dapat memecah salah satu sisi dari sesuatu kelompok, seperti bambu, maka selebihnya tinggal menarik dengan sedikit upaya, hingga ke ujung yang lain akan mudah sekali terbelah.
Istilah lain misalnya "pokrol bambu", yang dipakai untuk menyebut orang yang berdebat, atau perdebatan yang tak jelas arahnya. Istilah ini muncul di surat kabar berbahasa Belanda tahun 1913 yang mengeritik pengacara yang asal bicara. Istilah lengkapnya adalah "pokrol bambu apus". Kata "apus" dari Bahasa Jawa berarti bohong. Pokrol adalah ucapan yang disesuaikan dengan lidah Indonesia untuk menyebut kata dari Bahasa Belanda yang berarti pengacara.
Dalam satu diskusi, rekan senior saya mengingatkan filosofi "bambu muda". "Pemimpin yang belum saatnya dijadikan pemimpin itu seperti bambu muda yang dijadikan tiang. Tiang itu tidak akan kuat menopang bangunan yang ia sangga. Ketika kering, bambu muda itu akan mengekerut, kisut, dan patah, nah baru kelihatan kelemahannya," kata senior saya itu.
Diskusi kami berkaitan dengan kepemimpinan Joko Widodo. Apakah Presiden ke-7 kita ini sesungguhnya adalah bambu muda atau bambu tua yang memang sudah matang untuk jadi penopang yang kuat? Mari kita tunggu. Tapi, diskusi kami bernada cemas, banyak gagasan Joko Widodo lekas sekali jadi kisut. Misalnya, koalisi tanpa syarat, kabinet ramping, juga soal rangkap jabatan petinggi partai. []
Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.